Mengiringi arakan sound system yang ditumpuk sedemikan rupa di atas truk dengan musik jedag-jedug menggelegar, sejumlah perempuan dengan busana ketat—bahkan seksi—tampak enjoy berjoget. Bahkan ada pula yang mempertontonkan goyangan pinggul dengan erotis. Begitulah pemandangan yang umum tersaji dalam karnaval-karnaval sound horeg di Jawa Timur.
Tidak bisa dimungkiri, karnval sound horeg memang menyedot animo besar dari masyarakat—terkhusus di Jawa Timur. Akan tetapi, di saat bersamaan, banyak pula yang merasa terganggu sekaligus terheran-heran: Kok bisa ada orang yang menikmatinya?
Bahkan narasumber Mojok mengaku ora gedugo (tak habis pikir), karena anggota keluarga mereka ada yang sampai menjadi keras kepala demi menjadi bagian dari geng sound horeg.
Karnaval sound horeg: simbol gaul warga desa
Magfira (21) tidak bisa mengingat persis bagaimana awal mulanya warga desanya—sebuah desa di Jawa Timur—begitu menggandrungi sound horeg. Setahunya, awalnya penggunaan sound dengan suara besar hanya berlaku ketika momen karnaval 17 Agustusan atau malam takbiran, praktis di masa-masa pasca pandemi Covid-19.
Itupun masih menggunakan seperangkat sound secukupnya. Hingga seiring waktu, skala penggunaan sound system meningkat. Ditumpuk dan dimodifikasi sedemikian rupa hingga menjadi sound horeg. Lalu punya karnaval sendiri yang bahkan bisa berlangsung rutin: nyaris setiap bulan ada.
Warga rela iuran untuk menggelar karnaval. Apalagi jelang Agustusan, kini di tempatnya, nyaris setiap sore ada saja yang check sound untuk persiapan. Juga latihan berjoget yang melibatkan banyak kalangan: laki-laki, perempuan, muda, paruh baya.
“Dulu aku seneng-seneng saja. Karena jadi hiburan rakyat. Masih kondusif juga. Tapi sekarang rasanya meresahkan. Aku nggak nyaman dengan suaranya yang kenceng. Bikin dinding rumah bergetar,” kata Magfira, Minggu (20/7/2025).
Tidak hanya Magfira, beberapa warga lain pun mengaku mulai resah. Apalagi setelah adanya fatwa “haram” Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur.
“Tapi jumlah warga yang mendukung sound horeg lebih banyak. Nggak peduli fatwa-fatwa haram. Hiburan rakyat kok diharamkan. Begitu katanya,” ujar Magfira.
Sound horeg kini menjadi simbol “gaul” bagi warga desanya. Yang tidak ikut karnaval, atau tidak suka, maka dicap nggak gaul.
Lihat postingan ini di Instagram
Ibu dandan menor dan joget pargoy di karnaval sound horeg
Tapi, hal paling menyebalkan bagi Magfira adalah, bagaimana ibunya—ibu-ibu umur 48-an tahun—terjangkiti tren sound horeg. Dalam beberapa momen karnaval, ibunya terlibat aktif menjadi “penari latar”: Kadang pakai kaos dari grup sound horeg, kadang pakai kebaya-kebayaan hanya untuk berjoget pargoy.
Kata Magfira, ada dua jenis penari latar dalam karnaval sound horeg di daerahnya. Pertama, golongan perempuan-perempuan muda. Merekalah yang biasanya berdandan seksi dan kerap memeragakan goyangan pinggul erotis.
Lihat postingan ini di Instagram
Sementara yang kedua adalah kelompok ibu-ibu. Berdandan sangat menor dan dengan luwes berjoget mengimbangi para pejoget muda tadi.
“Malu lah. Ora gedugo. Sudah umur segitu, tapi joget-joget seperti itu. Masa dia nggak malu, dilihatin anak-anak,” kata Magfira.
Magfira sempat menegur sang ibu agar tidak ikut-ikut. Tapi sang ibu malah memaharinya balik, dianggap sok ngatur orangtua. Begitu juga saat dia meminta bapaknya untuk menegur sang ibu. Jelas tidak ada hasilnya. Wong bapaknya sendiri juga penikmat sound horeg.
Malah sang bapak support-support saja. Sebab, hal itu menjadi sarana untuk semakin rukun dengan warga desa.
Meski jarang melihat langsung karnaval, Magfira bukannya tidak tahu seberapa seronok ibunya saat berjoget. Dia tahu melalui video yang dikirim oleh temannya, berbunyi, “Delok tah ibumu, asoy tenan lek joget (Lihat nih ibumu, asoy sekali kalau joget).”
Baca halaman selanjutnya…
Makin erotis makin jadi sorotan, rela diusir dari rumah demi saweran












