Mengajar anak-anak usia dini bukanlah kegiatan yang mudah, apalagi jika tidak digaji. Hal tersebut membutuhkan energi dan kesabaran tingkat tinggi. Namun, beberapa relawan atau guru di Sekolah Gajahwong, Jogja sukarela melakukannya karena panggilan hati.
***
Di sebuah desa bernama Ledhok Timoho terdapat Sekolah Gajahwong yang sudah berdiri lebih dari 10 tahun. Sesuai namanya, sekolah itu terletak tak jauh dari Sungai Gajahwong, Jogja. Di sana, para relawan atau guru-guru mengajar anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu. Kebanyakan dari mereka tidak bisa belajar di sekolah resmi karena tak punya biaya.
Sekolah Gajahwong ini hadir sebagai sekolah gratis yang berbasis komunitas. Sekolah ini dapat memberikan pendidikan gratis untuk anak-anak kurang mampu tanpa persyaratan administratif. Selain itu, masyarakat pra-sejahtera desa dapat menjadikan sekolah ini sebagai opsi alternatif.
Sekolah Gajahwong mengupayakan pendidikan gratis dengan mengelola relasi berjejaring, mengandalkan donasi, dan juga melibatkan masyarakat desa. Beberapa dari dana yang diperoleh untuk operasional sekolah berasal dari penelitian yang dilakukan di sekolah, maupun siapapun yang rela berdonasi.
Para guru yang mengajar ada yang berupa relawan tanpa gaji. Ada pula yang hanya diupah berupa uang transportasi. Mereka yang diupah biasa masuk secara penuh yakni Senin sampai Jumat. Untuk guru yang berperan sebagai relawan, mereka rela tidak digaji sepeser pun.
Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa atau fresh graduate yang masih memiliki waktu luang. Namun, toh jika nanti ada kesibukan mereka tak langsung lepas tangan begitu saja. Beberapa dari relawan bahkan memilih untuk tetap lanjut, meski periode mengajar sebelumnya sudah selesai.
Terlanjur sayang dengan murid di Sekolah Gajahwong
Fara, salah sartu guru relawan di Sekolah Gajahwong, Jogja bercerita alasannya tetap lanjut mengajar. Dalam periode satu semester atau enam bulan mengajar, ia merasa kedekatannya dengan anak-anak di sana sudah cukup baik. Fara pun tak tega jika harus menginggalkan murid-murid yang ia bimbing.
“Mereka akan kangen ketika kita pergi, begitu juga aku ikut kangen,” ujar Fara saat ditemui Mojok di Sekolah Gajahwong, Jogja pada Jumat (8/8/2025).

“Anak-anak di sini itu manis-manis banget dan penyayang, jadi rasanya kayak sudah terbangun ikatan gitu,” cerita salah satu relawan lainnya.
Beberapa relawan mengaku punya keinginan untuk mendampingi murid-murid, setidaknya sampai mereka masuk SD.
Selain itu, beberapa dari mereka juga merasa periode mengajar yang diberikan terlalu singkat. Dalam 6 bulan periode mengajar, skema mengajar bagi guru relawan diminimalkan dua kali mengajar dalam seminggu. Walaupun tidak ada batasan durasi waktu mengajar, beberapa relawan merasa satu periode tidak cukup untuk mengenali anak-anak yang mereka ajar.
Guru relawan: tidak banyak memberi malah menerima
Meski tak mendapatkan gaji, beberapa relawan mengaku ada pelajaran berharga yang mereka dapatkan. Karena sering berbincang dengan setiap anak, relawan jadi tahu latar belakang keluarga mereka. Hal itu membuat relawan harus saling belajar dan empati.
“Volunteer itu kan ekspektasinya kami ngasih sesuatu kepada komunitas tertentu, tetapi di sini aku justru merasa sebaliknya. Merekalah yang banyak memberikan sesuatu berharga. Tidak hanya pengalaman, tapi juga sistem pendidikan berbasis komunitas,” tutur Nila salah satu guru relawan Sekolah Gajahwong.
Tak bisa dipungkiri jika mendidik anak perlu kepekaan tingkat tinggi, mengingat setiap individu punya karakter yang berbeda. Wawasan ini adalah salah satu bekal pembelajaran yang didapatkan oleh guru relawan di Sekolah Gajahwong.
“Ternyata setiap anak itu berbeda dan cara handlenya juga berbeda-beda. Ada yang harus dilembutin, ada juga yang digalakin malah senang,” ucap Fara sambil tertawa ringan.
Kadang-kadang, kata Fara, ia perlu berlatih sabar dan mengeluarkan perhatian lebih kepada anak-anak. Pada akhirnya, pengalaman itu kini menjadi bekal untuk bekerja di bidang yang tak sama, misalnya dalam melatih pola asuh ketika menjadi orang tua nantinya.
Harapan untuk pendidikan kita
Selain menjadi wadah pembekalan pengalaman, tentunya kerja-kerja relawan adalah memberikan sesuatu dengan sukarela dengan apa yang dikerjakan. Dalam konteks guru relawan Sekolah Gajahwong, hal tersebut berbentuk pendidikan yang diberikan terhadap anak-anak yang tidak mampu mencari pendidikan resmi.
Latar belakangnya pun bermacam-macam, ada yang memang keluarganya tidak mampu secara finansial, ada yang belum memiliki identitas, dan juga masyarakat komunitas yang mengupayakan tinggal di desa dengan status 100 persen legal.
Hal ini lah yang menjadi gairah guru relawan pada Sekolah Gajahwong dalam pengajaran mereka sehari-hari. Dengan ikatan yang telah dibangun bersama murid-murid, kerjaan para relawan pun tidak terasa begitu berat.
Munculnya Sekolah Gajahwong juga mencerminkan sistem pendidikan negara ini yang belum memadai, sehingga muncul sekolah berbasis komunitas itu untuk memenuhi kebutuhan yang masih kosong. Kehadiran Sekolah Gajahwong memberi harapan bahwa masih terdapat empati dalam masyarakat kita, terutama pada pengelola sekolah dan para guru relawannya yang terus bersemangat mengajar anak-anak muda.
Tulisan ini diproduksi oleh mahasiswa program Sekolah Vokasi Mojok periode Juli-September 2025.
Penulis: Mohamadeus Mikail
Editor: Aisyah Amira Wakang
BACA JUGA: Hari-hari “Sesak” Penambang Pasir di Sungai Gajahwong, Bergumul dengan Air Keruh demi Hidupi Keluarga atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.