Sarah (26) masih ingat betul pemandangan indah lewat jendela rumahnya di dataran tinggi Gayo Lues, Aceh. Begitu asri. Lebat dengan pepohonan, kebun, dan lanskap perbukitan.
Beruntung, beberapa hari sebelum tsunami Aceh yang terjadi pada 26 Desember 2004, ia dan kedua orang tuanya memutuskan pindah ke Batam, Kepulauan Riau. Sehingga mereka berhasil selamat dari gempa dahsyat itu.
Namun, beberapa saudara Sarah tetap memilih tinggal di Sumatra. Mereka tersebar di Bener Meriah, Aceh Besar, Banda Aceh, dan Gayo Lues. Meski tsunami tak menghantam Gayo Lues secara langsung, tapi dampaknya tetap terasa bagi keluarga Sarah.

Mulai dari terputusnya hubungan logistik, meningkatnya jumlah pengungsi, kendala ekonomi, hingga trauma yang masih terbawa hingga saat ini. Oleh karena itu, saat mendengar bencana banjir dan longsor yang terjadi di Sumatra sejak Senin (24/11/2025) kemarin, Sarah tak bisa berhenti khawatir memikirkan saudara-saudaranya.
Menanti kabar dari keluarga
Di hari pertama Sarah mendengar berita banjir dan longsor lewat media sosial, ia langsung menghubungi kakak kandungnya yang kedua. Kakaknya yang saat itu sedang sakit berujar hujan turun seperti biasa di Gayo Lues.
“Awalnya kami masih positif thinking karena daerah Gayo itu, kata Bapakku, belum pernah dapat bencana sebesar ini. Kalaupun ada, biasa disebut banjir biasa tiap lima tahun sekali,” kata Sarah saat dihubungi Mojok, Senin (1/12/2025).

Tanpa mereka sangka, banjir dan longsor yang terjadi di Sumatra bukan fenomena alam biasa lagi. Direktur Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Rocky Pasaribu menyebut bencana yang terjadi di Sumatra pada November 2025 menjadi tragedi ekologis terburuk dalam 35 tahun terakhir.
“Dalam tiga dekade terakhir, inilah bencana dengan dampak terluas dan jumlah kejadian terbanyak dalam satu waktu,” ucapnya dikutip dari Tempo, Selasa (2/12/2025).
Bak terbangun dari mimpi indah
Melansir dari laman resmi Kabupaten Gayo Lues, kerusakan parah terjadi pada sejumlah ruas jalan di Gayo Lues. Ribuan rumah bahkan rusak dan hanyut. Akibatnya, bantuan logistik tidak bisa segera menjangkau masyarakat yang terisolasi.
Bahkan, jaringan komunikasi pun terputus. Begitu pun Sarah yang kehilangan kontak kakaknya selama 6 hari.
“Sejak hari kedua, kakakku tidak bisa dihubungi. Dari situ kami mulai khawatir karena melihat berbagai berita di media sosial,” ujar Sarah.
Sepanjang hari, Sarah tak bisa berhenti melihat video-video yang dibagikan oleh warga net khususnya yang menunjukkan kondisi Gayo Lues. Setidaknya, ia berharap bisa mengetahui kondisi kakaknya dari sebuah potongan video. Alih-alih mendapati sosok kakaknya, Sarah hanya bisa menelan ludah.
“Bapakku yang usianya sudah 67 tahun bahkan sampai bilang begini ‘Bapak belum pernah lihat Gayo seporak-poranda ini’,” ujar Sarah.

Bagi Sarah dan keluarganya, Gayo Lues adalah tempat yang indah. Sesuai arti namanya, ia berarti gunung yang luas. Terletak di gugusan bukit burisan, hasil pemekeran dari Aceh Tengah. Luasnya sekitar 5.719 kilometer persegi.
Saking eksotisnya, Gayo Lues sering disambangi oleh wisatawan maupun pendaki. Misalnya, Taman Nasional Gunung Leuser, kampung wisata Agusen, Air Terjun Rerebe, Danau Blangtasik, Danau Laut Tawar, dan masih banyak lagi.
Masyarakat di sana kebanyakan bekerja sebagai petani. Salah satunya petani kopi dan tembakau. Bahkan, Kopi Gayo terkenal dengan kualitasnya yang mendunia dan menjadi salah satu kopi terbaik di Asia.
Gayo Lues butuh memulihkan diri
Kini, Gayo Lues butuh waktu memulihkan diri. Tak hanya warganya, tapi tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hidup di dalamnya. Hal itu pun bisa terwujud apabila perusakan hutan dan alih fungsi lahan segera dihentikan.
Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS) dari UGM, Hatma Suryatmojo berujar bencana banjir bandar di Sumatra pada akhir November 2025 sejatinya bukan peristiwa yang berdiri sendiri.

Bahkan para ahli menilai fenomena ini merupakan bagian dari pola berulang, di mana bencana hidrometeorologi kian meningkat dalam dua dekade terakhir. Kombinasi faktor alam dan ulah manusia pun berperan di baliknya.
“Curah hujan memang sangat tinggi kala itu,” ujar Hatma dilansir dari laman resmi UGM, Selasa (2/12/2025).
“Namun, cuaca ekstrem hanyalah pemicu awal. Dampak merusak banjir bandang tersebut sesungguhnya diperparah oleh rapuhnya benteng alam di kawasan hulu,” lanjutnya.
Lebih dari itu, Hatma menegaskan perlu adanya kesinambungan hubungan antara manusia dan alam. Misalnya dengan melindungi hutan, menata ruang berbasis mitigasi, dan meningkatkan kesadaran ekologis.
“Rehabilitasi lahan kritis dan reforestasi di area tangkapan air strategis juga mendesak dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan sebagai pengendali daur air. Selain itu, meningkatkan edukasi dan partisipasi masyarakat lokal dalam menjaga hutan akan memperkuat upaya perlindungan lingkungan jangka panjang,” tuturnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan











