Drama dan Keribetan Hidup Tiap Bayar Pakai QRIS, Bikin Panik dan Malu-maluin Diri Sendiri

Ilustrasi - Drama tiap bayar pakai QRIS di m-Banking. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Banyak orang kini merasa lebih mudah melakukan transaksi non-tunai dengan menggunakan QRIS di m-Banking. Lebih efektif: tinggal scan barcode, ketik nominal dan pin, lalu transaksi selesai.

Tak perlu ada kekhawatiran kalau belum ambil uang tunai. Tak perlu merepotkan pedagang mencari-cari kembalian karena uang disodorkan untuk pembayaran bernominal besar.

Tak pelak jika QRIS kini menjadi sistem pembayaran di banyak elemen. Tidak cuma toko modern, warung-warung kecil seperti warung madura pun kini menyediakan barcode untuk sistem pembayaran non-tunai tersebut.

Pengguna QRIS pun semakin meningkat. Dalam data Bank Indonesia (BI), tercatat jumlah pengguna QRIS di Indonesia pada kuartal pertama 2025 mencapat 56,3 juta pengguna. Sementara volume transaksinya mencapai 2,6 miliar.

Namun, di tengah puluhan juta orang yang menggunakan sistem pembyaran tersebut, ada beberapa orang yang justru memilih enggan. Pasalnya, mereka kerap kali dihadapkan dengan situasi “penuh drama” dan merepotkan tiap kali hendak membayar pakai QRIS.

QRIS bikin panik saat sinyal ngelag

Sistem pembayaran QRIS membutuhkan koneksi internet yang stabil. Sialnya, kartu provider Tunggal (25) kerap tidak mendukung.

Tunggal mengaku mulai masif menggunakan QRIS pasca pandemi Covid-19. Tak mau ketinggalan dari jamak orang yang sudah beralih dengan sistem pembayaran tersebut.

Namun, alih-alih merasa lebih praktis, Tunggal malah mengaku sering kerepotan sendiri. Barangkali bukan karena QRIS-nya, tapi lebih karena perangkat Tunggal saja yang tidak mendukung.

Tak terhitung berapa kali Tunggal dibuat panik saat membayar pakai QRIS. Misalnya, ketika hendak membayar di minimarket dengan QRIS—di tempatnya merantau, Semarang—berkali-kali muncul notifikasi di m-Banking-nya berbunyi, “Transaksi baru bisa dilakukan jika indikator berwarna hijau.”

Bayar pakai QRIS di m-Banking penuh drama MOJOK.CO
Ilustrasi – Bayar pakai QRIS di m-Banking penuh drama. (QRIS)

“Itu artinya nggak ad sinyal. Dan hp-ku sering begitu. Apalagi pas lagi hujan,” kata pemuda asal Rembang, Jawa Tengah itu berbagi cerita, Senin (20/10/2025) malam.

Kalau di minimarket, Tunggal bisa jadi panik dan tergopoh sendiri. Sebab, di belakangnya antrean sudah memanjang. Menunggu Tunggal yang sibuk memencet-mencet ponselnya agar segera berindikator hijau.

Alhasil, tak jarang Tunggal memilih beringsut dari antrean. Meminta waktu pembayaran di-pending. Daripada bikin sebal orang-orang yang antre.

“Kalau baca Mojok, kan ada masukan, sebelum bayar persiapan dulu, login dulu. Tapi sering lupa, baru login ketika sudah di depan kasir,” ujar Tunggal menggerutui dirinya sendiri.

Ujian kamera hp burik

Kalau toh sudah persiapan, masih ada ujian lain yang kerap menimpa Tunggal tiap membayar dengan sistem QRIS. Yakni kamera hp.

Meskipun sudah bekerja, Tunggal memang tak begitu tertarik membeli perangkat-perangkat—seperti hp—di harga mahal. Prinsipnya, asal hp bisa difungsikan untuk WhatsApp dan menelusuri internet, sudah cukup.

Dia tak begitu tertarik membeli hp dengan kamera dewa. Tak penting-penting amat bagi Tunggal. Awalnya sih begitu. Sampai akhirnya dia sadar, betapa kamera sangat berpengaruh bagi pembayaran QRIS.

Ilustrasi – Bayar pakai QRIS di m-Banking penuh drama. (QRIS)

“Aku mau bayar, mau scan barcode, eh gara-gara kamera burik, akhirnya nggak bisa-bisa. Itu selain bikin gopoh juga bikin malu di hadapan kasir atau penjual dan orang-orang yang antre di belakangku,” ujar Tunggal.

Pilihan sementara Tunggal bukan beli hp dengan kamera memadai. Dia memilih kembali ke transaksi konvensional: pakai uang tunai. Walaupun kadang kerap merepotkan karena pedagang minta uang pas atau tidak ada kembalian.

Admin Rp500 bikin kesel

Berbeda dengan Tunggal, Azka (23) sebenarnya merasa nyaman dan lebih praktis melakukan transaksi dengan QRIS. Sejak menggunakannya, amat jarang dia membawa uang tunai di dompet.

“Itu juga membantuku. Karena aku itu teledor bin ceroboh. Sering kalau bawa uang di saku, entah ketelingsut di mana,” kata Azka.

“Kalau Cuma Rp5 ribu, Rp10 ribu nggak masalah. Tapi kalau yang ketelingsust Rp50 ribu itu bikin nyesek. Kalau udah dibiarkan di dalam m-Banking kan aman. Bayar tinggal scan QR, transfer tinggal pakai m-Banking,” sambung pemuda asal Pati, Jawa Tengah itu.

Cuma, dia kerap merasa kesel sendiri tiap beli di warung-warung yang mengenakan biaya admin dalam sistem pembayaran QRIS—di tempatnya merantau (Jogja). Walaupun sebenarnya hanya Rp500.

Padahal, Bank Indonesia telah memberlakukan MDR QRIS 0% sejak 1 Desember 2024. Yakni untuk transaksi sampai dengan Rp500.000 pada merchant Usaha Mikro (UMI), maka PPN atas MDR transaksi tersebut adalah Rp0 (nol rupiah).

“Malah di TikTok ada yang curhat kena admin sampai seribu rupiah. Nggak tahu ya, kesel saja sama warung-warung yang begitu. Biar cuma gopek tap ikan mengurangi saldo,” kata Azka.

Kerepotan bayar pakai QRIS kalau pulang kampung

Penggunaan sistem pembayaran QRIS memang belum menyeluruh. Di beberapa daerah—terutama daerah kecil—masyarakatnya masih belum familiar dengan sistem pembayaran ini. Termasuk di kampung halaman Azka di Pati.

Oleh karena itu, Azka kerap merasa repot sendiri tiap pulang kampung. Saking terbiasa pakai QRIS, Azka kerap lupa menyiapkan uang tunai lebih dulu sebelum pulang kampung.

“Hasilnya, susah bener kalau beli rokok di warung. Karena nggak ada QRIS, harus tunai. Itu membuatku harus cari ATM dulu buat ambil uang yang juga sama susahnya,” keluhnya.

Kegocek nasib tukang parkir

Azka juga kerap mengalami kerepotan kalau berhadapan dengan tukang parkir di beberapa titik di Jogja.

Memang, sudah ada beberapa tukang parkir yang pembayarannya pakai QRIS: Si tukang parkir menyediakan barcode untuk di-scan. Hanya memang yang masih konvesional pun banyak.

“Seperti yang kubilang, aku kan jarang bawa tunai. Akhirnya sering ngutang temen buat bayar parkir,” ujar Azka.

Paling merepotkan tentu ketika Azka tidak sedang bersama temannya. Maka biasanya dia berniat mengganti biaya parkir yang Rp2 ribu itu dengan dua batang rokok. Walaupun sering kali ditolak. Si tukang parkir mempersilakan Azka pergi tanpa perlu membayar atau memberi rokok.

Situasi itu membuat Azka sebenarnya merasa tidak enak. Sampai akhirnya Azka tahu, tukang parkir tak butuh dua batang rokok karena mereka mampu membeli rokok sendiri.

“Aku pernah ngasih uang Rp50 ribu. Karena nggak ada kembalian receh, biar gampang, aku minta anggap saja parkirnya Rp10 ribu. Padahal aslinya Rp2 ribu. Niatku sedekah,” ujar Azka. Kalau begitu kan enak kembaliannya: Rp20 ribuan dua lembar (Rp40 ribu).

Ternyata Azka kegocek. Saat akhirnya tahu kalau pemasukan tukang parkir di Jogja bisa lebih di atas UMR, loyo lah dia. Pengin mengasihani orang lain, jebul yang perlu dikasihani adalah diri sendiri.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Orang Gaptek Pertama Kali Pakai QRIS: Dari Panik Jadi Ketagihan karena Mudah, Berujung Sumpek karena Hari-hari Terasa Tanggal Tua atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version