Jogja Pantas Menyandang Julukan ‘Kota Tukang Parkir’, Ada Warung Ramai Dikit Saja Langsung Muncul Bapak-Bapak Pakai Rompi

Jogja Pantas Menyandang Julukan 'Kota Tukang Parkir', Ada Warung Ramai Dikit Saja Langsung Muncul Bapak-Bapak Pakai Rompi.mojok.co

Ilustrasi Jogja Pantas Menyandang Julukan 'Kota Tukang Parkir', Ada Warung Ramai Dikit Saja Langsung Muncul Bapak-Bapak Pakai Rompi (Mojok.co/Ega Fansuri)

Julukan kota pendidikan agaknya tak relevan lagi disematkan pada Kota Jogja. Ia lebih pantas menyandang label “kota tukang parkir”. Bagaimana tidak, nyaris tak ada satupun titik di Kota Jogja yang lolos dari keberadaan tukang parkir. Celakanya lagi, kebanyakan tukang parkir ini adalah ilegal, yang kerap mematok tarif seenak jidat mereka.

Mita Andriani (19) awalnya hanya ingin menyuarakan kebingungannya. Sehari sebelum bulan puasa tiba, mahasiswa asal Malang ini menyewa sepeda motor buat mengajak adiknya seharian jalan-jalan berkeliling Jogja. Adiknya ingin menghabiskan sisa-sisa liburannya di kota tempat Mita berkuliah. 

Sayangnya, ia mendapat pengalaman tak mengenakkan. Mita kaget lantaran duit yang dia keluarkan buat bayar parkir jumlahnya enggak ngotak. Memang, sebelumnya ia sudah paham kalau di Jogja memang banyak tukang parkir. Namun, tetap saja, mengelurkan duit hampir Rp50 sehari hanya untuk parkir adalah hal yang konyol.

“Tiap berhenti bayar dua ribu. Tengah malam kalau parkir mereka narif sepuluh ribu,” keluhnya, kepada Mojok, Minggu (17/3/2024).

“Jajan di minimarket ada parkir, ambil duit di ATM juga ada. Bahkan beli es teh pinggir jalan pun juga harus bayar parkir,” sambungnya.

Yang bikin Mita lebih sebal, ia melihat kebanyakan tukang parkir ini ilegal. Jangankan tarif normal, karcis saja di tak dapat. Motor yang ia sewa pun kadang hanya dibiarkan begitu saja. Tidak ditata, apalagi dijaga.

Mengeluh tukang parkir ilegal, malah kena rujak warga Jogja

Kesal dengan perlakuan tukang parkir ilegal, Mita menyuarakan uneg-unegnya itu di grup Facebook info cegatan jogja, Jumat (15/3/2024) lalu.

“Es teh ramai sithik langsung ono bapak-bapak nggo rompi,” tulisnya. Kira-kira dalam bahasa Indonesia artinya, “[warung] es teh ramai sedikit saja langsung ada bapak-bapak memakai rompi”.

“Kenapa sih tukang parkir ilegal di mana-mana?,” ia menyambung.

Alih-alih mendapat jawaban soal mengapa ada banyak tukang parkir ilegal di Kota Jogja, Mita malah kena rujak warganet. Postingannya itu ramai dengan komentar bernada negatif. Rata-rata netizen mengatainya habis-habisan.

“Kalau enggak mau kena parkir jalan kaki aja.”

“Mau pakrir murah di Pacitan aja, Mbak. Jangan di Jogja.”

“Enggak ada tukang parkir nanti kalau helm ilang kamu nangis.”

Kira-kira begitu isi komentar warganet, yang per Sabtu (16/3/2024) kemarin sudah ada lebih dari 1.000 komentar dengan tendensi kurang lebih serupa. Merasa mentalnya terguncang, Mita pun memilih menghapus postingan tersebut. Meski postingannya sudah lenyap, beberapa orang masih ada yang marah-marah kepadanya DM di Facebooknya.

“Cuma ingin menyampaikan aspirasi sebagai warga Jogja aja malah kena semprot,” ujarnya.

Mengutuk keras pungli berkedok parkir

Keberadaan tukang parkir ilegal, sebenarnya tak hanya jadi keluhkan banyak pengendara. Tukang parkir resmi atau yang legal sendiri, sebenarnya juga sangat mengutuk praktik-praktik nuthuk dan ugal-ugalan tersebut dari juru parkir alias jukir abal-abal tersebut.

Sarwo Sukendro Putro (53), tukang parkir Pasar Kranggan yang langsung bekerja di bawah Dinas Perhubungan Kota Jogja, mengatakan kalau tarif parkir itu sebenarnya sudah saklek. “Kalau kata undang-undang buat motor itu paling mentok tarifnya dua ribu. Ya harus segitu, enggak boleh narik lebih,” kata Sarwo dalam wawancaranya dengan Mojok, Kamis (4/1/2024) lalu.

Berdasarkan Peraturan Wali Kota Jogja nomor 132 tahun 2021 tentang Perubahan Retribusi Parkir, Pemkot membagi tiga kawasan parkir beserta tarifnya. Kawasan I meliputi tempat wisata, dengan tarif paling mahal untuk sepeda motor adalah Rp2.000 dan Rp5.000 untuk mobil. 

Adapun Kawasan II (meliputi jalan dengan volume lalu lintas tinggi dan komersiil) dan Kawasan III (jalan dengan volume lalu lintas rendah) punya tarif hampir sama. Yaitu Rp2.500 bagi mobil, dan Rp1.000-2.000 untuk sepeda motor.

“Kalau nariknya di atas tarif itu ya pungli namanya,” tegas Sarwo.

Ia pun mengutuk keras perilaku tukang parkir ilegal tersebut. Sebab, selain bikin dongkol pengendara, hal tersebut juga merugikan tukang parkir legal karena kecipratan stigma negatifnya.

“Yang salah mereka [tukang parkir ilegal] tapi kita ikutan buruk juga namanya. Sama-sama cari rezeki jangan begitu lah.”

Baca halaman selanjutnya…

Cara membedakan jukir resmi dan ilegal serta cara menghadapinya

Ciri-ciri tukang parkir resmi yang jumlahnya lebih sedikit ketimbang yang ilegal

Sarwo juga membagikan beberapa hal perlu pengendara ketahui terkait dunia perparkiran agar kedepan para pengendara bisa lebih hati-hati. Pertama, pengendara kudu paham bahwa setiap tukang parkir resmi, pasti mendapat seragam berupa rompi dengan logo Dinas Perhubungan. 

“Banyak yang pakai rompi tapi asal-asalan rompinya. Yang resmi ada yang dari Dishub,” katanya.

Kedua, soal tarif, Sarwo juga memberi penjelasan bahwa di luar area wisata, tarif parkir bagi sepeda motor rata-rata tak lebih dari Rp1.000. “Di Malioboro saja paling mahal Rp2.500. Kalau lebih dari itu artinya pungli. Jangan kasih. Kasih saja seribu sesuai tarif resmi,” sambungnya.

Ketiga, juru parkir legal pasti memberi kupon. Kata Sarwo, jika jukir tak memberi kupon pada pengendara, maka mereka berhak buat tidak membayar tarif.

Per Januari 2024, menurut data Dinas Perhubungan Kota Jogja, jumlah jukir resmi ada 821. Mereka adalah para jukir yang namanya terdaftar di data Dinas Perhubungan, yang izin kerjanya terus mendapat perbaruan tiap enam bulan sekali.

Namun, jumlah tukang parkir ilegal diperkirakan lebih banyak karena di warung-warung kecil yang lahan parkirnya belum terdaftar di data Dishub, sering muncul tukang parkir abal-abal. Bahkan, tiap petak jumlahnya lebih dari satu.

BACA JUGA Bagi Warga Bantul Ajakan Bukber di Sleman Adalah Bentuk Diskriminasi dan Ketidakadilan, Apa Orang Jogja Utara Memang Egois?

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version