Pengalaman Pertama Menonton Merah Putih: One for All, Dibuat “Kagum” Sekaligus Ketagihan

Cover film animasi Merah Putih: One for All dihujat animator. Lebih "bagus" dari Demon Slayer. MOJOK.CO

Trailer film animasi Merah Putih: One for All yang akan tayang di bioskop. (Tangkapan layar Youtube/CGV Kreasi)

Merah Putih: One for All masih menjadi perbincangan hangat di media sosial, maupun saat saya menonton film Demon Slayer: Infinity Castle di bioskop Jogja pada Jumat (15/8/2025). Di media sosial, netizen masih membahas kesombongan sang produser Merah Putih: One for All yang menantang film animasi asal Jepang tersebut karena jadwal tayangnya bersamaan.

Di dunia nyata, penikmat film animasi masih juga nyinyir dengan Merah Putih: One for All, saking menganggap betapa jeleknya film tersebut. Saya yang mendengar tanggapan penonton Demon Slayer: Infinity Castle di lorong bioskop Jogja hanya bisa tersenyum tipis. Malu juga kalau dibahas melulu. Rasanya seperti aib negara, padahal kita tidak ikut menggarap.

Loh, nggak nonton film Merah Putih: One for All ae po (saja kah)?” ujar salah satu penonton Demon Slayer.

Pinginnya, tapi kan di Jogja nggak enek (ada). Jakarta isih ono (masih ada),” jawab temannya.

Asu tenan kok film iku (Anjing banget kok film itu),” jawab temannya yang lain sambil cekikikan.

Meski terancam diboikot oleh para netizen Indonesia, nyatanya film garapan Perfiki Kreasindo ini masih tayang di bioskop. Omar, salah satu penonton film Merah Putih: One for All mengaku sudah dua kali menonton.

Alasannya hanya ada dua, yakni mencari hiburan sekaligus penasaran betapa jeleknya film tersebut? Sampai-sampai, Internet Movie Database (IMDb), situs rujukan pencinta film di dunia memberikan rating 1 per 10. Skor terburuk sepanjang sejarah.

Suasana ramai dan pecah di bioskop

Sejak membeli tiket di bioskop pada Kamis (14/82025), Omar sama sekali tak punya ekspektasi tinggi mengenai film Merah Putih: One for All. Toh, ia sudah tahu kualitas film tersebut dari trailer yang tayang di Youtube. Namun, banyak kritik tajam dari netizen hingga penggarap film justru membuat Omar jadi gatal untuk menonton.

“Tujuannya memang ingin menertawakan karena bagi saya film ini sudah pasti jelek. Saya pun penasaran sejauh mana jeleknya,” ujar Omar saat dihubungi Mojok, Selasa (19/8/2025).

Omar yang awalnya ingin menonton sendiri, akhirnya mengajak teman-temannya yang lain. Maka, tibalah mereka menonton ramai-ramai di XXI Kemang Village, Jakarta Selatan dengan harga tiket Rp40 ribu.

“Teman saya minta menonton siang untuk sekadar melihat suasana, ternyata nggak ramai. Hanya ada kami berenam dan beberapa orang random yang sepertinya seorang reviewer,” ucapnya.

Bahkan penjagaan di ruang bioskop tampak ketat karena beberapa kali satpam terlihat mondar-mandir untuk mengawasi. Sesekali mereka menegur orang yang berisik atau merekam.

Lucunya, meski suasana sepi di dalam bioskop, tapi penonton yang hadir masih ikut berdiri untuk menyanyikan lagu nasional Indonesia Raya. Karena semakin penasaran, Omar dan teman-temannya menonton lagi di malam hari.

“Waktu malam, somehow tambah ramai dan ‘pecah’. Bahkan kami harus, istilahnya war tiket karena bangkunya hampir penuh. Penjagaannya pun nggak seketat tadi karena udah nggak terkontrol,” kata Omar.

Baca Halaman Selanjutnya

Film animasi Merah Putih: One for All menguji iman

Film animasi Merah Putih: One for All menguji iman

Bagi Omar, menonton film animasi Merah Putih: One for All adalah pengalaman spiritual yang menguji iman, mental, dan daya tahan saraf optiknya. Ia mengakui keberanian film tersebut dalam memanjakan mata dan telinga penonton. 

Lewat bahasa satire, Omar berujar jika film itu membuat matanya harus bekerja ekstra untuk menyesuaikan visual.

“Retina gue sekarang seperti punya trust issue, tapi telinga gue juga ikut berpetualang lewat kualitas audio yang dinamis. Bayangkan volume naik-turun tanpa peringatan, seperti roller coaster emosional yang dirancang oleh editor audio. Ibarat dia mencoba fitur audio level untuk pertama kalinya,” kata Omar.

Tak sampai di situ. Omar juga juga merasa alur ceritanya terasa begitu bebas. Ia menduga jika penulis cerita dari film Merah Putih: One for All terinspirasi dari seekor kucing yang sedang berjalan di atas keyboard. Tidak berhubungan dan berada di luar nalar manusia.

“Tidak ada keterikatan pada logika atau konsistensi. Persis seperti hidup kan? Absurd adalah bumbunya. Nihil konsistensi adalah hidangannya,” kata Omar.

Kata jelek saja tak cukup untuk menggambarkan

Secara visual, tidak perlu ditanya lagi. Jika dibandingkan Demon Slayer: Infinity Castle, kualitasnya tentu berbeda. Baru kali ini, Omar melihat perpaduan seni digital yang begitu berani. 

Ia tak habis pikir, mengapa sutradara film Merah Putih: One for All menggunakan perpaduan antara 3d dan meme brainrot yang biasa ditemui anak warnet? Grafiknya begitu buruk. Namun barangkali, kata Omar, mata manusia memang perlu tantangan baru, alih-alih dimanjakan dengan grafis Demon Slayer: Infinity Castle.

Pada mulanya, Omar memang sudah punya ekspektasi rendah. Tapi setelah menonton film tersebut, ekspektasinya jatuh lebih dalam lagi. Bahkan kata “jelek” tak cukup bisa menggambarkan kualitas film tersebut. 

“Gue keluar dengan kesadaran bahwa ‘jelek’ adalah kata yang terlalu sopan. Dan di situlah letak kejeniusan film ini. Dia membuat kita menemukan definisi baru dari kata buruk,” kata Omar.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Film Animasi Merah Putih: One for All bikin Miris Animator Indonesia yang Susah Payah Berkarya Sampai Luar Negeri atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version