Daun Putih yang Menjadi Pulung bagi Petani Tembakau Kedu Sili (Siluk) di Dusun Srunggo II Imogiri

Ilustrasi - Rahasia di balik mantapnya tembakau Siluk di Dusun Srunggo II, Imogiri, Bantul. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Tembakau Siluk, asal Desa Selopamioro, Imogiri, Bantul, memang tidak dijual di pabrikan. Namun, tembakau ini sudah sangat karib di kalangan pelinting. Konon merupakan tembakau terbaik asal Jogja.

***

Di tengah ingar-bingar kawasan Tugu Jogja selepas Isya, saya dan dua teman dari Komunitas Kretek singgah di sebuah toko tembakau legendaris: Toko Wiwoho.

Toko tersebut sudah buka sejak 1919. Dari masa itu pula, tembakau Siluk menjadi salah satu jenis tembakau yang dijual dan memiliki banyak peminat. Setidaknya begitulah pengakuan Veronica Sri Wahyuni (61), generasi ketiga pengelola Toko Wiwoho.

“Sudah dikelola nenek saya, toko ini sudah jualan ‘Siluk’. Ada orang dari Siluk, Imogiri, yang memasok ke sini. Akhirnya sampai sekarang jualan Siluk,” jelas perempuan berdarah Tionghoa itu dengan begitu ramah.

Selama bertahun-tahun jualan tembakau Siluk, kata Veronica, penjualannya memang terbilang tinggi. Pembelinya mayoritas kalangan orang dewasa dan orang sepuh. Walaupun tidak jarang pula anak muda turut membeli.

“Kalau kata orang-orang yang beli, sensasi rasanya itu ‘mak deg’ di dada dan kepala. Mantep. Tapi kalau udah biasa jadinya halus,” ungkap Sri.

Tembakau Siluk: pulung bagi petani di Dusun Srunggo II, Imogiri, Bantul

Dari Toko Wiwoho, kami lalu menuju daerah pemasok tembakau Siluk di Dusun Srunggo II, Desa Selopamioro, Imogiri, Bantul, pada Kamis (7/8/2025) sore. Kami langsung disuguhi hamparan ladang tembakau dengan daun-daun tebal saat tiba di lokasi.

Dibasuh kemuning matahari sore, seorang petani tampak khidmat memetik bunga-bunga tembakau. Kami menghampirinya. Namanya Nurwiyadi. Usianya sudah 74 tahun, tapi masih tampak bugar sekali. Badannya masih tegap dan kokoh, cara berjalannya juga masih mantap.

Nurwiyadi, petani tembakau Siluk di Dusun Srunggo II, Imogiri, Bantul MOJOK.CO
Nurwiyadi, petani tembakau Siluk di Dusun Srunggo II, Imogiri, Bantul. (Komunitas Kretek/Mojok.co)

Nurwiyadi memang belum tuntas memetik bunga-bunga tembakau. Tapi dia mempersilakan kami duduk di sela-sela hamparan ladangnya. Darinya lah kami mendapat banyak cerita perihal tembakau Siluk.

“Saya tanam di bulan Mei. Pertengahan Agustus atau September awal sudah bisa panen,” katanya.

“Sudah sejak zaman kerajaan Mataram (Islam) warga Srunggo II (Imogiri) bertani tembakau. Dan sejak dulu tembakau sini memang sudah terkenal,” ungkap Nurwiyadi.

Konon, merujuk cerita tutur yang Nurwiyadi dapat dari leluhur, asal-muasal moncernya tembakau Siluk adalah karena warga penanam tembakau di Selopamioro–khususnya di Dusun Srunggo II–ketiban pulung.

Pulung itu membuat ladang-ladang di Srunggo II menghasilkan jenis tembakau dengan tiga aspek yang sangat kuat dan nikmat: Ganda (aroma), rupa (bentuk), dan rasa (rasa). Tak pelak jika kemudian tembakau dari Srunggo II, Imogiri, banyak dicari.

Sebenarnya tidak ada catatan pasti kapan dan bagaimana mulanya Srunggo II dikenal sebagai penghasil tembakau Siluk terbaik. Namun, setidaknya begitu yang Nurwiyadi ketahui.

Era kejayaan Pasar Siluk

Dulu tembakaunya tak bernama. Para petani setempat lalu menamai tembakau mereka dengan sebutan “Kedu Sili”. Mengingat, sejak masa kakek Nurwiyadi, banyak petani mengambil bibit dari daerah Kedu, Temanggung, untuk disemai di Srunggo II.

Alih-alih nama Kedu Sili yang terkenal, berikutnya tembakau dari Srunggo II justru lebih dikenal dengan sebutan “tembakau Siluk”.

“Penghasil tembakau Kedu Sili yang banyak selain di Srunggo II itu ada di Kalidadap II (dusun seberang). Dulu petani menjualnya kan ke Pasar Siluk. Di situ, macem-macem jenis tembakau dari beragam asal dijual-belikan. Nah, orang-orang kalau mau cari tembakau asli Selopamioro (hasil dari Srunggo II dan Kalidadap II) itu nyebutnya Siluk. Jadi sampai sekarang yang terkenal malah nama Siluk,” terang Nurwiyadi.

Hamparan ladang tembakau Siluk di Dusun Srunggo II, Imogiri, Bantul. (Komunitas Kretek/Mojok.co)

Itu terjadi ketika Pasar Siluk masih jaya-jayanya. Kini, petani di Srunggo II lebih banyak menjual tembakaunya ke pasar-pasar lain. Utamanya di Gunung Kidul dan Kulon Progo. Kata Nurwiyadi, dua daerah tersebut menjadi konsumen terbesar tembakau Siluk.

“Selain itu saya jual sendiri di rumah. Ada orang dari Imogiri (kecamatan) dan lain-lain kalau beli ya datang ke rumah,” sambung Nurwiyadi.

Nurwiyadi menjual tembakaunya dengan beberapa variasi harga. Tergantung kualitasnya. Mulai dari Rp50 ribu perkilogram, Rp70 ribu, Rp100 ribu, bahkan bisa di atasnya.

Pembelinya terbilang stabil. Itu yang membuat Nurwiyadi merasa, tembakau Kedu Sili ini memang seolah menjadi pulung bagi warga Srunggo II yang mayoritas merupakan petani tembakau.

“Tapi memang dijual untuk lintingan saja. Nggak dijual di pabrik karena pabrik kan patok harga. Itu bisa bikin petani rugi. Kalau diolah sendiri kan petani sendiri bisa menentukan harga,” ucap Nurwiyadi.

Merawatnya seperti bayi

Kata Nurwiyadi, warga Srunggo II sebenarnya tidak melakukan pembibitan sendiri. Kebanyakan membeli bibit dari daerah lain untuk disemai di Srunggo. Kini umumnya menggunakan bibit tembakau Sardana dan Grompol.

“Pada 2009 itu pernah ada pembibitan sendiri. Sempat berlangsung beberapa tahun. Tapi karena njelimet, akhirnya mending beli bibit saja dari daerah luar,” ungkap Nurwiyadi.

Sebab, faktor penentu di balik ganda, rupa, dan rasa tembakau Siluk sebenarnya bukan pada bibit yang dikembangkan sendiri tersebut. Tapi lebih karena faktor alamiah berupa tanah dusun dan tingkat ketinggian daerah (Dusun Srunggo II sendiri terbilang daerah lereng perbukitan), serta bagaimana cara petani merawatnya.

Nurwiyadi menjelaskan, tanah di Srunggo II adalah tanah lempung berbatu dan berpasir. Itu sangat bagus untuk menanam tembakau.

Hamparan ladang tembakau Siluk di Dusun Srunggo II, Imogiri, Bantul. (Komunitas Kretek/Mojok.co)

Sisanya adalah perihal bagaimana dia merawat tembakaunya. Ia mengibaratkan, merawat tembakau memang seperti merawat bayi. Harus sabar, setiti, dan teliti. Itu kunci agar hasilnya maksimal.

“Setiap hari saya cek. Kalau ada ulat ya diobat. Terus harus rutin membuang daun-daun pepelan (daun-daun kecil yang tumbuh di sela-sela batang). Karena itu bisa mengganggu rasa. Jadi pahit,” beber Nurwiyadi.

Metode tanam tumpang sari juga tidak berlaku bagi beberapa petani, termasuk Nurwiyadi. Sebab, keberadaan tanaman lain di sela-sela tembakau juga dianggap bisa merusak kualitas dari si tembakau.

Ikhtiar manusia 

Saat matahari mulai surut di barat, kami mengikuti Nurwiyadi ke kediamannya. Rumah dengan halaman dan ruang tengah yang terbilang luas. Itu semua difungsikan kala musim panen tiba. Untuk membeber daun-daun tembakau, merajang, hingga menjemurnya.

Di rumah Nurwiyadi, sembari menikmati suguhan teh hangat, kami lanjut berbincang dengan Suryadi (40) anak keempat Nurwiyadi yang juga seorang petani tembakau Siluk.

Melengkapi keterangan Nurwiyadi, Suryadi menyebut bahwa komposisi perawatan tanah dan tembakau memang harus seimbang. Mulai dari penyiraman hingga pemilihan pupuk, sebagai bagian dari ikhtiar manusia.

“Siramnya jangan terlalu sering. Pemupukan tiga sampai empat kali. Utamanya pupuk kandang. Sisanya adalah pupuk-pupuk pabrik seperti urea dan SP,” jelas Suryadi. “Pupuk urea buat rasa, SP buat bobot. Jarak pemupukan ya 10-15 hari.”

Alat rajang pun juga harus diperhatikan betul. Harus benar-benar tajam. Makanya, Suryadi mengaku sangat rutin mengasahnya.

“Kalau daun itu petik 4 dan 5 (tengah dan atas) yang punya cita rasa nendang atau ‘mak deg’. Itu yang banyak orang cari. Kalau di bawahnya, itu dijual selakunya,” papar Suryadi.

Daun putih menjadi pulung bagi petani tembakau di Dusun Srunggo II, Imogiri, Bantul

Lebih dari itu, Suryadi percaya betul bahwa keberadaan pulung juga sangat berpengaruh bagi keberhasilan tembakau Siluk.

Sejak dulu, ada pulung berupa daun putih di sela-sela ladang tembakau. Daun putih itu hanya berada di satu batang dan hanya menghadap satu arah. Jika posisi daun putih ada di sisi utara misalnya, sisi selatannya masih tetap berwarna hijau. Dan itu bukan karena penyakit atau rusak.

Daun itu akan dipetik lalu disimpan di rumah. Sekaligus digunakan sebagai alas saat selepas panen. Baik saat masih berupa daun maupun setelah dirajang.

“Pokoknya kalau ada daun putih itu, pasti tembakau panenan kita jadi mener (berkualitas bagus). Tahun kemarin dua petak ada semua. Hasilnya bagus semua. Tahun ini hanya satu petak yang ada daun putihnya,” kata Suryadi. Sayangnya hari keburu gelap. Kami tidak bisa kembali ke ladang untuk melihatnya langsung.

“Kami juga nggak pakai campuran gula. Murni apa adanya,” tegas Suryadi.

Entah karena pulung atau karena perawatan yang tepat, tembakau Siluk memiliki karakteristik daun yang tebal. Kendati ada beberapa batang yang daunnya sedikit. Sedikit tapi tebal-tebal, itu sudah bagus menurut Suryadi.

Dan entah karena pulung atau perawatan, Nurwiyadi dan Suryadi bisa menghasilkan 40 anjang untuk setiap panenan dari dua petak ladang mereka dengan masing-masing seluas kurang lebih 500 meter.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Menjadi Petani di Klaten hingga Temukan Padi dan Tembakau Premium, Bikin Doktor Pertanian Belanda Terkagum-kagum atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version