Bisnis laundry menjamur di Jogja. Di balik itu, ada kisah penderitaan para pekerja yang kebanyakan perempuan usia muda lulusan SMA. Mereka dibayar jauh di bawah UMR Jogja, kerap lembur tanpa uang tambahan, hingga dituduh mencuri saat putuskan keluar.
***
Datang jauh dari Purwokerto, berharap bisa dapat kerja cepat dengan upah layak justru membawa Dini* (22) jadi karyawan laundry. Upahnya, sebagaimana banyak karyawan di usaha kecil, masih jauh di bawah UMR Jogja.
Namun, ia kerap harus menjaga sendirian kios yang buka 24 jam di kawasan Jalan Kaliurang dekat Kampus UII, Sleman. Sejak mulai disuruh bosnya kerja melebihi kesepakatan yakni delapan jam, ia merasa harus keluar.
“Tapi sempat ditahan gitu. Disuruh nggak keluar,” ungkapnya.
Mencari siasat, akhirnya ia mengakali bosnya dengan meminta izin untuk pulang kampung sebentar. Ada urusan keluarga. Namun, ia sebenarnya tak benar-benar pulang.
“Aku sebenarnya masih di Jogja. Nggak ada cara lain buat keluar selain begitu,” ungkapnya.
Selepas itu, demi bertahan di Jogja ia sempat kembali bekerja di tempat laundry lain. Situasinya tak jauh berbeda. Hingga akhirnya ia memutuskan kembali keluar.
Lowongan kerja laundry memang banyak bertebaran di Facebook. Pilihan kepepet bagi orang seperti Dini yang butuh cepat-cepat kerja modal lulusan SMA. Di Jogja, bisnis laundry tumbuh subur seiring dengan pertumbuhan mahasiswa. Sebagian laju usaha laundry kecil, didorong dengan pekerja perempuan muda seperti Dini.
Saya tak berkesempatan banyak berbincang dengan Dini karena perempuan itu tak mau berbagi banyak cerita. Namun, saya mendapat cerita lebih detail dari Tiara* (21), karyawan laundry di Depok, Sleman yang kebetulan pernah jadi teman kerjanya.
Lulusan SMA terjebak karena kebutuhan mendesak
Di antara tumpukan baju kotor di kios kecil yang luasnya sekitar 5×4 meter, Tiara sempat menggantungkan hidup selama enam bulan. Gajinya hanya Rp1,6 juta. Nominal yang meski jauh di bawah UMR Jogja namun awalnya masih ia terima.
Seperti Dini, Tiara bekerja di tempat itu karena kepepet. Ia baru saja kena PHK dari tempat kerja sebelumnya. Setelah lulus SMA ia langsung bantu mencari nafkah lantaran ibunya sakit sementara bapaknya hanya bekerja kuli bangunan di Jogja. Lewat Facebook, ia mendapat informasi lowongan kerja di laundry itu.
“Itu yang paling cepat merespons jadi ya aku ambil saja,” katanya saat kami berbincang pada Sabtu (4/5/2024).
Jarak rumahnya ke tempat itu sekitar 10 kilometer. Namun, lantaran tak punya kendaraan ia memanfaatkan fasilitas kamar sederhana yang disediakan pemilik usaha untuk para karyawan. Pekerja lulusan SMA ini bermalam di sana berdesak-desakan dengan karyawan lain dalam satu kamar dan pulang saat akhir pekan. Sementara untuk makan, tak ada alokasi khusus dari majikan.
“Biar hemat, bisa untuk kebutuhanku juga nyisihkan uang untuk ibu,” ujarnya.
Fasilitas itu lah yang justru membuatnya terjebak dalam situasi pelik. Baru beberapa hari bekerja jadi karyawan laundry, ia mulai kerap diminta kerja melampaui kesepakatan delapan jam sehari. Kondisinya yang menginap di situ membuat Tiara sulit mengelak.
Tak lama sejak mulai kerja pada November 2023 silam, Tiara sudah membulatkan tekad ingin berhenti setelah Lebaran 2024. Bersama dua teman lainnya, ia membuat janji untuk keluar bersama.
Namun, di tengah jalan ternyata teman-temannya keluar. Jika sedang ada kekosongan karyawan maka mereka yang ada harus bekerja ekstra sampai ada karyawan baru. Tanpa ada tambahan insentif sama sekali.
Kerja belasan jam sehari jadi hal lumrah di laundry
Usaha laundry itu memang menggunakan mesin. Urusan mencuci, sebenarnya cukup praktis. Tiara hanya perlu menunggu. Namun, menunggu juga butuh kesabaran. Pekerjaan paling ribet adalah menyetrika dan melipat baju.
Selain menyasar pasar mahasiswa Jogja lantaran letaknya yang berdekatan dengan kawasan kos, tempat usaha itu juga melayani jasa untuk hotel. Sehingga, banyak tumpukan sprei dan selimut putih yang juga perlu Tiara cuci. Sehari, total cucian bisa mencapai 100 kilogram.
Jika cucian menumpuk dan jelang deadline, maka Tiara dan temannya kerap disuruh lemburan. Bekerja dari jam buka pada pukul 8 pagi hingga tutup jam 9 malam sudah jadi hal lumrah. Apalagi saat karyawan berkurang.
“Sering banget kerja dari buka sampai tutup. Bahkan sampai tengah malam itu sering. Saat Ramadan kemarin sempat itu dari pagi sampai pagi karena lagi nggak ada karyawan lain dan cucian banyak,” keluh lulusan SMA ini.
“Pemiliknya memperlakukan kami tuh nggak manusiawi banget. Kalau kami mengeluh, bilangnya sudah membayar kami jadi seolah boleh seenaknya,” imbuhnya.
Perempuan ini ingat, suatu ketika karena kinerjanya dan satu rekan lain sedang baik dan habis lemburan, keesokan harinya sang pemilik memberi uang. Untuk jajan katanya. Namun, nominalnya juga membuat Tiara mengelus dada.
“Kamu tahu berapa kami dikasih? Masing-masing 2 ribu. Ini asli kami membatin dalam hati, anak SD saja kayaknya uang jajan nggak segini,” ungkapnya gemas.
Dituduh mencuri
Salah satu kendala yang biasanya membuat produktivitas karyawan laundry terhambat adalah kerusakan mesin atau kehabisan gas elpiji. Saat itu terjadi, seringkali bukannya segera memperbaiki malah pemiliknya menyalahkan karyawan.
Padahal, menurut Tiara, mesin cuci rusak adalah hal lazim jika penggunaannya intens. Apalagi, barang itu dibeli secara bekas.
“Kami kayak diinterogasi pemakaiannya gimana. Bahkan kalau gas elpiji habis lebih cepat dari estimasi, dia ngeluhnya ke kami. Pernah ada temanku yang karena jengkel, akhirnya beliin sendiri gas elpiji 3 kilogram,” tuturnya.
Keluhan dari pemilik kerap muncul pada kesempatan lain. Saat perhitungan uang meleset tak sampai Rp10 ribu misalnya, ia akan menaruh curiga pada karyawan.
“Pernah Mas, ada temanku lain yang keluar mendadak. Setelah itu bapaknya bilang kalau dia curiga temanku mencuri karena ada uang receh yang hilang. Setiap karyawan keluar, hal pertama yang dipastikan itu ada nggak barang hilang. Bukannya, evaluasi apa yang salah dari sistem kerja di sini,” keluh lulusan SMA ini.
Akhirnya, setelah tak kuat lagi dengan perlakuan bosnya, persis setelah Lebaran 2024 lalu Tiara memutuskan pamit keluar. Sempat ditahan dan diiming-imingi jabatan kepala kios jika laundry itu buka cabang, Tiara tetap tak bergeming.
Salah satu kekecewaan yang akhirnya membuatnya naik pitam adalah urusan THR. Awalnya, ia dijanjikan dapat THR dengan nilai setengah gaji. Namun, saat mengecek amplop ternyata hanya Rp200 ribu.
“Aku benar-benar kesal. Sempat kepikiran sama temanku untuk melaporkan ini ke jalur hukum. Tapi kami bingung bagaimana caranya,” tuturnya.
Jalur untuk mengentaskan persoalan para pekerja lulusan SMA
Mengenai keresahan Tiara, sebenarnya ada mekanisme mengadukan persoalan kerja kepada pihak berwenang. Dosen Fakultas Hukum UII, Ayunita Nur Rohanawati menjelaskan bahwa pada UU Ketenagakerjaan diatur bahwa pemberi kerja perseorangan, seperti usaha laundry kecil-kecilan, tidak bisa memberikan beban kepada karyawan secara sewenang-wenang.
“Memang pada praktiknya pada UU Omnibus Law, usaha kecil punya ruang untuk menggaji karyawan di bawah UMR daerahnya. Namun, harus tetap ada pemberian insentif tambahan ketika ada kerja-kerja di luar waktu yang telah disepakati,” ungkapnya.
Mekanisme yang bisa ditempuh adalah melakukan pelaporan kepada Dinas Ketenagakerjaan Provinsi. Jika persoalannya adalah jam kerja yang melampaui batas, Ayunita berpendapat, karyawan bisa mendapatkan hak uang lembur lewat mekanisme tersebut.
Ia melihat persoalan semacam itu memang kerap terjadi di ranah UMKM. Pasalnya, Dinas Ketenagakerjaan selaku pengawas, sulit untuk melakukan monitoring kepada UMKM yang jumlahnya begitu besar.
“Memang sulit kalau menunggu pengawasan mengingat keterbatasan sumber daya di dinas. Langkah yang bisa diambil adalah melakukan pelaporan,” papar dosen yang beberapa kali melakukan penelitian terkait hukum ketenagakerjaan ini.
Para pekerja laundry merupakan kelompok pekerja yang rentan. Selain eksploitasi jam kerja, riset berjudul Perlindungan Hukum bagi Pekerja Laundry Terhadap Penularan Penyakit Melalui Pakaian dari Fakultas Hukum Universitas Udayana menyebut risiko besar lain adalah potensi penularan penyakit influenza, hepapatis, hingga sejumlah penyakit kulit.
Bahkan untuk perlindungan dari risiko penularan penyakit lewat baju kotor tersebut, sebenarnya telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Namun, pada praktiknya para pekerja laundry yang kebanyakan lulusan SMA bahkan jenjang lebih rendah ini sulit untuk mendapatkan hak mereka.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
)* bukan nama sebenarnya, narasumber meminta identitasnya disamarkan demi keamanan.
BACA JUGA Bisnis Laundry Rumahan Lebih Banyak Buntung daripada Untung karena Tetangga Sering Ngutang
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News