Cara Berkendara Motor Orang Jogja bikin Bingung dan Kaget Orang Surabaya, Lampu Hijau pun “Beda Arti”

Cara berkendara orang Jogja (plat AB) bikin bingung dan kegat orang Surabaya (plat L) MOJOK.CO

Ilustrasi - Cara berkendara orang Jogja (plat AB) bikin bingung dan kegat orang Surabaya (plat L). (Ega Fansuri/Mojok.co)

Beda daerah, ternyata beda pula karakter orang dalam berkendara. Termasuk bagaimana karekter berkendara ala orang di Jogja dan di Surabaya.

Bagi orang Surabaya, karakter berkendara orang di Jogja agak bikin “bingung dan kaget”. Setidaknya begitu yang narasumber Mojok simpulkan setelah mengalami tinggal di dua daerah tersebut.

Beda arti lampu hijau di Jogja dan Surabaya

Saat lampu apil menunjukkan warna hijau, alih-alih pelan-pelan menarik gas motor, Febri (27) malah membunyikan klakson. Terdengar nyaring karena hanya dia satu-satunya yang membunyikannya.

Kepala Febri lantas digeplak oleh teman yang dia bonceng. “Ngopo kowe ngebel-ngebel (Ngapain kamu nglakson-nglakson)?” Begitu tegur teman Febri.

Febri, kalau meminjam istilah Suroboyoan, langsung kowah-kowoh, sambil langsung menarik gas motornya. Itu terjadi di masa-masa awalnya studi S2 Jogja, setelah merampungkan S1-nya di Surabaya.

“Guyonan di Surabaya, lampu hijau itu bukan tandanya jalan. Tapi nglakson. Karena biasanya, misalnya di lampu merah Margorejo, itu bagian depan kayak nggak jalan. Kalau nggak macet ya ada saja pengendara dari arah lain menerebos lampu merah,” tutur Febri berbagi cerita, Senin (7/4/2025).

“Sementara kendaraan-kendaraan di belakangnya yang buru-buru kan nggak bisa segera jalan. Akhirnya nglakson-nglakson. Bersahut-sahutan,” sambungnya.

Parade klakson di setiap lampu apil, setiap saat

Febri asli Pasuruan, Jawa Timur. Merantau 4,5 tahun di Surabaya membuat situasi jalanan Kota Pahlawan—yang padat, panas, sumpek, dan penuh keterburu-buruan—mengendapkan karakter yang menurutnya tidak patut itu: nglakson-nglakson saat lampu hijau.

Sepengakuannya, benar-benar riuh sekali suasana di setiap lampu apil Kota Pahlawan. Tidak hanya di jam berangkat dan pulang kerja. Tapi hampir setiap saat. Suasana yang ternyata berbeda sama sekali ketika dia pindah ke Kota Pelajar.

“(Di Jogja) Ada lah satu-dua yang nglakson. Tapi kalau di Surabaya, yang nglakson itu serentak. Motor. Mobil. Semua nglakson. Waktu itu aku memahaminya karena memang hidup di Surabaya itu harus berkejaran dengan waktu,” ungkap Febri.

Misal, mengejar waktu agar lekas sampai tempat kerja. Atau mengejar waktu agar lekas tiba di rumah untuk segera merebahkan badan dan mengurai kesemrawutan dalam kepala usai bekerja seharian.

Baca halaman selanjutnya…

Marahnya orang Jogja itu lucu

Nyaris kena bogem mentah di jalanan Surabaya

“Kekagetan” lain perihal beda karakter pengendara di Jogja dan Surabaya diungkapkan oleh Lingga (26), pemuda asal Jember yang pernah S1 di Surabaya dan bekerja di Jogja sejak 2023 silam. Konteksnya malah lebih “ngeri-ngeri sedap”.

Pengalaman yang sulit dia lupakan selama di Surabaya adalah nyaris dipukul oleh sesama pengendara motor.

Itu terjadi dalam perjalanan menuju Benowo, Surabaya Barat. Saat itu dia—berboncengan dengan seorang teman kampusnya—hendak menuju Stadion Gelora Bung Tomo (GBT) untuk “iseng-iseng” nribun nonton Persebaya.

Jalanan Benowo terbilang sempit untuk ukuran jalur dua arah. Sementara kepadatannya luar biasa. Truk-truk besar maupun kecil, mobil pribadi, apalagi motor, selalu tumplek blek di jalanan tersebut nyaris sepanjang waktu.

Barangkali hanya sepi di malam hingga dini hari. Lepas subuh mestinya sudah ramai lagi dengan lalu-lalang orang-orang ke pasar.

“Persoalannya, aku nyalip pengendara motor. Karena kehabisan jalan, aku nyenggol sepionnya sampai orang itu oleng,” tutur Lingga.

“Woiii, mandek koen! (berhenti kamu!).” “Jancok mandek koen!”. Begitu teriak si pengendara yang Lingga senggol.

Lingga dan temannya berhenti. Lingga dengan setengah berlari menghampiri si pengendara motor yang dia senggol tadi. Niatnya ingin minta maaf. Karena bagaimanapun, Lingga mengakui kalau dia salah.

“Belum juga nyampe ke si orangnya, orang itu dengan bersungut-sungut menghampiriku. Tangan kanannya menggenggam, mau mukul sambil misuh-misuh,” beber Lingga.

Untung Lingga tak jadi sasaran bogem mentah. Karena dia langsung minta maaf dan mengakui kesalahan. Si pengendara motor yang Lingga senggol memang tidak jadi memukul. Tapi sumpah serapah tetap saja tumpah ruah dari mulutnya.

Umpatan-umpatan yang keluar-masuk telinga

Selebihnya, sudah tak terhitung berapa kali Lingga menjadi sasaran umpatan dan sumpah serapah para pengendara motor di jalanan Surabaya. Entah karena Lingga yang salah, atau justru si pengendara lain yang keliru.

Tak jarang pula dia menyaksikan orang adu mulut di jalan lantaran dianggap merugikan. Entah karena serempetan. Persoalan lampu sein. Hingga perkara lampu apil.

“Aku pernah lihat sendiri. Di jalan menuju Ampel, ada orang nerobos lampu merah. Tabrakan. Orang-orang di warkop langsung maki-maki. ‘Modaro koen! (mampus kau!)’. ‘Panganen iku! (makan itu!)’. Terus pada balik ngopi lagi,” beber Lingga.

Pelajaran yang Lingga petik: jangan ugal-ugalan. Jangan merugikan orang lain. Di kota ini, tensi warganya terbilang tinggi. Mungkin karena letih atas beban hidup di kota metropolitan. Alhasil, seolah seperti tidak mentolerir orang-orang ngawur dan sembarangan di jalan. Lumayan jadi sasaran kesumpekan yang terpendam di hati.

Orang Jogja nggak bisa marah?

Di Jogja, semuanya berbeda. Lingga mengaku pernah ngerem mendadak hingga membuat pengendara motor di belakangnya nyaris nabrak. Pernah juga serempatan dengan orang gara-gara salah sein.

Tentu saja ada wajah nesu dari pengendara-pengendara yang Lingga rugikan itu. Namun, yang dia kaget, kemarahan itu seperti hanya disimpan sendiri. Tidak ada yang berhenti untuk memukul atau menyumpah serapahi Lingga. Mereka berlalu sambil sebatas berdecak kesal.

“Ada yang sempat marah. Cuma bagiku yang pernah sering berhadapan dengan kemarahan orang Surabaya, marahnya orang Jogja itu terdengar halus e. Kayak bukan marah. Malah kayak dinasihati,” tutur Lingga.

Mbok sing ati-ati, Mas (Mbok yang hati-hati, Mas).” “Karepe piye to, Mas? (Maksudnya gimana sih, Mas).” “Ojo nglamun, Mas (Jangan melamun, Mas.” “Ngantuk po, Mas?”. Kira-kira itu yang pengendara Jogja ucapkan. Meski dengan raut kesal, tapi karena nadanya terdengar halus, jadi tidak terkesan seperti marah.

Apalagi ada tambahan panggilan di belakang kalimat: “Mas”. Bagi Lingga, terdengar sopan sekali (hehehe). Tidak ada kasar-kasarnya.

“Aku pernah iseng tanya sama teman di Jogja. Orang sini saking sopan santunnya nggak bisa marah ya? Jawaban temanku itu: Orang Jogja sudah nggak punya energi untuk marah. Karena sudah habis digerogoti nasib buruk dalam dalih nerima ing pandum (menerima takdir) ala sul…. Eh ini terlalu bahaya, sensor saja.” Tutup Lingga.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Hanya Ada 3 Momen ketika Surabaya Bisa Dinikmati karena Terasa Tenang setelah Hari-hari Penuh Kesumpekan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

 

 

Exit mobile version