Dari Jogja Mencari Harimau Jawa 10 Hari Membelah Ujung Kulon, Hutan Jadi Mencekam Saat “Mbah Gembong” Datang

Ilustrasi harimau jawa (Ega/Mojok.co)

Harimau jawa tidak pernah benar-benar punah. Itulah yang dipercaya segelintir pegiat konservasi sejak lama. Berbagai tanda dan kesaksian membuat mereka terus mencari. Termasuk pada 2018 dan 2019, saat berbagai elemen Mapala dari Jogja dan berbagai kota lain 10 hari membelah Taman Nasional Ujung Kulon.

***

Jauh sebelum geger temuan sehelai rambut yang punya DNA identik dengan harimau jawa baru-baru ini, sudah banyak kalangan yang berusaha membuktikan bahwa karnivora besar ini masih mendiami hutan-hutan lebat di Pulau Jawa. Salah satunya, Didik Raharyono yang sejak 1997, mulai mencari bukti eksistensi harimau jawa yang sudah dinyatakan punah oleh IUCN sejak 1980-an.

Berdasarkan sejumlah kesaksian, pada 1997 Didik melakukan pencarian di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Perjalanannya terus berlanjut hingga ke berbagai titik hutan di Pulau Jawa.

Upaya itu ia seriusi dengan menginisiasi Peduli Karnivor Jawa (PKJ) yang pada perjalanannya tidak cuma fokus pada harimau jawa melainkan pelestarian karnivora lain. Apa yang lulusan Biologi UGM ini lakukan kemudian memantik upaya serupa dari berbagai kalangan. Termasuk dari elemen Mapala, relawan, dan peneliti yang pada 2018-2019 lalu berusaha memverifikasi kesaksian dari ranger di Taman Nasional Ujung Kulon.

“Kebetulan saat di Ujung Kulon kami absen ikut. Kami saat itu konsentrasi ke dugaan harimau jawa yang ada di hutan jati Jawa Tengah,” tuturnya kepada Mojok, Rabu (3/4/2024).

Namun, ekspedisi “Menjemput Harimau Jawa” di  Blok Gunung Payung Semenanjung Ujung Kulon juga tak lepas dari pengaruh kegigihan Didik dalam mencari bukti keberadaan sang raja hutan tersebut. Fajar Kuncoro (34), salah seorang dari Jogja yang terlibat dalam perjalanan membelah hutan pada 27 Juni – 8 Juli 2018 itu kemudian membagikan cerita proses menantang saat mencari jejak-jejak karnivora besar itu.

Ekspedisi swadaya

Ekspedisi Menjemput Harimau Jawa diinisiasi oleh Yayasan Astacala, Kappala Indonesia, Peduli Karnivor Jawa (KPJ), dan sejumlah Mapala dari berbagai kota. Saat itu, Fajar berangkat dari Bingkai Indonesia, sebagai pihak yang dipercaya membantu proses dokumentasi.

Seperti ekspedisi di Meru Betiri dan titik lain sebelumnya, penjelajahan di Ujung Kulon berangkat dari kesaksian dan bukti dokumentasi. Pada 25 Agustus 2017 terdapat video dari petugas TN Ujung Kulon yang mengindikasikan keberadaan seekor anakan harimau jawa. Meski tangkapan gambar dalam video itu banyak dianggap mirip macan tutul, namun tim ekspedisi punya dugaan berbeda.

“Kalau lihat dari buktinya, kami ada asumsi bahwa itu tetap harimau jawa. Dari ukurannya memang masih anakan,” kata Fajar saat Mojok temui.

harimau jawa di ujung kulon.MOJOK.CO
Penampakkan harimau jawa di TN Ujung Kulon pada 1938 (Wikimedia Commons)

Selepas melakukan survei di lokasi Cidaon, Ujung Kulon, tim ekspedisi akhirnya melakukan upaya pengumpulan dana secara swadaya. Total, menurut Fajar, terkumpul sekitar Rp70 juta lewat berjualan beragam merchandise. Biaya itu, bisa mendukung proses penjelajahan di dalam hutan selama 10 hari.

Ekspedisi panjang membelah hutan belantara didukung dengan tim dengan kapasitas mumpuni di berbagai aspek penjelajahan alam. Para Anggota Mapala dari Universitas Telkom, UIN Syarif Hidayatullah, UIN Sunan Kalijaga Jogja, dan berbagai perguruan tinggi lain yang ikut masing-masing punya skil dalam aspek navigasi, vegetasi, dan berbagai kemampuan bertahan hidup di alam bebas.

Selepas melakukan beragam pembelakan di kawasan TN Ujung Kulon, mereka akhirnya berangkat masuk ke dalam hutan belantara. Peserta ekspedisi yang berjumlah 34 orang dibagi menjadi lima tim yang menyusuri hutan dengan rute yang berbeda.

“Di awal kami membelah teluk pakai kapal, untuk mempersingkat waktu karena jika jalan bisa 4 hari,” kata lelaki dari Jogja ini.

Kotoran hingga cakar harimau jawa di sepanjang perjalanan

Salah satu tim yang terdiri dari penjelajah senior dengan kemampuan fisik mumpuni melakukan penjelajahan dengan rute terjauh. Satu tim lain menyusuri aliran sungai, sementara tiga tim lain berpencar melakukan perjalanan membelah Ujung Kulon dari utara ke selatan. Mereka kemudian merencanakan untuk berkumpul kembali di utara tepatnya di sebuah titik dekat muara sungai area Cidaon.

Sepanjang perjalanan, Fajar dengan regunya yang terdiri dari tiga orang menemukan beberapa jejak, kotoran, hingga bekas cakaran yang memperkuat dugaan eksistensi harimau jawa. Cakaran ia temukan di pohon kayu menyan.

“Dari ukurannya memang lebih besar dari macan tutul. Warga lokal juga bilang kalau harimau jawa itu suka dengan bau dari kayu menyan,” katanya.

Fajar, salah satu anggota dari Jogja pada ekspedisi “Menjemput Harimau Jawa” (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Fajar ingat, sekitar pada hari kelima perjalanan, ia menemukan semacam lorong yang tersusun dari tumpukan ranting dan daun kering. Dari ukurannya, lagi-lagi ia menduga bahwa itu bisa jadi tempat persinggahan harimau jawa.

“Selain itu sempat juga mencium bau bangkai, tapi kami tidak berhasil menemukan lokasinya. Yang jelas baunya cukup kuat,” terangnya.

Di perjalanan, regunya juga beberapa kali berjumpa dengan petapa yang sedang melakukan ritus spiritual di kawasan Ujung Kulon. Di pesisir selatan taman nasional ini memang terdapat sebuah tempat bernama Sri Sangyang Sirah yang konon jadi lokasi moksa Prabu Brawijaya 5.

Petapa yang ia temui di jalan juga punya cerita soal perjumpaannya dengan sosok yang diduga harimau jawa. Namun, lagi-lagi kesaksian tidak cukup untuk menjadi bukti keberadaan spesies yang sudah dinyatakan punah tersebut.

“Kalau kesaksian, ada sekitar 7 orang yang mengaku pernah melihat, termasuk dari kalangan warga lokal,” kata lelaki berambut gondrong tersebut.

Baca halaman selanjutnya…

Hewan besar seperti harimau jawa yang meneror perkemahan

Momen kedatangan hewan besar diduga harimau jawa

Hari terus berganti hingga jelang batas estimasi waktu penjelajahan di dalam hutan berakhir. Regu Fajar, belum mendapat temuan yang lebih kuat dari beberapa ekspedisi lain yang pernah dilakukan. Temuannya berkisar dari feses, bekas cakaran, dan jejak.

“Sampai di sekitar hari kedelapan atau kesembilan, saat dua regu termasuk regu saya sudah sampai di titik kumpul sekitar aliran sungai, ada kejadian yang cukup menegangkan,” ceritanya.

Saat itu, selepas waktu magrib, anggota regu sudah berada di tenda perkemahan. Suara hutan yang biasanya agak riuh dengan berbagai bunyi-bunyian tiba-tiba menjadi sunyi. Keheningan itu berlangsung sekitar lima menit sampai tiba-tiba ada suara yang cukup mengagetkan.

“Suaranya itu grrr… kencang, kalau pernah dengar suara harimau di kebun binatang, ini lebih besar lagi suaranya,” terangnya.

Setelahnya, beberapa di antara anggota regu berpencar untuk mencari sumber suara. Sambil berjalan, lampu senter mereka sorot ke berbagai arah.

“Salah satu anggota kami itu ke pinggir aliran sungai dan kemudian mengaku melihat sorot mata di balik dedaunan pohon talas liar. Dia kaget, terjatuh, nggak sempat dokumentasi. Sekelebat saja terus penampakan itu menghilang,” tuturnya.

Malam itu, Fajar merasa tempat perkemahannya seperti “diawasi” dari sekitar. Para anggota bergantian berjaga sampai hari kembali terang.

Akhir dari ekspedisi

Sampai ekspedisi berakhir, momen itulah, Fajar mengaku merasa begitu dekat dengan “Mbah Gembong” -julukan untuk harimau jawa. Temuan tim ekspedisi “Menjemput Harimau Jawa” kemudian diserahkan kepada Dirjen KSDAE KLHK. Pada 2019, setelah pulang ke Jogja Fajar kembali terlibat dalam ekspedisi tindak lanjut di Ujung Kulon kembali namun dengan waktu yang lebih singkat.

Kini, perbincangan mengenai harimau jawa kembali menguat setelah peneliti dari BRIN mempublikasikan hasil tes DNA dari sehelai rambut yang ditemukan di Sukabumi, Jawa Barat. Sampel itu 97% cocok dengan DNA spesimen harimau jawa koleksi Museum Zoologicum Bogoriense [MZB] tahun 1930. Namun, perjalanan untuk benar-benar membuktikan keberadaan Mbah Gembong masih terus berlanjut.

Penulis: Hammam Izzuddin

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Harimau Jawa Mengintai Permukiman Dekat Hutan, tapi Warga Desa Tak Perlu Khawatir Seperti Orang Kota

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version