Para driver Grab merasa seperti dipaksa mengikuti program Akses Hemat dari aplikator. Sebab, jika tidak mengikuti, maka tidak dapat prioritas akses untuk layanan Grab Hemat. Sementara kini makin banyak penumpang menggunakan layanan tersebut ketimbang reguler.
***
Ada beberapa aplikasi ojek online (ojol) di ponsel saya. Salah satu yang sering saya gunakan adalah Grab.
Saya pun terbilang kerap menggunakan layanan “Hemat”—misalnya GrabBike Hemat—untuk menuju satu titik di Jogja jika tidak memungkinkan membawa motor sendiri.
Beberapa kali saya berbincang dengan para driver. Baik yang mengantarkan saya maupun yang saya temui di sudut-sudut tertentu Jogja.
“Apakah Grab Hemat cucuk, Mas/Pak dengan jarak sejauh ini?” Begitu pertanyaan yang pernah saya lontarkan misalnya saya sadar, ternyata jarak antar yang saya minta jauh sekali.
“Sejujurnya nggak, Mas. Karena motor jalan pakai bensin. Kalau fee yang masuk kecil, kan nggak cucuk,” begitu jawaban yang sering saya dapat dari para driver.
Jika sudah begitu, saya yang semula berniat pakai Grab Hemat biar hemat, malah berujung tidak tega. Saya tetap bayarkan sesuai harga reguler alih-alih harga harga hemat sesuai yang saya pesan.
Akses Hemat katanya biar orderan melimpah lewat Grab Hemat
Pada awal April 2025, aplikator membuat program Akses Hemat untuk para mitra driver.
Gambaran mudahnya kira-kira begini: Jika mitra driver mengikuti program tersebut, maka driver akan mendapat akses prioritas untuk layanan pesanan Grab Hemat.
Dengan begitu, pendapatan akan naik karena tingginya trefik pengguna layanan Grab Hemat. Hanya saja, untuk mendapat akses tersebut, para mitra driver akan dikenai tambahan biaya/potongan lagi dari aplikator.
Tyas Widyastuti Director Mobility & Logistics, Grab Indonesia mengklaim, program tersebut terbukti mampu menaikkan pendapatan para mitra driver.
“Program tambahan baru bersifat opsional dengan memungkinkan mitra pengemudi mendapatkan akses pada layanan GrabBike Hemat,” jelasnya sebagaimana mengutip Detik Finance.
Artinya, driver bisa mengikuti Akses Hemat, bisa juga tidak. Bahkan, jika sudah mengikuti pun tetap boleh-boleh saja jika ingin membatalkan.
Baca halaman selanjutnya…
Kalau tak pakai Akses Hemat orderan makin sepi, tapi kalau pakai pendapatan malah makin ancur
Akses Hemat paksa driver pakai Grab Hemat
“Itu memang tidak diwajibkan. Tapi kenyataannya, para mitra seolah dipaksa buat mengikutinya,” sementara begitu keluhan dari Utomo (27), salah seorang mitra GrabBike asal Jogja kepada saya, Senin (5/5/2025) malam WIB.
Bagaimana tidak. Jika tidak mengikuti, maka orderan bisa terancam sepi. Karena kenyataannya memang banyak penumpang memilih Grab Hemat.
Sebab, dengan lokasi antar-jemput yang sama, jarak yang sama, dan waktu tempuh yang sama, penumpang akan mendapat harga di bawah reguler. Sedangkan bagi driver, pada jarak tempuh yang jauh, selisihnya tentu akan sangat terasa. Dan itu memberatkan sekali.
“Sedangkan kalau ikut program, maka pendapatan terancam makin berkurang,” tutur Utomo.
Ilusi pendapatan naik
Adapun skema pembayaran Akses Hemat itu, kata Utomo, adalah memotong pendapatan driver di akhir hari (memotong total pendapatan dalam sehari).
“Per order bisa Rp2 ribu kalau sehari ambil satu orderan. Sampai maksimal di Rp13 ribu untuk tujuh orderan atau lebih. Akan lebih ringan pembayarannya jika mendapat orderan lebih dari tujuh,” beber Utomo.
Bagi Utomo, hanya ada satu solusi agar para mitra driver tidak menderita. Yakni hapus saja program Akses Hemat dan layanan Grab Hemat. Sebab, alih-alih meningkatkan pendapatan, program itu—setidaknya yang Utomo dan teman-temannya sesama mitra rasakan—justru membuat pendapatan makin berkurang.
Jeritan yang diabaikan
Pada penghujung April 2025 lalu sempat terjadi aksi demonstrasi oleh para mitra driver di berbagai daerah, dari Bali, Balikpapan, Medan, Jogja, hingga Jakarta. Para mitra driver menuntut penghapusan program dan layanan “Hemat” tersebut.
Akan tetapi, hingga saat ini, jeritan itu seperti diabaikan begitu saja. Tidak ada tanda-tanda kabar baik yang akan datang.
Kenapa tidak keluar saja dari pekerjaan itu jika makin ke sini makin memberatkan?
Di Indonesia saat ini nyaris tidak ada posisi yang lebih baik. Pilihannya hanyalah buruk dan lebih buruk. Berhenti jadi driver barangkali membuat seseorang keluar dari posisi buruk. Tapi akan mengantarkan ke posisi yang lebih buruk: menganggur. Cari pekerjaan makin susah. PHK di mana-mana tak terbendung.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Coba-coba Order Zendo (Ojol Muhammadiyah) di Jogja, Berujung Tak Tega sama Driver-nya atau liputan Muchamad Aly Reza lainnya di rubrik Liputan
