Tak sempat pakai sistem deteksi
Menjadi driver Gojek di Jakarta Pusat sejak 2015, sudah tak terhitung berapa kali Sholeh (45) menjadi korban order fiktif.
Sama seperti Nuril, saat belum tahu mekanisme pengaduan ke pihak aplikator, Sholeh tersiksa betul dengan keberadaan order fiktif. Mekanisme pengaduan agak melegakannya. Karena dengan begitu, setiap menjadi korban order fiktif, uang Sholeh bisa kembali secara utuh dari aplikator.
Akan tetapi, menurut Sholeh, setelah tahu mekanisme pengaduanpun tetap saja dampak order fiktif benar-benar merugikan driver.
“Karena gimana-gimana, kita keluar bensin untuk ke resto, terus nganter ke alamat tujuan,” ucapnya.
Sebenarnya Gojek punya fitur deteksi. Jadi kalau ada orderan mencurigakan, bisa langsung lapor. Kalau terindikasi fiktif, nanti akan muncul pemberitahuan kepada driver. Dengan begitu, driver bisa melakukan pembatalan pesanan tanpa dikenai penalti.
“Tapi di jalan nggak sempet lah, Mas. Persaingan antardriver di lapangan ketat. Jadi kalau ada orderan, nggak sempet ngecek fiktif atau bukan. Bawaannya langsung pengin ambil karena kami butuh duit,” beber Sholeh.
Sholeh berharap ada solusi yang lebih efektif. Namun, dia tidak memungkiri, seharusnya dengan sistem deteksi tersebut, para driver bisa mengantisipasi tertipu oleh order fiktif.
Order fiktif: musuh yang lebih mengerikan bagi driver Gojek
Baik Nuril maupun Sholeh sepakat, di antara hambatan yang mereka temui selama menjadi driver Gojek, order fiktif bagi mereka menjadi musuh yang amat mengerikan ketimbang musuh lain.
“Misalnya komisi 20%. Gimana-gimana juga terasa berat. Nggak heran kalau ada teman-teman driver protes agar ada pemangkasan. Katakanlah ke 10%. Tapi komisi itu kan seenggaknya tetep memberi pemasukan ke kami,” beber Sholeh.
Komisi 20% berpengaruh pada penentuan promo di aplikasi. Promo akan menarik banyak orderan masuk. Dengan begitu, Sholeh masih bisa menerima pemasukan. Tinggal seberapa rajin dia online setiap harinya.
“Orang Indonesia sukanya yang promo-promo. Ya mau bagaimana lagi, Mas. Dengan promo, pelanggan masuk. Kalau nggak ada promo, bisa pindah ke aplikasi lain yang pasang promo lebih gede,” sementara begitu pendapat Nuril.
Sehingga baginya, kendati merasa berat dengan potongan aplikasi, tapi order fiktif adalah musuh yang harus dibasmi dengan mekanisme yang benar-benar efektif. Caranya seperi apa? Kata Nuril, ya silakan pihak aplikator yang mikir.
Ke mana komisi 20% itu?
Mengutip Gojek, komisi 20% larinya ke pembangunan sumber daya. Selain bakal menjadi insentif atau bonus harian, tapi juga untuk membangun fitur keamanan, pelatihan digital, bahkan asuransi perjalanan.
Misalnya ada driver Gojek yang jatuh saat dalam perjalanan mengantar orderan, maka dia akan terbantu dari asuransi tersebut.
Dengan begitu, jika dilakukan pemangkasan lebih kecil lagi, maka yang terdampak bisa banyak: Satu, penghapusan sistem promo. Kebijakan ini bisa membuat orderan yang masuk berkurang bahkan sepi sama sekali.
Berikutnya, tidak adanya fondasi sumber daya penunjang yang memadai: terutama layanan terhadap mitra driver. Serba dilema memang.***(Adv)
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Cerita Orang Jogja yang Kuliah di Ohio: Amerika yang Biasa Saja, Sengsara Tanpa Gojek, dan Ngerinya Hidup di Tengah Pemegang Pistol atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












