Seorang anak sulung yang jadi karyawan kontrak di Yogyakarta menjadikan slip gajinya yang besarnya di bawah UMR Jogja sebagai alat bantu saat mengikuti Lomba Melamun. Ada kesedihan di sana, karena sebagian besar gajinya habis untuk melunasi KUR BRI orang tuanya.
***
Pekan lalu, 18 Agustus 2025 saya diundang oleh seorang kawan, Ali Ma’ruf, seorang penggiat slow living di Jogja untuk ikut Lomba Melamun. Tanpa banyak alasan, saya mengiyakan ajakannya. Tentu bukan karena hadiahnya, atau karena Ali jadi jurinya. Saya biasa melamun di mana saja. Paling suka di keramaian, di atas motor saat perjalanan ke kantor atau pulang kerja. Sering juga di tepi sungai di bawah rimbun bambu samping rumah saya.
Lamunan kadang menjaga kita tetap waras. Ada yang bilang, melamun adalah bentuk kreativitas batin ketika orang dewasa tak lagi banyak bermain. Maka ajakan Ali Ma’ruf untuk mengikuti Lomba Melamun langsung saya sambar.
Sepanjang perjalanan dari kantor Mojok hingga lokasi Lomba Melamun di Lapangan Bokong Semar, Kotagede saya berpikir apa yang kira-kira akan saya lamunkan nanti. Biasanya melamun ya melamun saja, nggak ada rencana, tapi karena ini lomba rasanya perlu mempersiapkan diri untuk punya bahan. Setidaknya dari lamunan itu bisa berkembang jadi sebuah imajinasi.

Namun, sampai lokasi acara. Saya urung untuk jadi peserta. Seratusan peserta sudah duduk ambil posisi di tikar yang disediakan panitia. “Nggak jadi ikut aku, Ly, peserta lain ternyata beban pikirannya lebih berat dariku,” kata saya ke Ali yang mempertanyakan mengapa nggak jadi ikut.
“Ora, Mas. Ketoke bebanmu yang paling berat di sini,” katanya.
KUR BRI orang tua jadi beban paling berat anak sulung
Saya justru lebih tertarik ingin ngobrol dengan peserta usai lomba. Apa yang membuat mereka tergerak untuk ikut Lomba Melamun yang diadakan Lokanusa Kotagede, Tamasyakarsa, dan Life at Kotagede. Bahkan panitia sampai menutup pendaftaran ketika peserta sampai diangka 120 orang. Saya yakin bukan karena hadiah.
Sebagian peserta menggunakan kostum unik, mungkin karena kategori yang dilombakan bukan hanya yang terlama, tapi juga ada piala untuk peserta yang paling ekspresif, si paling macak alias kostum terbaik.
Saya melihat seorang peserta yang memegang kertas selama melamun. Saat sesi penyisihan berakhir, saya mendekatinya. Selembar kertas itu ternyata adalah slip gajinya sebagai seorang social media officer di sebuah lembaga di Kota Yogyakarta.
Peserta berkerudung hitam ini menyebut nama aslinya tapi, ia meminta Mojok untuk menyamarkan namanya, sebut saja dia Rinda (26). Selama melamun, ia memikirkan semua masalah yang akhir-akhir ini menganggu pikirannya, terutama keluarga dan ekonomi.
“KUR BRI!” katanya saat ditanya apa yang paling membebani hidupnya sehingga jadi bahan lamunan.
Ia lantas menunjukkan, slip gaji yang merinci gaji pokoknya hingga tunjangannya. Pendapatan kotornya sebesar 2.143.600, setelah dikurangi pajak, pendapatan bersihnya sebesar Rp2.020.274. Angka yang lebih rendah dari Upah Minimum Provinsi DIY sebesar Rp2.264.080,95 atau dari Upah Minimum Kota Yogyakarta 2025 sebesar Rp 2.655.041,81.

Selain KUR BRI, anak sulung harus bantu orang tua untuk kebutuhan adiknya
Yang menarik, peserta berkerudung hitam ini membuat catatan di bagian bawah slip gajinya yang isinya adalah tagihan KUR BRI sebesar Rp1.000.000, bayar wifi bapak 300 ribu, bayar obat saudara 140.000, bayar bensin 250 ribu. Saya menghitung, masih ada sisa sekitar Rp400 ribu-an.
“Belum dihitung biaya makan, kebutuhan rumah, terus kadang kepotong kebutuhan adik yang masih SMP,” katanya tertawa getir.
“Utang KUR BRI itu sebenarnya bukan aku yang utang, tapi orang tua, pakai namaku. Dan itu lunasnya masih dua tahun lagi. Ya Allah, aku kuat!,” katanya kembali tertawa sembari menyeka sedikit air mata yang meleleh. Ia tidak mau menyebut besaran pinjaman orang tuanya dan detail keperluannya. Rinda hanya menyebutkan untuk keperluan keluarga.
Rinda, matanya memang terlihat memerah. Selama melamun, dia mencoba untuk menahan tangis, tapi tetap saja ada lelehan air mata yang keluar. Rinda mengatakan bahwa bukan hanya harus melunasi utang orang tuanya, ia juga harus menanggung kebutuhan sehari-hari keluarganya. Ia paham sebagai anak sulung, ia mendapat beban sebagai penopang ekonomi keluarga.
Selama melamun ia memikirkan bagaimana solusi agar bisa mengatasi persoalan utangnya. Salah satu yang ia pikirkan adalah mencari pekerjaan yang tentu tawaran gajinya lebih tinggi.”Doakan saja saya kuat,” katanya tertawa.
Bawa paspor hingga mikir jahatnya pemerintah memeras rakyatnya
Saya lantas ngobrol dengan Lala (28). Saya tertawa melihatnya. Dia saya kenal sebagai mantan ilustrator di Mojok. Kini ia lebih nyaman sebagai freelance. Alasannya ikut Lomba Melamun, salah satunya untuk melarikan diri sementara dari urusan duniawi. Meski isi lamunannya juga tak jauh-jauh dari urusan sehari-hari.

Ia sengaja membawa paspor sebagai bahan lamunan. Melihat kondisi Indonesia saat ini, muncul dalam bayangannya untuk ke luar negeri, apakah itu kerja, kuliah, atau lainnya. Yang penting hidup lebih baik. “Tadi ada beberapa yang saya lamunkan, coba mengingat masa-masa baik, memori yang manis, tapi kebanyakan kosong, nggak mikirin apa-apa,” katanya.
Peserta lain, Intan (31) cukup effort mengikuti Lomba Melamun. Ia mengenakan kostum dengan tema lebah dengan warna mencolok, kuning dan hitam. Intan mengakui, sebagai remaja jompo, ia hanya kuat sekitar 45 menit, alasannya kakinya kesemutan. Meski cuma 45 menit, banyak hal yang ia lamunkan.
“A-Z pokoknya, dari ekonomi, asmara, UMR Jogja, bisnis yang naik turun, sama pemerintah yang narik pajak terus,” kata Intan. Ia yang punya usaha jualan burger bareng temannya setiap hari selalu berpikir keras agar usaha tetap jalan. Di sisi lain, ia juga khawatir kalau pemerintah melirik usahanya yang pendapatannya masih belum seberapa untuk kemudian ditarik pajak.
“Mikir paling berat itu adalah gimana caranya punya rumah di Jogja. Harga tanahnya mahal banget, harus muter otak. Aku asli Jogja tapi sampai sekarang masih ngontrak,” ujarnya.
Melamunkan tentang orang tua yang makin tua dan kita belum membahagiakannya
Peserta lain, Alfina (25) tengah asyik melamun tentang tarik ulur apakah akan menetap di Yogyakarta atau kembali ke kota dia dibesarkan saat panitia menyebutnya gugur dalam babak penyisihan. Ia nggak mempersoalkan harus gugur dalam Lomba Melamun. Justru yang ia risaukan adalah materi melamun yang hingga gugur ia belum dapat solusinya.

“Jadi aku kuliah S1 sudah lulus, terus kerja di Jakarta, tempat aku dibesarkan. Nah, dua tahun kerja di Jakarta aku nggak betah, balik lagi ke Jogja untuk ambil S2. Sekarang aku lagi bingung, telanjur nyaman di Jogja, nggak mau lagi ke Jakarta, tapi UMR-nya Jogja nggak bisa buat hidup!” katanya.
Alfina yang bergelut di dunia desain grafis merasa ritme hidup di Jakarta nggak sehat. Ia merasa jika kembali ke Jakarta, ia pasti akan tua di jalan. Di sisi lain, ia juga memikirkan orang tuanya. “Orang tua makin tua, sementara aku merasa belum membahagiakan mereka,” aku anak pertama dari tiga manusia dan empat anak bulu dengan nada sendu.
Lomba Melamun sangat mungkin akan digelar rutin
Farid Dwi Setiawan, owner Lokanusa Kotagede mengatakan, Lomba Melamun 2025 ini berawal dari celetukan Ali Ma’ruf, penggiat slow living kepadanya dan Primas Trijati (Tamasya Karsa) tentang Lomba Melamun di Jepang. Ide itu lantas diwujudkan dalam sebuah Lomba Melamun menyambut kemeriahan HUT ke-80 Republik Indonesia.
“Nggak nyangka yang mendaftar sampai seratus lebih, dan ada yang dari luar kota,” kata Farid. Ada sekitar 120-an orang yang mendaftar, itupun setelah dibatasi panitia. Farid juga mengatakan ia yakin, peserta datang bukan karena besarnya hadiahnya, tapi jadi semacam ruang untuk merenung. Tingginya antusias peserta membuat Farid mempertimbangkan untuk menjadikan lomba melamun sebagai agenda rutin.
Hal itu juga ditegaskan oleh, Primas Jati. Lomba yang ia adakan bersama teman-temannya nggak menyediakan hadiah besar. Ia percaya peserta tertarik datang karena Lomba Melamun ini memberi kesempatan kepada siapa saja untuk melambat, jeda sejenak dan rutinitas,” katanya.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA BACA JUGA: Hidup Menderita saat Jadi Guru Honorer di Sekolah Negeri, Usai Pindah ke Sekolah Muhammadiyah Berubah Drastis Jadi Sejahtera atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












