“Jane idene sopo riyoyo bagi-bagi duit? Direwangi kerjo ratau prei kok duit didum-dumke. Gendheng po piye! (Sebenarnya ide siapa lebaran bagi-bagi duit (THR)? Dibela-belain kerja nggak pernah libur kok duit dibagi-bagikan. Gila apa!).”
Konten di media sosial tersebut sepintas terdengar sebagai guyonan. Namun, ternyata ada, loh, orang-orang yang “menggerutui” situasi tersebut: kerja mati-matian tapi langsung ludes untuk THR setiap lebaran.
Lihat postingan ini di Instagram
Kesel sama orang nggak tahu terimakasih
Orang yang secara serius menanggapi konten tersebut adalah Naila (27). Perempuan asal Madiun, Jawa Timur, yang kuliah hingga kerja di Solo.
Gaji Naila hanya berkisar Rp2 jutaan. Setiap menjelang lebaran, sejak tiga bulan sebelumnya dia akan menyisihkan uang dikit-dikit. Lalu akan dia tambahi dengan THR dari tempatnya bekerja.
“Karena saudara ada banyak, aku baginya cuma Rp20 ribu untuk bocil-bocil. Bahkan kalau yang aku nggak akrab-akrab banget sama ortunya, aku kasih Rp10 ribu sampai Rp5 ribuan,” ungkapnya, Kamis (27/3/2025) maalm WIB.
Sementara untuk adiknya sendiri, dia akan menyisihkan Rp100 ribu. Kalau untuk beberapa ponakan dekatnya, dia bikin rata Rp50 ribuan.
“Nah, kadang yang jauh-jauh itu nggak tahu diri. Dikasih Rp20 ribu, Rp10 ribu, atau Rp5 ribu itu langsung jadi bahan rasan-rasan di belakang sama orangtuanya. Lah, hak aku lah mau ngasih berapa. Siape elu kok minta duit banyak ke gue?,” gerutu Naila.
Di lebaran tahun 2025 ini, sebagaimana biasa, Naila mengaku sudah menyiapkan sejumlah uang untuk THR saudara-saudaranya. Tapi kali ini prioritasnya adalah pada saudara terdekatnya saja. Persetan untuk saudara-saudara jauh yang nongolnya pas ada bagi-bagi uang saja.
Naila sudah sangat siap dibilang pelit dan sejenisnya. Toh misal dikasih pun dia tetap jadi bahan rasan-rasan.
Kebanggaan bisa memberi THR
Kekesalan yang sama juga diungkapkan oleh Faizudin (26), pemuda asal Bojonegoro, Jawa Timur.
“Kenapa ya ada tradisi bagi-bagi THR setiap lebaran? Bikin repot aja,” keluhnya.
Keluhan Faizudin sebenarnya bukan karena uangnya yang akan ludes buat THR. Tapi lebih karena dia merasa tak begitu berguna karena meski kerja mati-matian, tapi hasilnya tetap tidak seberapa.
Faizudin kerja di sebuah pabrik di Sidoarjo, Jawa Timur. Jangan mengira dia menerima gaji sebesar UMR Sidoarjo yang Rp4 jutaan itu. Gajinya selama sebulan hanya Rp2,6 juta.
“Lebaran kan dapat THR Rp2 jutaan lah. Itu Rp1 juta kukhususkan buat orangtua. Rp1 juta itu kubagi-bagi buat saudara. Kalau ada nggak cukupnya, nanti ngambil dari uang gaji,” beber Faizudin.
Pada dasarnya, ada perasaan bangga dan lega ketika Faizudin bisa memberi uang dengan nominal besar pada orangtuanya. Dia merasa sedikit bisa “mencicil” membayar jasa-jasa orangtuanya yang menghidupinya selama ini.
Begitu juga kepada saudara. Faizudin tak punya alasan filosofis nan prinsipil. Dia hanya merasa suka saja bisa berbagi. Meski kondisi keuangannya tidak aman-aman amat.
“Aku sering lah habis lebaran kalau balik Sidoarjo langsung hidup prihatin. Lah uangnya sudah nipis,” ujar Faizudin sambil terkekeh.
Kata Faizudin, begitulah laki-laki. Di rumah seperti sultan, di perantauan seperti gembel.
Serba-serbi hari raya
Naila dan Faizudin hanya dua sampel saja dari orang-orang yang mengeluhkan persoalan THR setiap lebaran. Di Instagram, ada sangat banyak keluhan dari warganet. Baik yang bernada bercanda maupun yang kelewat serius. Berikut di antaranya:
“Gaji 2 juta dibagi-bagi 1 juta. Sisa 1 juta buat bertahan hidup. Pengin nangis darah.”
“Aku juga lagi di fase kenapa sih harus bagi-bagi THR? Bukan perkara pelit sebenernya. Tapi jujur lebaran itu buat sebagian orang menyenangkan. Tapi aku justru kayak beban karena harus bagi-bagi THR ke saudara-saudara dan ponakan-ponakan. Kadang THR-ku habis buat bagi-bagi doang. Sedangkan aku yang kerja nggak kebagian.”
“Cari duitnya setengah mati. Eh disuruh tuker uang baru buat dibagi-bagi. Pas dibagi-bagi malah dipaido terlalu sitik.”
Tapi tidak sedikit pula yang merasa tak masalah untuk berbagi THR, sedikit atau banyak rezeki yang dipunya:
“Kalau aku punya rezeki banyak atau sedikit tetep aku bagi-bagi. Karena berbagi itu yang menolong kita di akhirat.”
“Kalau kata ibuku, kalau ada uang lebih bagi-bagi ke anak-anak kecil. Itu yang melancarkan rezekimu.”
Inilah sosok penggagas THR
Penggagas THR adalah Perdana Menteri Indonesia era 1950-an, Soekiman Wirjosandjojo. Awalnya, pemberian THR (saat itu hanya bernama uang tunjangan) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan para Pamong Praja (PNS).
Tidak hanya sejumlah uang. THR yang diberikan kala itu juga berupa beras.
Pada 1952, terjadi protes dari kalangan buruh karena merasa tidak adil: kenapa THR hanya diberikan kepada PNS saja? Buruh menuntut agar mereka juga mendapat hak yang sama seperti PNS.
Protes tersebut hasilnya mulai bisa dirasakan pada 1954. Menteri Perburuhan Indonesia saat itu mengeluarkan surat edaran tentang Hadiah Lebaran. Isinya imbauan agar setiap perusahaan memberikan “Hadiah Lebaran” terhadap para pekerjanya sebesar seperduabelas dari upah.
Begitulah hingga akhirnya THR masuk dalam peraturan menteri. Pada 1994, istilah “Hadiah Lebaran” berganti menjadi “Tunjangan Hari Raya” (THR).
Lalu pada 2016, aturan pemberian THR direvisi melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016: pemberian THR diperuntukkan kepada pekerja dengan minimal satu bulan masa kerja yang dihitung secara proporsional. Sementara bagi yang bermasa kerja 12 bulan (satu tahun), menerima THR sebesar satu kali gaji dalam satu bulan.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Cerita Mahasiswa DO Rela Ngutang Demi Ngasih THR Saudara Saat Lebaran, Ngaku Udah Sukses Padahal Hidup Mengkis-Mengkis di Perantauan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan