Irfan (56) telah mengabdikan hidupnya sebagai guru honorer di sekolah swasta selama 22 tahun. Gajinya yang tak seberapa, membuatnya harus bekerja tambahan sebagai tukang pijat panggilan di Tunjungan Surabaya.
***
Pandemi Covid-19 membuat kondisi Indonesia kalang kabut, termasuk sekolah-sekolah yang harus menerapkan work from home (WFH). Sebagai guru honorer, pendapatan Irfan mulai menurun. Di masa itu, dia harus berjuang untuk menghidupi tiga anaknya yang masih sekolah.
Secara bersamaan, anak pertama dan kedua Irfan masuk ke jenjang SMP dan SMA. Dia pun mencari penghasilan tambahan sebagai tukang pijat di malam hari, sembari menjalani profesinya sebagai guru dari pagi.
Bertaruh hidup ke Surabaya
Irfan tak pernah menyangka bisa menjadi guru, meski hanya lulusan SMA. Ketika lulus, dia ikut pamannya sebagai kuli proyek di Surabaya.
Setelah proyek usai, pemuda asal Jember itu memutuskan untuk menetap di Surabaya dan mencari pekerjaan lain. Dia tidak pernah terpikir menjadi guru honorer sebelumnya.
“Daripada saya nganggur di desa, saya coba cari-cari kerja lain selama satu minggu. Mau gimananya ya lihat nanti, yang penting kerja dulu cari pengalaman,” katanya kepada Mojok pada Selasa (5/11/2024).
Setelah melamar sana-sini, Irfan akhirnya diterima menjadi waiters di restoran. Pekerjaan itu dijalaninya selama tiga tahun.
Dia keluar dari restoran karena lebih memilih membantu sanggar seni di sekitar kos-kosannya di Pelampitan, Surabaya. Mulai dari menyiapkan busana tari, alat musik, dekorasi panggung, dan lain-lain.
Menemukan minat mengajar sampai menjadi guru honorer
Berinteraksi dengan anak-anak sanggar membuat Irfan berpikir untuk membuka les-lesan. Selain mengasah bakat di bidang tari, Irfan ingin mereka tidak meninggalkan pelajaran akademik.
Meski hanya lulusan SMA, Irfan masih paham pelajaran dasar. Dia pun tidak mematok harga untuk anak-anak yang ingin les di tempatnya. Dia tahu, harga sekolah formal saja sudah mahal. Jadi, orang tua anak-anak itu biasanya akan bayar seikhlasnya.
“Orang tua saya hanya tukang batu, saya sendiri dulu harus membantu kerja orang tua saya untuk bisa melanjutkan SMA,” ujar Irfan.
Namun memang, ada saja orang tua yang berbaik hati membayar lebih. Biasanya dia bisa dapat sampai Rp150 ribu dalam sehari.
Kinerja Irfan dalam mengajar rupanya dikenal baik oleh warga sekitar. Kabar itu tersebar dari mulut ke mulut. Alhasil, salah seorang warga menawarkannya untuk mengajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) sebagai guru honorer di sekitar Jembatan Merah.
Tanpa pikir panjang, Irfan langsung menerimanya. Setiap berangkat ke sekolah, Irfan biasanya menggunakan bemo karena waktu itu dia tidak memiliki kendaraan sendiri.
Saat mengajar di MI tersebut, Irfan ndilalah bertemu dengan seorang perempuan setempat yang kemudian menjadi istrinya. Pernikahan antara Irfan dan perempuan itu berlangsung di tahun ketiga dia mengajar.
Mengabdi sebagai guru honorer selama 22 tahun
Tahun 1997, Irfan pindah mengajar ke sekolah dasar swasta di Peneleh. Saat itu, sekolah swasta tersebut sedang mencari guru olahraga.
Irfan merasa tertarik karena sesuai dengan minatnya. Dia pun mengirim berkas lamaran langsung ke kepala sekolah dan diterima.
Dalam prosesnya, Irfan pun akhirnya harus belajar lagi perihal materi dan praktik dalam mata pelajaran olahraga. Sebab, ada berbagai jenis olahraga yang detail jenisnya belum dia pahami. Misalnya, olahraga lari saja ada beberapa jenis, meliputi lari cepat, lari jauh, dan lari estafet.
Upah pertamanya saat menjadi guru olahraga itu sebesar Rp500 ribu. Di tahun itu, dia merasa upahnya masih cukup untuk memenuhi kehidupannya bersama sang istri.
“Seiring berjalannya waktu, saya disuruh mengajar ekstrakurikuler tari dan hadrah. Saya juga ditunjuk sebagai wali kelas, sehingga kalau dirata-rata pendapatan saya sekitar Rp1,8 juta dalam sebulan,” ucap guru honorer itu.
Bagi Irfan, mengajar bukanlah semata karena uang. Dia senang jika ilmu yang diberikan bermanfaat bagi sekitar.
“Pas anak-anak ketawa saat belajar, terus lihat mereka sekarang sukses itu rasanya senang,” ujarnya.
Banting setir dari guru honorer menjadi tukang pijat panggilan
Semakin ke sini, ternyata total gaji Irfan terbilang pas-pasan dan bahkan cenderung kurang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Terlebih, dia memiliki dua anak yang biaya sekolahnya juga harus dia perhatikan.
Oleh karena itu, Irfan pun membuka jasa pijat panggilan di samping kesibukannya mengajar. Berbekal minyak yang dia peroleh dari Kalimantan, tiap malam Irfan berangkat ke Jalan Tunjungan, Surabaya, mencari pelanggan.
Biasanya dia duduk di atas pedestrian. Tubuhnya diselimuti jaket dan topi. Sambil membawa lembar kardus bertuliskan “Pijat Tangan dan Kaki, WA: 0895345544848, Jl. Peneleh-VI/7A Surabaya”.
Kebanyakan pelanggannya merupakan orang yang sedang menginap di sekitar hotel. Dia pernah mendapatkan pelanggan yang ahli akupunktur. Pelanggan itu pun mengakui keahliannya.
“Dia dari Bali, katanya pijatan saya sudah sesuai titik-titik akupunktur tubuh. Bedanya dia pakai jarum,” kata Irfan.
Karena bekerja terlalu keras, kondisi fisik Irfan makin hari kian menurun. Alhasil, dia memutuskan cuti selama satu tahun dari sekolah. Tak lama berselang, dia pun memutuskan untuk pensiun dini dan melanjutkan kerja sebagai tukang pijat di Tunjungan Surabaya.
Berguru pijat dari sang paman
Pijat merupakan keahlian dari dua orang paman Irfan. Sebelum terjun ke profesi itu, Irfan sudah berguru dan meminta izin kepada pamannya. Pamannya itu bahkan memberikan minyak khusus dari Kalimantan.
“Minyak itu maksudnya tidak langsung asli dari Kalimantan, hanya kita pesan dari sana. Saya kalau pakai juga dicampur dengan minyak lain biar nggak boros, karena harganya cukup mahal,” kata pensiunan guru honorer tersebut.
Selain belajar teknik, pamannya telah memberikan “doa” untuk dirapalkan Irfan sebelum memijat pelanggan. Irfan juga harus memastikan agar pelanggan yakin dengan jasa pijatnya.
“Kadang saya tanya pelanggan saya dulu, apa keluhannya? Misal dia batuk-batuk, itu ada tekniknya. Tapi saya selalu mulai dengan doa,” ucap tukang pijat Tunjungan Surabaya itu.
Irfan tak mematok harga untuk jasa pijatnya. Dalam sehari, dia bisa mendapatkan upah Rp50 ribu sampai Rp150 ribu, bahkan kadang tidak dapat sama sekali.
“Kadang orang itu bingung mau bayar berapa, tapi saya bilang kayak panjenengan mau sedekah ke masjid, seikhlasnya kasih berapa,” ucap Irfan.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News