Di penghujung masa kuliah, ada satu hari yang paling dikenang. Bukan saat penerimaan ijazah, melainkan momen perayaan wisuda.
Momen tersebut, dianggap sebagai puncak dari sebuah perjalanan panjang penuh perjuangan. Di mana tawa, tangis, dan keringat bersatu menjadi senyum bangga. Wisuda bukan sekadar upacara, melainkan seperti perayaan sekali seumur hidup yang menandai akhir dari satu babak, sekaligus awal dari petualangan baru.
Kebahagiaan yang terpancar dari setiap wajah wisudawan menjadi bukti nyata bahwa setiap pengorbanan akhirnya terbayar lunas.
Sayangnya, di balik momen penuh kebahagiaan itu, ada orang yang hanya bisa berpura-pura gembira. Penyebabnya, ada banyak hal yang rela dikorbankan demi wisuda.
Fitria (26), bukan nama sebenarnya, dengan senang hati membagikan keresahannya kepada Mojok pada Rabu (6/8/2025). Kata dia, tujuannya bercerita agar kelak banyak mahasiswa tak menyesal seperti dirinya.
Wisuda, momennya hitungan menit tapi buang-buang duit
Fitria, anak kedua dari tiga bersaudara, merupakan sarjana pertama di keluarganya. Kakaknya sudah menikah, dan adiknya masih duduk di bangku sekolah dasar. Sebagai anak tengah, ia mengaku memikul harapan seluruh keluarga di pundaknya.
Ayahnya adalah satu-satunya tulang punggung keluarga. Ia bekerja serabutan di kampung halamannya di Cianjur, sementara ibunya seorang ibu rumah tangga. Dengan penghasilan orang tuanya yang pas-pasan, Fitria mengaku sangat beruntung karena masih bisa kuliah di PTN dengan beasiswa KIP Kuliah.
Pendek cerita, setelah melewati empat tahun masa kuliah di PTN Jogja, pada akhir 2024 lalu ia menjalani wisuda. Salah satu momen paling membahagiakan dalam hidupnya.
Sayangnya, di balik rasa bangga dan gembira, ada beban berat yang mengganjal di dadanya. Ia tak bisa memungkiri bahwa persiapan wisuda begitu ribet dan mahal.
“Kalau saya coba hitung, untuk kebutuhan pribadi saja nyaris menyentuh angka Rp2 juta, Kak,” ujarnya.
Uang itu habis untuk membayar jasa make up, sewa kebaya, selempang, toga, hingga jasa fotografer. Sisa-sisa uang saku dari beasiswa yang ia kumpulkan, untungnya cukup untuk meng-cover biaya wisuda.
Rp2 juta tadi bukan satu-satunya pengeluaran Fitria
Itu belum seberapa. “Kejutan” terberat justru datang setelah acara wisuda selesai. Fitria tahu kalau orang tuanya akan datang. Namun, yang bikin kaget, ayah dan ibunya memilih menyewa mobil dan seorang sopir alih-alih menggunakan bus seperti biasanya.
Orang tua bersama adiknya juga memutuskan menginap di Jogja selama tiga hari.
“Kata bapak, ‘nggak apa-apa, biar fleksibel kalau mau jalan-jalan di Jogja’, padahal aku udah bilang kalau di sini banyak taksi online,” ungkapnya.
Selama ini, Fitria hanya memperkirakan total biaya wisuda sekitar Rp2 juta dari pengeluaran pribadinya. Ia tidak pernah tahu bahwa untuk “menjemputnya” saja, orang tuanya harus merogoh kocek hingga jutaan.
Ketika ia mencoba bertanya kepada orang tuanya tentang biaya yang sebenarnya, mereka hanya tersenyum dan menggeleng.
“Sudah, tidak usah dipikirkan. Yang penting kamu sudah sarjana, itu kebanggaan kami,” ujar Fitria, mengingat kata-kata ayahnya dulu.
Overthinking, sebab ortunya menghabiskan lebih dari Rp5 juta untuk wisuda dia
Jelas, jawaban itu tidak melegakannya. Justru, hal itu semakin overthinking. Fitria pun mulai menghitung-hitung secara kasar: biaya sewa mobil dan sopir, belum ditambah bensin, penginapan tiga malam, dan uang makan selama di Jogja.
“Perhitungan saya, kira-kira jatuh ya sekitar 5 juta, Kak. Itu itungan kasar ya, bisa lebih besar mungkin.”
Angka tersebut bagi ayahnya yang hanya bekerja serabutan, jelas menjadi beban yang luar biasa. Alhasil, pikiran Fitria pun melayang tak menentu: Dari mana ayahnya dapat uang? Apakah hasil utang?
Tiap kali bertanya, Fitria tak pernah mendapatkan jawaban. Namun, yang jelas, di tengah kebahagiaannya itu, ia tahu bahwa orang tuanya amat nelangsa. Cuma demi seremonial sementara, uang jutaan yang harusnya bisa untuk mencukupi kebutuhan lain, habis secara sia-sia.
Penyesalan memang datang di akhir
Momen wisuda itu akhirnya berlalu. Fitria pulang ke Cianjur dengan membawa selembar ijazah dan beban yang terasa semakin berat. Ia menyadari, gelar sarjana bukanlah akhir dari sebuah perjalanan, melainkan awal dari sebuah tanggung jawab yang jauh lebih berat.
Ia mengaku, setiap melihat ijazah miliknya, bukannya melihat kebanggaan, melainkan bayangan wajah bapaknya yang menua. Di sana, ia melihat kerutan lelah di dahi bapaknya dan senyum kaku yang bapaknya berikan di hari wisuda.
Di tengah penyesalannya itu, ia sempat mendengar cerita dari teman-temannya yang datang dari luar pulau Jawa. Fitria menyadari, ternyata dirinya masih lebih beruntung.
Ada teman-temannya yang harus mengeluarkan biaya belasan juta, hanya untuk tiket pesawat yang mahal dan penginapan. Angka itu jauh lebih besar dari yang orang tuanya keluarkan.
Perbandingan ini bukannya melegakan, tapi justru menambah lapisan penderitaan baru. Ia menyadari, masalah ini tidak hanya miliknya, melainkan cerminan dari budaya wisuda yang memang isinya cuma buang-buang duit.
“Mungkin benar apa kata orang-orang kalau wisuda itu momen bahagia. Tapi bagi saya, dan mungkin orang tua saya juga, terlihat seperti buang-buang uang,” ujarnya.
“Itu jadi penyesalan terbesar saya hingga saat ini.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Kisah “Mahasiswa Abadi” di UNY Nyaris Kena DO hingga Beasiswa Dicabut, Kini Buktikan Bisa Lolos CPNS usai Wisuda atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












