Ada segelintir orang yang kerja di Jakarta dan tak bisa merasakan mudik Lebaran. Tahun pertama kerja adalah masa yang berat. Rentetan penolakan dan tragedi, salah satunya dialami oleh seorang lulusan dari PTS di Jogja.
Kini Diko* (25) tinggal seorang diri menghuni sebuah kos paviliun di Tebet, Jakarta Selatan yang biasanya ditinggali tiga orang pekerja. Mereka bertiga, tinggal di bangunan satu kamar demi menghemat pengeluaran. Dua rekannya, sudah mudik ke kampung halaman pada Sabtu (6/4/2024) lalu.
Dua rekannya, memang sudah kerja di Jakarta terlebih dahulu. Mendapat pekerjaan yang lebih pasti sehingga bisa nabung untuk mudik Lebaran kali ini.
Diko tiba di Jakarta pada Juli 2024 bermodalkan semangat untuk wawancara kerja. Namun, proses mendapat kerja di Jakarta tidak semudah yang ia bayangkan. Perlu waktu sampai enam bulan sampai akhirnya ia dapat pekerjaan yang agak layak.
“Sejak awal menginjakkan kaki di Jakarta, menghadapi kesulitan, udah terbayang kalau akan susah mudik di tahun pertama,” curhatnya saat Mojok hubungi Senin (8/4/2024).
Mudik terasa penuh beban
Beberapa waktu lalu, Diko mengaku berdiskusi dengan teman seatap yang sama-sama berasal dari Sulawesi Selatan bahwa mudik perlu modal banyak. Untuk biaya akomodasi pesawat pulang dan pergi saja bisa mencapai Rp4 juta.
“Belum nanti mikir THR untuk keponakan. Kerja di Jakarta di bayangan sebagian saudara kan gajinya sudah lumayan. Padahal belum tentu bisa menyisihkan,” tuturnya.
Ia memperkirakan bahwa butuh setidaknya Rp6-7 juta untuk mudik layak. Artinya, bisa untuk akomodasi, THR untuk saudara yang masih kecil, dan biaya-biaya lain untuk memberikan suguhan bagi keluarga dan saudara.
“Temanku sih sudah bisa menyisihkan segitu. Kalau aku, sudah di Jakarta dari Juni tahun lalu tapi baru dapat kerjaan yang jelas Februari 2024 ini. Belum bisa menyisihkan,” keluhnya.
Bapaknya, tentu mengharapkan Diko untuk bisa pulang ke kampung halaman. Namun, setelah menjelaskan alasan panjang bahwa belum sanggup untuk mudik, sang bapak pun memahami. Diko pun mengaku tak sampai hati jika harus meminta uang lagi karena bapaknya saat ini hidup dari pensiunan.
Merasakan sepinya Jakarta
Sudah 10 bulan hidup di Jakarta, membuat Diko sudah merasa menyatu dengan kepadatan ibu kota. Merasakan kemacetan sekaligus padatnya berdesak-desakan dengan sesama pekerja di KRL.
Pada Minggu (7/4/2024) lalu ia mencoba keluar dari kos untuk bermain basket di Menteng, Jakarta Pusat. Di momen itulah ia merasakan sepinya Jakarta saat masa mudik Lebaran. Jalanan lengang tak seperti di hari-hari biasa.
“Jalanan rasanya sudah seperti saat dulu aku di Jogja. Nggak sepi banget tapi kayak bukan Jakarta lagi,” katanya.
Di momen-momen sepi, saat teman seatapnya sudah mudik, ia mengaku banyak merefleksikan perjalanan usahanya untuk kerja di Jakarta hampir setahun terakhir. Proses yang tidak mudah.
Pada masa-masa awal, kerjaannya hanya rajin-rajin mengirim lamaran dan menjalani proses wawancara yang seringnya berakhir dengan kabar bahagia. “Pokoknya aku daftar semua lowongan di LinkedIn sampai JobStreet. Lebih dari 100 lamaran aku kirim,” kenangnya.
Baca halaman selanjutnya…
Tragedi masuk kerja hari pertama justru gedung kantornya ambruk