Seorang perempuan asal Bantul, Jogja, berbagi cerita mengenai mimpinya menjadi psikolog klinis yang runtuh. Ekspektasi gaji layak, lingkungan supportif, dan bisa menjadi penolong orang lain sirna seketika setelah enam bulan kerja menjadi asisten psikolog di sebuah layanan psikologi di Jogja.
Sebelumnya, berbagai pekerjaan pernah dilakoni oleh Bulan (26), bukan nama asli. Antara lain karyawan bioskop, customer service, asisten psikolog, dan sekarang HRD. Bagi Bulan, dari semua itu, menjadi asisten psikolog adalah pekerjaan terburuk yang pernah ia jalani.
Kenapa terburuk? Tidak ada SOP yang jelas (seperti jam kerja yang terlalu fleksibel mengikuti keinginan psikolog), kultur toxic positivity yang memaksa harus saling menceritakan kehidupan pribadi dengan kedok konseling, dan yang paling parah adalah gajinya terlampau kecil untuk pekerjaan seabrek.
Patah arah karena tak sesuai bayangan
Setelah mengantongi gelar sarjana S.Psi (sarjana psikologi) pada tahun 2024, Bulan langsung mencari lowongan kerja yang dapat mengantarkannya menjadi psikolog. Saat itu ia melihat lowongan kerja asisten psikolog di sebuah layanan psikologi di Jogja, dari Instagram dosennya.
“Dalam rangka mengumpulkan modal sekolah profesi dan pengalaman bekerja di dunia psikologi, aku memantapkan diri untuk melamar. Dunia psikologi kan terlahir untuk memperdulikan kesehatan mental, itu yang menjadi motivasiku,” ungkap Bulan, kepada Mojok di kursi Indomaret, Condongcatur, Depok, Sleman, Kamis (20/3/2025).
Sejak masuk kerja, Bulan sudah patah arang tidak akan bisa mengumpulkan modal sekolah profesi dari gaji menjadi asisten psikolog di layanan psikologi Jogja tersebut. Namun, saat itu bulan masih menerima kenyataan tersebut dengan sikap denial: “Nggak apa-apa uang kecil, tapi kan dapat pengalaman.”
Jadi asisten psikolog di layanan psikologi Jogja, gaji sulit kerja rumit
Bulan mengaku sistem gajinya seperti freelance. Meskipun statusnya karyawan, honornya dihitung perkehadiran datang ke kantor dan perpaket layanan yang ia kerjakan.
Setiap kehadiran ke kantor, jika ada klien, Bulan dibayar Rp10.000. Lalu honor paling kecil yang Bulan terima senilai Rp20.000 untuk paket layanan konsultasi pribadi.
“Untuk satu paket layanan seperti konsultasi pribadi, pra konselingnya aku harus menyiapkan administrasi, tes psikologi, dan interview awal mengenai masalahya. Baru setelah itu kubuat jadwal dengan psikolog,” jelas Bulan.
“Sebelum jadwal klien dengan psikolog tiba, aku harus buat laporan observasi awal terlebih dahulu, dan untuk laporan layanan konsultasi pribadi itu, paling cepat bisa dikerjakan dalam waktu tiga hari,” sambungnya.
Bayaran paling besar yang pernah Bulan dapatkan adalah ketika ia menerima paket layanan konsultasi perkawinan. Nominalnya Rp50.000. Tetapi bagi Bulan, itu tidak sebanding dengan beban kerjanya.
Untuk satu laporan paket layanan konsultasi perkawinan, paling cepat Bulan perlu menghabiskan satu minggu untuk menyelesaikannya. Bahkan rekan kerjanya ada yang sampai dua minggu.
Pada intinya, dalam satu bulan, Bulan hanya mendapat gaji sekitar Rp1,2 juta. Sering juga kurang dari itu. Yang jelas tidak pernah bisa lebih. Terang saja jauh di bawah UMR Jogja. Apalagi gaji yang ia dapat bergantung pada ada atau tidaknya klien.
Baca halaman selanjutnya…
Eksploitasi berkedok kekeluargaan
Kedok kekeluargaan yang bikin tak nyaman
Seiring waktu, asisten psikolog itu semakin merasa salah tempat kerja. Tidak hanya gaji sulit tapi kerja rumit, Bulan juga muak dengan kultur kekeluargaan di kantor layanan psikologi Jogja tersebut.
“Setiap paket layanan konsultasi itu kan berbeda-beda tingkat kesulitannya. Sialnya, hanya karena aku pandai, layanan konsultasi yang sulit kerap kali dilempar ke aku, hanya karena aku harus memaklumi asisten psikolog yang lain,” ucap Bulan.
“Masalahnya, tiap asisten itu sudah mendapatkan jatah ngurus layanan konsultasi. Tapi kata supervisornya asisten yang lebih jago harus siap backup karena keluarga harus saling men-support, katanya.”
Dampak yang Bulan rasakan itu seolah-olah kehidupannya hanya untuk bakcup asisten dan kantor. Pasalnya, satu layanan konsultasi saja paling cepat dikerjakan tiga hari.
Bayangkan saja, jika dalam dua hari mem-backup dua sampai tiga layanan konsultasi, betapa menguras energi hal tersebut. Itu pun masih harus berkejaran dengan jadwal klien dengan psikolognya.
Kehidupan pribadi yang dikorek-korek kala jadi asisten psikolog di layanan psikologi Jogja
Lebih-lebih lagi, supervisornya juga sering menyuruh para asisten untuk menceritakan kehidupan pribadinya. Seperti masalah keluarga, hubungan, atau sesimpel izin tukar shift pun akan tetap dikorek-korek apa persoalan pribadi di baliknya sehingga harus tukar shift.
“Aku tuh jadi merasa berhutang cerita gitu, loh. Tiap saat ditanya, dan kalau tidak dijawab, akan ditanya lagi ketika evaluasi,” ungkap Bulan.
Bulan mengaku tidak suka menceritakan kehidupan pribadinya, meskipun pekerjaan yang ia lakoni adalah mendengarkan cerita orang.
“Aku tuh ingin kehidupannya privat, bukan jadi konsumsi. Kan kalau memang aku mau cerita, aku akan cerita sendiri tanpa perlu diburu dengan seribu pertanyaan mengenai hidupku. Kecuali aku membuat kekacauan di kantor, oke lah,” gerutunya dengan raut wajah menyimpan amarah.
Pusing hadapi psikolog yang moodswing
Tidak hanya sampai di situ, Bulan juga diwanti-wanti harus melihat mood para psikolog sebelum berbincang mengenai laporan.
“Sekarang gini, tiap psikolog kalau udah melayani klien kan harus update hasil penanganannya ke asisten. Lah kalau dia moodswing gimana aku bisa follow up. Ngeselinnya, hal tersebut dinormalisasi oleh supervisor,” ungkap Bulan.
Belum lagi, Bulan mengaku kerap kesulitan menghubungi psikolog untuk mengatur hotline konseling antara psikolog dengan klien. Jika sudah begitu, akan ada potensi telat dalam proses konseling dengan klien. Ujungnya, Bulan akan kena marah oleh si supervisor.
Persoalan hotline bahkan sampai mengganggu quality time Bulan dengan keluarganya. Karena Bulan harus selalu fast response.
Sialnya, gaji yang Bulan terima dari piket hotline pun tidak sebanding dengan segala kerunyaman tersebut. Perduaminggu, ia hanya dibayar senilai Rp100.000.
Resign, diperingatkan tidak boleh cantumkan pengalaman kerja di CV
Kesabaran Bulan akhirnya habis juga. Belum selesai enam bulan masa kontraknya di layanan psikologi Jogja itu, pada bulan terakhir sebelum kontrak habis, Bulan memilih resign.
“Aku udah muak, akhirnya sembari menjadi asisten psikolog itu aku sambil nyari-nyari loker HR di perusahaan swasta Jogja,” ucap Bulan. Untungnya, buka keterima kerja di sana.
Karena Bulan resign sebelum beres masa kontrak, ketika pertemuan dalam rangka pamitan, Bulan justru menerima perlakuan sinis dari rekan-rekan kerjanya. Tak hanya itu, ia juga diperingatkan tidak boleh memasukkan pengalaman kerja sebagai asisten psikolog di layanan psikologi Jogja itu di CV-nya.
“Aku diminta harus bikin surat pernyataan kalau aku nggak bakal nyantumin (pengalaman kerja itu) di CV. Pakai materai lagi! Tapi ya udah, bodo amat, yang penting aku keluar,” ucap Bulan dengan nada kesal mengingat kejadian itu.
Kini, Bulan telah bekerja menjadi HR di sebuah perusahaan swasta yang ia incar. Bagi Bulan, kultur kerja di kantornya sekarang cenderung lebih kompetitif dan individualistik. Tapi, itu jauh lebih baik ketimbang pakai dalih kekeluargaan untuk mengeksploitasi orang. Toh gajinya juga lebih baik ketimbang tempat kerjanya sebelumnya.
Penulis: Rizky Benang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: ‘Saya live TikTok sampai pagi, cuma digaji Rp500 ribu sebulan’ – Curhatan Buruh Jogja yang Berhasil Keluar dari Tempat Kerja Toksik atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan