Budaya “orang dalam” alias ordal masih mengakar kuat di kultur dunia kerja Indonesia. Bagi yang punya koneksi, ia dianggap menguntungkan. Namun, bagi para Gen Z yang tak punya jaringan ordal, ini semakin mempersulit mereka mencari pekerjaan.
***
Riko (22) merupakan fresh graduate salah satu PTS Jogja yang menjadi saksi bagaimana power orang dalam berperan pada proses rekrutmen tenaga kerja. Akhir Agustus 2024 lalu, dia melamar ke sebuah perusahaan besar di Jakarta. Bidang yang dia lamar sesuai dengan gelar sarjananya.
Dia bercerita, proses seleksi dilakukan beberapa tahap. Mulai dari seleksi administrasi, tes tertulis, hingga wawancara. Dua tahapan terakhir Riko lalui secara offline di kantor perusahaan tersebut.
“Jadi, otomatis para job seeker ini pada saling ketemu, saling kenalan. Bahkan tak jarang di antara kami saat ini masih saling kontekan meski beda tempat kerja,” ujarnya, saat Mojok temui, Kamis (15/11/2024) malam.
Para pencari kerja yang lolos sampai tahap tertulis juga mempunyai grup WA tersendiri. Sehingga, ketika ada pengumuman hasil seleksi, mereka semua bakal tahu siapa saja nama yang lolos ke tahap selajutnya. Riko termasuk satu dari sedikit calon pekerja yang lolos.
Singkat cerita, Riko berhasil melewati tes wawancara dan diterima di perusahaan tersebut. Dia dan pekerja lain yang dinyatakan lolos pun harus menjalani masa probation selama tiga bulan.
“Nah, di antara kami yang lolos ini ada satu orang. Sejak tes tertulis, kami sama sekali nggak ada yang lihat dia (terduga ordal). Di WA group pun nggak ada. Tapi dia sama-sama ikut masa probation bareng kami,” jelasnya.
Anak teman bos mah, bebas!
Beberapa bulan menjalani masa probation, Riko lambat laun mengenal lingkungan kerja di kantornya. Dia juga mulai akrab dengan beberapa karyawan. Beberapa kali makan siang dan nongkrong bersama.
Ternyata, di antara circle para pekerja lain, banyak yang mempertanyakan soal pekerja baru yang tiba-tiba diterima tadi.
“Awalnya aku nggak mempermasalahkan ya, bahkan udah lupa sama masalah itu. Tapi tiba-tiba di antara pekerja lama dibahas lagi,” kata Riko.
“Usut punya usut, itu keponakan petinggi perusahaan. Bukan bos atau apa sih, jabatannya juga nggak tinggi-tinggi amat. Yang jelas dia punya koneksi orang dalam lah.”
Gosip demi gosip pun secara gethok tular menyebar di antara pekerja lain. Ada yang bilang, proses seleksi sebenarnya cuma formalitas. Sebab, kantor sudah menyediakan beberapa slot buat mengisi pos-pos strategis di perusahaan itu.
“Aku nggak bisa mastiin itu benar apa enggak. Tapi kalau orang itu nggak ikut seleksi sejak awal, itu benar. Bahwa dia itu punya orang dalam, itu juga benar. Bukan bermaksud cocoklogi, kalau udah begini siapa yang nggak curiga coba?,” ungkapnya.
Capek-capek kuliah S2, tapi berulang kali gagal dapat kerja karena ordal
Cerita serupa juga dialami Restu (25), lulusan S2 yang sampai saat ini masih nganggur. Di balik keputus-asaannya belum dapat pekerjaan, dia punya banyak cerita bagaimana instansi pemerintahan daerah sangat lekat dengan budaya orang dalam.
“Jadi kalau kita lihat politik nasional yang isinya ordal semua, nah, itu gambaran besarnya. Di daerah-daerah, lebih kacau lagi, Bro. Anak, cucu, keponakan, mantu, semua diangkut ke kantor. Hahaha,” tawa lelaki lulusan PTN Jogja ini saat membersamai saya, Kamis (15/11/2024) malam.
Sejak lulus S1 pada 2021 lalu, Restu menyaksikan bahwa proyek-proyek dinas (saat itu terkait pandemi Covid-19) kebanyakan di-handle oleh kerabat pejabat terkait. Dalam hal pengadaan bansos, misalnya, mulai dari cucu, saudara, sampai mantu pejabat diarahkan untuk posisi-posisi strategis.
“Gila kan, ya. Pandemi kan urusan hidup mati, masih ada yang mikir buat dimonetisasi, cari untung. Selama aku ikut bantu nanganin bansos di daerah-daerah, itu yang handle orang-orang nggak becus semua. Modal ordal aja.”
Budaya orang dalam itu juga masih Restu temui baru-baru ini. Terutama sekali dalam rekrutmen tenaga kerja di dinas-dinas. Dia bercerita, dengan gelar S2-nya, rasa-rasanya tak akan terlalu sulit buat mencari pekerjaan di instansi pemerintahan.
Namun, harapan tak sesuai kenyataan. Buktinya, Restu berkali-kali ditolak. Dan, setelah tahu siapa-siapa saja nama yang terpilih, jujur itu membuatnya kaget.
“Yang diterima nih, ya: ada mantunya, saudaranya, cucunya juga. Orang dalam semua,” ungkapnya.
“Maksudku gini, mungkin memang secara kompetensi mereka unggul. Mungkin, ya. Tapi kan kalau satu keluarga diboyong semua, bedol desa ke kantor dinas, susah buat nggak curiga,” pungkasnya.
Di Indonesia, orang dalam memang tidak haram
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Sigit Hermawan, pernah menyebut budaya nepotisme–salah satunya ordal–berdampak buruk bagi masyarakat umum. Yang paling dirasakan, tentunya adalah diskriminasi terhadap upaya kesempatan pengembangan diri atau karir, yang implikasinya adalah motivasi kerja menurun.
“Praktik ini tentunya juga dapat menutup kesempatan orang lain yang memiliki kompetensi mumpuni untuk berkembang,” tulisnya dalam buku Rekrutmen dan Seleksi Antara Nepotisme dan Professional (2021)
Lebih jauh, praktik orang dalam secara masif tentu akan memiliki pengaruh pada suatu instansi. Jika budaya ordal dianggap lumrah, maka akan menurunkan kapabilitas institusi dan akan mempengaruhi pula tingkat kinerja akibat adanya kecemburuan sosial.
Sayangnya, melansir Hukumonline, pada prinsipnya tidak ada aturan yang mengatur secara khusus mengenai hukum masuk kerja pakai orang dalam. Dan, memang perlu dipahami bahwa mengenai rekrutmen, perusahaan dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan. Artinya, perusahaan mempunyai keleluasaan untuk merekrut karyawannya.
Meski demikian, dalam melakukan penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, objektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
Terkait tak adanya regulasi yang mengatur penggunaan ordal di dunia kerja, Restu–sebagai korban ordal–punya kata-kata pamungkas.
Menurutnya, “berak di depan rumah juga nggak ada larangannya. Tapi kenapa orang-orang nggak melakukannya? Sesederhana karena masih punya nurani dan rasa malu.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News