Perguruan Silat seperti PSHT Kerap “Buru-buru” Angkat Bocah SMP Jadi Guru alias Warga, Mental Belum Matang Alhasil Jadi Tukang Onar

Guru Silat alias Warga yang Masih Muda di PSHT bikin Resah MOJOK.CO

Ilustrasi - Guru silat alias warga yang umurnya masih muda bikin resah, termasuk di peguruan bela diri PSHT. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Status guru pencak silat atau yang lebih akrab dengan sebutan “warga”  bisa didapat di usia sangat belia. Di bawah 15 tahun pun bisa atau sekitar usia SMP. Misalnya yang Mojok temui di PSHT dan Ki Ageng Pandan Alas. Dua perguruan silat yang sama-sama berasal dari Madiun, Jawa Timur.

Namun, pengangkatan guru atau warga silat di usia belia tentu memiliki sisi minor. Karena mental yang belum matang, hal tersebut membuat si warga yang masih sangat muda itu cenderung sok jagoan. Di titik tertentu  bahkan bisa menjadi penyebab onar.

***

Pera pelaku pencat silat, khususnya dari PSHT, kembali jadi sorotan karena membuat onar di Jember, Jawa Timur. Pada Senin (22/7/2024) lalu, pesilat PSHT yang tengah konvoi mengeroyok polisi hanya karena ditegur lantaran menutup jalan.

Citra PSHT makin buruk di mata publik. Citra yang turut merembet ke peguruan-perguruan silat yang lain.

Ada keterangan menarik saat saya kemudian berbincang dengan Adri (21), salah satu guru silat atau warga PSHT asal Nganjuk, Jawa Timur.

Ia menyebut, keonaran yang kerap ditimbulkan oleh PSHT bisa diatasi dengan membenahi sistem pengangkatan atau pengasahan warga. Sebab, ia masih menjumpai beberapa PSHT di beberapa daerah di Jawa Timur yang mengangkat warga di usia belia: belasan tahun.

Guru pencak silat muda cenderung sok jagoan

Adri sendiri disahkan menjadi guru silat atau warga di PSHT Nganjuk saat memasuki kelas 1 SMA. Namun, sebelum itu, ia mengaku sempat diajar silat oleh warga yang usianya masih di bawah 15 tahun (anak SMP).

“Untuk urusan mengajar (jurus-jurus), harus kuakui sangat bagus. Itu juga yang jadi motivasi agar aku makin giat berlatih demi lekas menjadi warga,” ujar Adri dalam obrolan hangat di pagi yang mendung di Jogja, Kamis (1/8/2024).

Akan tetapi, dalam sisi manajemen emosi, ia tak begitu cocok. Sebab, si warga PSHT yang masih lebih muda tersebut cenderung sok jagoan. Suka gradak-gruduk. Suka ngetes ilmu (petentang-petenteng): dikit-dikit labrak, dikit-dikit ayo gelut.

Menurut Adri, hal semacam ini lah yang sangat mungkin memicu kerusuhan. Karena Adri sendiri juga kerap melihat kasus warga yang lebih muda darinya berani memanas-manasi perguruan silat yang lain. Misalnya yang sering terjadi adalah pada rivalnya: SH Winongo. Alhasil bentrok pun tak terhindarkan.

Pengesahan jadi warga harus diperketat, terutama di PSHT

Di PSHT tempat Adri menimba ilmu bela diri, proses pengesahan menjadi warga terbilang cepat. Dalam kurun satu tahun sudah bisa menjadi warga asal sudah menguasai jurus-jurus yang diajarkan dari tingkat ke tingkat.

“Ada total lima sabuk. Dulu setiap tiga bulan sudah bisa naik sabuk. Materi uji saat pengesahan juga hanya seputar jurus-jurus,” tutur Adri.

Menurutnya, jika sekadar menghafal jurus, tentu akan sangat mudah untuk menjadi guru silat alias warga. Namun, yang seharusnya tak luput adalah bagaimana mematangkan mental para calon-calon warga tersebut. Meliputi manajemen emosi, manajemen konflik, dan sejenisnya.

Dalam proses latihan hingga menuju warga, menurut Adri, sebenarnya secara tidak langsung sudah terjadi penempaan mental.

Akan tetapi, penempaan mental yang terjadi hanya di level permukaan: sebatas tahan banting dan tahan kerasnya latihan. Sementara untuk bagaimana saat menghadapi konflik atau konfrontasi, belum terlalu tersentuh secara khusus.

“Maka sudah saatnya PSHT di berbagai wilayah mulai memberi perhatian soal hal ini. Kita ini kan “Persaudaraan”. Ya seharusnya harus memunculkan nilai-nilai persaudaraan, bukan keonaran,” sambungnya.

“Dari yang kubaca dan kudengar dari warga-warga tua, dulu era 90-an itu untuk naik sabuk bisa sekitar satu tahunan. Artinya jadi warganya masih sangat panjang. Sekarang satu tahun latihan loh bisa jadi warga. Perbedaan waktunya terlalu jauh,” terang Adri.

Menurut Adri, momen untuk naik warga yang lama seperti era dulu secara tak langsung juga menggodok emosi dan melatih kesabaran dari para calon guru silat. Alhasil, saat ia sudah sah menjadi warga, kondisi mentalnya benar-benar sudah sangat matang.

Baca halaman selanjutnya…

Ketika bocah SMP jadi guru silat: suka semena-mena dan kekanak-kanakan

Guru pencak silat muda suka semena-mena

Belum satu tahun bergabung, Hamza (25) memutuskan untuk keluar dari perguruan silat tempatnya menimba ilmu bela diri, Ki Ageng Pandan Alas, di Rembang, Jawa Tengah. Saat itu ia masih duduk di bangku kelas 3 SMP.

Hamza mengaku tak tahan dengan kelakuan si guru silatnya (sesama anak kelas 3 SMP) yang cenderung semena-mena.

“Saat itu aku gabung karena tertarik. Di Rembang kebanyakan PSHT. Nah, Ki Ageng Pandan Alas ini kayak baru ada. Terus dari narasi temenku yang jadi warga itu ajarannya dari Sunan Kalijaga. Aku tertarik di situ,” beber Hamza mengenang momen-momen tersebut pada Rabu, (31/7/2024) petang WIB.

Teman Hamza disahkan menjadi warga untuk perguruan silat Ki Ageng Pandan Alas sudah sejak kelas dua SMP. Hal itu tentu membuatnya kagum, karena umur muda sudah berada di posisi prestisius.

Sayangnya, kekaguman itu tak bertahan lama ketika si warga tersebut mulai semena-mena. Masalah-masalah di luar lapangan kerap ia bawa di dalam lapangan. Begitu juga sebaliknya.

“Misalnya, saat di sekolah, kami ada gesekan. Nah, waktu latihan itu kelihatan banget aku jadi pelampiasan emosi. Aku kan nggak bisa apa-apa, sebagai siswa aku hanya manut saja,” tutur Hamza.

Lalu misalnya lagi, ketika di sekolah Hamza kerap disuruh-suruh. Entah untuk beli jajan di kantin atau lain-lain. Jika Hamza menolak, ia akan diancam tak bakal mendapat tambahan jurus saat ikut latihan. Atau ancaman untuk sparing dengan siswa lebih senior yang terkenal jago dalam bab baku hantam.

“Itu terjadi beberapa kali. Akhirnya aku memutuskan keluar. Waktu aku keluar pun sebenarnya baik-baik. Tapi ia responnya nggak enak dan bahkan nggak pernah ngajak omong aku lagi sampai sekarang,” ujar Hamza disertai tawa getir.

Seiring waktu sejak keluar itu, Hamza mulai perlahan-lahan memahami bahwa ada yang keliru dengan warga silat yang masih muda itu: mental yang belum matang.

Hamza memang sudah lama tidak update dengan perguruan silat tempatnya pernah menimba ilmu bela diri tersebut. Namun, ia masih kerap menjumpai beberapa perguruan silat yang mengangkat warga di umur-umur SMP. Baginya, senada dengan Adri, model pengangkatan tersebut patut dievaluasi demi menjaga marwah perguruan.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin

BACA JUGA: Keresahan Anggota Silat SH Winongo, Cuma Ingin Damai tapi Terpancing Rusuh dengan PSHT yang Mengaku Setia Hati Paling Tua

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

 

Exit mobile version