Calo Terminal Terboyo Semarang Lebih Kejam dari Calo Bungurasih, Mau ke Jogja Malah Dinaikkan Bus ke Pekalongan

Calo Terminal Terboyo Lebih Gila dari Bungurasih MOJOK.CO

Ilustrasi bus dari Terminal Terboyo Semarang (Mojok.co)

Pengalaman pertama berhadapan dengan calo Terminal Terboyo, Semarang benar-benar menguras emosi. Kelakuan mereka bener-bener lebih kejam dan ‘pisuhable’ ketimbang calo di Terminal Bungurasih, Surabaya yang konon malah menjadi salah satu terminal paling keras di Jawa.

***

Karena informasi dari teman saya kurang valid, saya terpaksa harus melalui pengalaman pertama naik bus Semarang-Jogja dengan sangat buruk pada Minggu, (25/2/2024) sore WIB.

Teman saya tak bilang kalau dari arah Surabaya, bus jurusan Surabaya-Semarang tak akan masuk ke dalam Terminal Terboyo. Melainkan bus akan menurunkan penumpang di pangkalan kargo yang ada di sebelah timur RSI Sultan Agung, Semarang.

Sontak saja saya kebingungan harus mencari bus arah Jogja ke mana. Sementara teman saya tak bisa dihubungi.

Beberapa lama kemudian ia akhirnya mengirim WA kalau saya salah turun. Ia lalu menunjukkan di mana seharusnya saya menunggu bus karena sudah terlanjur salah turun.

“Daerah situ rawan calo, awas!,” pesannya.

Sayang sekali, pesan itu terkirim setelah saya jadi korban calo Terminal Terboyo, yang ternyata lebih gila dari Terminal Bungurasih, Surabaya.

Kejamnya Calo Terminal Terboyo 

Sebenarnya, saya sendiri sengaja “menyerahkan diri” pada calo. Saya butuh segera menemukan bus ke Jogja, sementara teman yang saya hubungi tak lekas membalas.

Maka, tidak ada pilihan lain. Saya harus tanya ke orang secara random, yang konsekuensinya adalah besar kemungkinan akan ditangkap oleh calo.

Tapi tak masalah. Kalau toh harus bayar lebih mahal, yang penting saya dapat bus dulu. Toh ini pengalaman pertama, buat belajar.

Akan tetapi, calo di Terminal Terboyo benar-benar di luar dugaan.

Setelah membayar sesuai yang si calo inginkan, ia memang mengantarkan saya ke pos tempat orang-orang nunggu bus.

Namun, bukannya memastikan saya mendapat bus ke arah Jogja, si calo malah menyerahkan saya ke calo lain. Ah sayang sekali saya tak sebodoh itu!

“Tambah, Mas, Rp25 ribu,” ujar calo kedua yang menerima saya.

“Asu! Aku nggak goblok. Ini bus arah Pekalongan. Edan po!,” umpat saya pada si calo kedua tersebut.

Si calo pun tergeragap. Mungkin tak menduga kalau saya bisa membaca kebohongannya.

“Ya sudah naik ini aja, Mas,” ujar calo pertama sembari menghentikan bus Safari, jurusan Solo, yang sontak saya jawab dengan tawa mengejek.

“Jancuk! Aku paham ya bus apa saja yang ke arah Jogja, Ramayana, Hariyanto, aku tahu, nggak goblok. Aku cuma nggak tahu titik tunggu,” ujar saya dengan nada tinggi karena emosi yang memuncak.

Ilustrasi suasana di terminal yang rawan calo. (Steven Lewis/Unsplash)

Si calo pertama mencoba beragumen, tapi saya terus mendebat sembari sesekali misuh.

Dari raut wajahnya, si calo pertama sepertinya mulai tersulut emosi juga dengan pisuhan-pisuhan yang saya lontarkan. Tapi ia menyerah untuk berdebat lagi. Mungkin tak mau ribet.

Ia pun memilih mengembalikan uang saya, 80 persen dari yang saya beri sebelumnya. 20 persennya anggap saja sebagai upah karena kemudian ia menunjukkan titik penjemputan yang benar.

Kumpulan orang-orang tega

Si calo lantas meninggalkan saya di titik tunggu untuk bus arah Jogja: Hariyanto dan Ramayana.

Cah-cah kae ncen awuran, Mas (Anak-anak (calo) itu memang ngawur, Mas),” ujar seorang calo lain yang baru saja mengantarkan penumpang ke bus. Duh, rasa dongkol membuat saya waktu itu tak sempat menanyai namanya.

Sedari tadi ternyata calo tersebut mengawasi saya yang berdebat hebat dengan dua calo nakal sebelumnya. Kepada saya, ia mengaku juga sebagai sesama calo liar.

Hanya saja, ia memang mengaku benar-benar konsekuen. Kalau ada penumpang yang sudah membayar padanya, maka ia akan benar-benar mencarikan bus ke tujuan yang tepat. Tak melakukan kebohongan dan tak melempar-lempar.

“Orang-orang sini tega-tega. Pokoknya asal dapat duit. Setelah itu, nggak urusan penumpang dapet bus yang bener atau nggak,” ujarnya.

“Mereka ini yang akhirnya ngerusak, Mas. Orang-orang jadi benci ke calo. Imbasnya, calo-calo seperti saya, yang bener-bener kerja, jadi dapat pandangan negatif, penumpang sudah nggak percaya,” sambungnya.

Ia kemudian memberi petunjuk pada saya perihal jam berapa bus Ramayana untuk ke Jogja akan melintas. Setelah itu, ia kembali masuk area penurunan bus, mungkin untuk berburu calon penumpang baru.

Tak luput ia berpesan agar kejadian hari itu saya jadikan pelajaran, agar kedepan tak berurusan dengan calo-calo nakal lagi.

Ia juga menunjukkan, di mana ia dan teman-teman calo—yang katanya lebih jujur—beroperasi. Barangkali saya tertarik menggunakan jasa mereka suatu waktu nanti. Saya mengangguk semabil mengarahkan jempol padanya, sebelum akhirnya ia berlalu meninggalkan saya sendirian.

Sementara di dalam bus, kondektur bus Ramayana yang saya naiki sekitar pukul 16.06 WIB tertawa ketika mendengar cerita saya.

Kondisi bus agak sepi. Saya sempat cerita dengan si kondektur, sembari memastikan, di mana baiknya saya harus menunggu bus jika hendak ke Jogja lagi.

“Emang gendheng (gila) calo-calo Terboyo. Kalau asal percaya, ngasal aja, sampean bisa diangkut sampai Pekalongan tadi,” ujar si kondektur.

“Pakai agen saja lebih aman. Mereka pasti pakai seragam atau kalau nggak tiketnya ada tulisan PO bus resminya,” lanjutnya.

Calo Terminal Bungurasih Surabaya tak separah itu

Selama enam tahun di Surabaya, saya memang tak pernah pakai jasa calo.

Pasalnya, alur keberangkatan di Terminal Bungurasih, menurut saya, jauh lebih rapi dan tertata. Hal itu memudahkan saya mencari bus berdasarkan jurusan yang saya tuju.

Bahwa ada testimoni yang menyebut calo Bungurasih galak dan keras-keras, memang betul. Ini Jawa Timur, Je.

Bahwa calo-calo di Terminal Bungurasih pun memasang harga tak masuk akal, memang betul. Namun, berdasarkan pengakuan dari seorang kawan yang pernah kena calo Terminal Bungurasih, Azhar (25), setidaknya mereka konsekuen.

Azhar pernah hendak ke Jogja dari Surabaya. Karena masih bingung, di Terminal Bungurasih ia jadi santapan calo. Harganya mencekik memamg, tapi si calo tetap mengantarkannya ke bus yang benar-bener untuk tujuan Jogja.

“Nggak kelempar-lempar kayak kamu, sih,” ujarnya saat saya hubungi.

“Ini sepengelamanku ya. Aku tetap diantar ke bus jurusan Jogja, Patas. Kalau kamu sampai mau dititipin bus ke Cilacap, wah, edan itu,” tukasnya.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Sudah Saatnya Menjauhi Bus Sinar Mandiri, Penumpang di Jalur Pantura Surabaya-Semarang Mending Naik Jaya Utama

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version