Menelusuri Jejak Prostitusi di Alun-Alun Utara, Tandingan Sarkem yang Berlokasi di Dekat Kraton Jogja

Prostitusi di lokasi wisata Jogja selain Sarkem.MOJOK.CO

Ilustrasi Dulu Kami Tak Perlu ke Sarkem, Sebab di Alun-Alun Utara Jogja Banyak Tenda Remang-Remang yang Tarif Jasanya Lebih Murah (Mojok.co/Ega Fansuri)

Berbekal kepingan informasi dari orang-orang yang pernah bersinggungan langsung, Mojok menemukan jejak prostitusi terselubung di Alun-Alun Utara Kota Jogja. Sebelum menghilang pada 2014, praktik lucah di kawasan wisata Jogja itu sebenarnya merupakan rahasia umum bagi masyarakat sekitar. Namun, jejaknya seolah ditutup-tutupi.

***

Seorang perempuan, yang sedang membutuhkan uang, menawarkan sebatang korek api dengan harga tertentu kepada lelaki yang ia kenal. Namun, yang sebenarnya terjadi, mereka tak sedang transaksi korek api. Ada hal lain yang “diperjual-belikan” di sana.

Saat perempuan dan lelaki tadi deal dengan harga yang ditawarkan, ia langsung masuk ke kolong meja. Korek api yang dibeli tadi dinyalakan dan, voila!, penerangan kecil tadi ia pakai buat mengintip vagina si perempuan.

Begitulah potongan scene Prenjak (2016), film pendek karya Wregas Bhanuteja yang saya tonton pada gelaran JAFF delapan tahun lalu. Hanya berdurasi 12 menit, film ini bikin saya ngakak kencang sekaligus merasa getir. Terutama dengan nasib perempuan dalam film, yang ditinggal pergi suami dan terpaksa mencari nafkah sendiri dengan cara menawarkan jasa intip alat vital.

Awalnya, saya mengira scene dalam film ini hanyalah fiksi alias murni ide sang sineas. Namun, ketika mendiskusikan film ini dengan seorang kawan baru-baru ini, saya baru tahu kalau adegan di film itu berangkat dari kisah nyata.

Bahkan, tak sekadar jasa intip vagina–yang ngetren pada 1990an–tapi juga ada praktik prostitusi terselubung di sana. Alun-Alun Utara, yang jaraknya hanya beberapa jengkal dari Kraton Jogja, pernah menjadi wisata lendir. 

Keberadaannya kini tak berbekas, hilang bersama rumput-rumput alun-alun yang berubah jadi pasir. Namun, jejaknya masih bisa kita cari melalui cerita dari orang-orang yang menjadi saksi hidupnya.

Banyak orang bungkam soal cerita prostitusi di Alun-Alun Utara Jogja

Untuk mengumpulkan kepingan informasi terkait prostitusi terselubung di kawasan wisata Jogja itu sebenarnya cukup tricky. Misalnya, jika kita memasukan kata kunci yang berhubungan dengan hal tersebut di internet, pasti artikel seputar Pasar Kembang (Sarkem) yang banyak kita jumpai.

Saat memutuskan mencari informasi via arsip koran cetak pun, saya juga mengalami kendala. Jogja Library di Jalan Malioboro yang selama ini saya andalkan buat mencari rekaman kejadian di masa lalu, tutup entah sampai kapan.

Bahkan, saat saya menghubungi beberapa sumber otoritatif seperti dosen sejarah sampai anggota dewan akamsi Jogja, mereka mengaku tak tahu. Ada yang pernah mendengar sekilas, tapi tak bisa memastikan karena belum melihat secara langsung.

Kondisi jalan sekitaran Alun-Alun Utara Jogja, dulu diklaim sebagai tempat prostitusi terselubung yang kini sudah berubah rupa (Mojok.co/Ahmad Effendi)

Pada Rabu (12/6/2024), saya mendatangi Alun-Alun Utara Jogja, tempat wisata lendir pernah eksis. Tanpa basa-basi, saya langsung mencari beberapa pedagang yang sudah puluhan tahun berjualan di sana. Dengan asumsi, setidaknya mereka tahu soal prostitusi tadi.

Sayangnya nihil. Pedagang yang saya wawancara kesemuanya mengaku tak tahu tentang hal yang saya tanyakan. Entah benar-benar tak tahu, atau hanya tak mau cerita. Entahlah! Yang jelas, nyaris satu jam di Alun-Alun Utara Jogja, tak ada informasi berarti yang saya dapatkan.

Tukang becak yang sering mengantar teman “ngesek-esek” di Alun-Alun Utara Jogja

Hujan tiba-tiba mengguyur Kota Jogja. Tentunya itu jadi keapesan bagi saya. Informasi belum ketemu, malah basah kuyup yang saya dapat. Saya pun memutuskan berteduh pohon beringin depan toko pakaian Dagadu. Mustahil bikin saya tidak basah kuyup, tapi setidaknya tas berisi laptop ini terselamatkan.

Dalam situasi tersebut, saya bertemu Poniyal, seorang tukang becak motor yang saya taksir berusia 60-an tahun. Dia menawari saya naik becak karena seharian ini memang belum ada penumpang. 

Poniyal, tukang becak yang sudah 40 tahun narik di lokasi wisata jogja, punya cerita soal prostitusi di alun-alun utara jogja (Mojok.co/Ahmad Effendi)

Karena memang sedang tak ingin berwisata keliling naik becak, dengan halus saya menolaknya. Saya juga menjelaskan maksud dan tujuan saya datang ke alun-alun siang itu.

“Oalah, dulu banyak tenda-tenda kecil di sini, Mas. Saya sering nganter penumpang ke tempat esek-esek di sini dulu,” kata Poniyal, bikin saya kaget.

Sayangnya, cerita Poniyal berhenti di situ. Ia enggan membagikan kepingan informasi kepada saya secara lebih lanjut. Hal tersebut tentu tak bisa saya biarkan. Namun, apa boleh buat, tiap kali saya bertanya perihal prostitusi di sana, ia selalu mengarahkan obrolan ke topik lain.

Saat Poniyal hendak beranjak dari becaknya, tiba-tiba dia memberi saya sebuah penawaran. “Mas naik aja dulu, kita muter, nanti saya ceritain sambil jalan,” ujarnya.

Kesempatan itu tentu tak bisa saya tolak. Kami pun sepakat buat berkeliling dari Alun-Alun Utara, memutar ke titik nol KM, melintasi Jalan KH Ahmad Dahlan menuju Kauman dan berakhir di Kraton Jogja. Saya membayar Rp25 ribu untuk rute tersebut, dan selama perjalanan Poniyal bercerita mengenai prostitusi di Alun-Alun Utara Jogja.

Sepanjang sisi timur Alun-Alun Utara dulu dipenuhi tenda remang-remang

Hujan belum berhenti. Alhasil, selama perjalanan saya menerobos rintikan air yang cukup deras. Poniyal selamat berkat helm dan jas hujannya. Sementara saya, yang memang sudah kadung basah, tambah mengginggil dibuatnya.

Sambil menaiki becak Poniyal, saya mendengarkan kepingan informasi terkait praktik lucah itu di di alun-alun utara (Mojok.co/Ahmad Effendi)

Selama perjalanan yang tak biasa itu, Poniyal bercerita, sudah sejak 1990-an mulai banyak perempuan yang menawarkan jasa esek-esek di Alun-Alun Utara Jogja secara terselubung.

“Macam-macam, yang Mas bilang tadi [inti vagina] ada, yang sampai main [bersetubuh] juga ada,” ujar lelaki yang sudah 40 tahun jadi tukang becak ini.

Poniyal tak tahu pasti dari mana para PSK ini datang. Namun, dari cerita yang ia dengar, mereka ini adalah para PSK di Sarkem yang tak kebagian jatah pelanggan.

“Makanya awalnya cuma berapa yang nawarin ‘main’ di alun-alun, eh, mungkin karena laku jadinya yang lainnya ngikutin. Pokoknya tahun 2000-an itu sudah nggak ada beda sama sarkem, Mas. Cuma yang di sini kerap kena semprit aja sama petugas,” kisahnya.

Poniyal ingat betul, pada awal 2000-an banyak tenda (yang sekarang jadi warung-warung) tiba-tiba berdiri. Di depan, tenda itu biasanya menjual jajanan laiknya angkringan. Tapi sebenarnya, tenda bagian dalam disewakan untuk PSK dan pelanggan yang sudah deal-dealan.

“Banyak, Mas, yang sekarang jadi warung kopi itu dulunya remang-remang semua. Laki-laki yang kayaknya nggak nemu yang cocok di Sarkem pada lari ke alun-alun,” jelasnya.

Kukut karena dianggap mengganggu ketertiban

Namun, beda dengan Sarkem yang legal, prostitusi di Alun-Alun Utara Jogja dianggap meresahkan. Tenda remang-remang yang berdiri tadi, dipandang bikin semrawut.

Poniyal menduga, karena alun-alun sering dilewati wisatawan luar, apalagi anak-anak, akhirnya tenda-tenda itu mulai dibongkar petugas. Namun, tukang becak ini tak ingat secara pasti sejak kapan praktik prostitusi di sini mulai terusir. 

“Duh, pas-nya nggak ingat. Mungkin 10 tahun lalu,” katanya. “Yang jelas para PSK pada balik ke Sarkem. Wong saya kenal kok, Mas, kebanyakan bukan orang Jogja.”

Mengutip laporan Koran Tempo edisi 24 September 2013, dinas ketertiban umum Kota Jogja mulai membongkar satu per satu tenda yang dianggap sebagai tempat prostitusi.

Kepala Bidang Penertiban Satpol PP Jogja waktu itu, Sukamto, menjelaskan dari pendataan yang pihaknya lakukan, lesehan wedang ronde dan jagung bakar secara terselubung juga melakukan praktik prostitusi. Apalagi kondisinya amat gelap dan masih minim penerangan di sana.

Tanto (49), penjual es kelapa muda di sekitaran Masjid Rotowijayan, Kraton Jogja, juga pernah punya pengalaman soal prostitusi di sana. Saat baru pertama merantau ke Jogja pada 1998, seorang teman mengajaknya buat minum wedang ronde di Alun-Alun Utara Jogja.

Tanto (49), penjual es degan dekat Kraton Yogyakarta, punya cerita terkait praktik pelacuran di alun-alun pada masa lalu (Mojok.co/Ahmad Effendi)

“Ya, aneh, sudah tengah malam ngajakin ngeronde,” ujar lelaki asal Sukoharjo, Jawa Tengah ini, Rabu (12/6/2024).

Ternyata, setelah sampai, temannya itu menyewa seorang PSK di sana. Tanto pun jelas kaget, karena di balik kegelapan alun-alun saat itu, ada bisnis lendir di dalamnya.

“Saya sih cukup tahu saja, Mas. Ya buat bahan cerita ke yang lain. Tapi kalau disuruh nyoba-nyoba gituan, alhamdulillah belum pernah,” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA Jalan Sewandanan Jogja Memotret Kepiluan Tukang Becak yang Siap Mati Kelaparan di Dekat Pura Pakualaman

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version