Pahit Kerja di Tanah Abang: 5 Tahun Tak Bisa Mudik, “Terjebak” dalam Sepinya Lebaran Jakarta

Stasiun Gambir Jakarta.MOJOK.CO

Ilustrasi - KA Bengawan Harusnya Ditulis dalam Lembar Ucapan Terima Kasih Skripsi. Seorang anak dengan tekad kuat memutuskan kuliah di Jakarta dengan segala keterbatasannya. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Ada segelintir orang yang “ketiban apes” merasakan sepinya Jakarta saat lebaran. Mereka bukan tengah liburan, melainkan tak bisa mudik karena berbagai persoalan. Beberapa di antaranya dialami pekerja asal Jogja yang “terjebak” di Tanah Abang, lima tahun tidak mudik.

***

Pradana (24) tinggal seorang diri menempati kos kecil yang terletak di dekat Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Pada hari-hari biasa, indekos itu cukup ramai, dihuni delapan orang yang mayoritas adalah pedagang.

Namun, saat lebaran tiba, Pradana tinggal sendirian. Penghuni lain sudah mudik bahkan sejak jauh-jauh. Mereka baru akan kembali paling cepat seminggu setelah hari raya.

Pekerja asal Jogja itu tiba di Jakarta pada Juni 2019, bebarengan dengan arus balik lebaran. Ia datang ke Jakarta ikut dengan saudaranya yang sudah tiga tahun lebih lama bekerja di Pasar Tanah Abang.

“Lulus SMA langsung merantau. Saudara-saudaraku bilang, namanya juga anak laki-laki, kudu berani ambil langkah. Makanya begitu lulus, aku langsung cabut ke Jakarta,” kata Pradana saat dihubungi Mojok, Senin (24/3/2025) siang.

Tahun pertama full nangis karena rindu orang tua

Pradana mengakui, tahun pertama kerja di Jakarta sangat menjanjikan. Ia bekerja sebagai penjual pakaian di Blok B Pasar Tanah Abang. Gajinya besar, bonus pun kerap didapatkan. 

“Gaji pokok 3 juta sebulan. Kalau sales terpenuhi, bonusnya lumayan. Kalau memang bulan itu ramai, aku bisa dapat bonus sejuta sampai 2 juta,” kata dia.

Namun, ada satu hal yang baru diketahui Pradana. Tiap kali lebaran, sudah dipastikan ia tak bisa mudik ke kampung halaman. Pasalnya, toko sedang ramai-ramainya. Bahkan omzet bisa 10 kali lipat dari hari-hari biasanya.

Ia pun mengakui, pada lebaran tahun pertama setelah kerja di Jakarta–yakni 2020, Pradana full nangis kejer di kamar kosnya. Itu menjadi pengalaman pertamanya lebaran tanpa bertemu orang tua.

“Takbir saut-sautan. Cuma bisa sungkem sama bapak ibu dari video call. Rasanya sedih banget,” ujarnya. “Apalagi itu momennya juga lagi ramai virus corona, kebayang aja hari-hari penuh ketidakpastian gitu jauh dari orang tua.”

Jadi saksi sepinya Jakarta saat hari raya

Meskipun saat itu sudah setahun hidup di Jakarta, Pradana tak terlalu sering berkeliling ibu kota. Hidupnya cuma di Pasar Tanah Abang dan sekitarnya, sibuk untuk urusan kerja.

“Pagi-pagi udah buka toko. Pulangnya sore atau malam. Mau main pun sudah malas, macet pasti,” ungkapnya. Oleh karenanya, selepas kerja ia memilih di kos saja–dan rutinitas itu terus berulang.

Saat lebaran tiba, kondisi Tanah Abang, Jakarta, tak seperti hari biasa. Jalanan sepi, pusat perbelanjaan pun tak sepadat hari-hari sebelumnya. Namun, …

Baca halaman sebelumnya…

Menjalani hari-hari sepi saat lebaran di ibu kota. 5 hari raya tak pulang-pulang.

Saat lebaran tiba, kondisi Tanah Abang, Jakarta, tak seperti hari biasa. Jalanan sepi, pusat perbelanjaan pun tak sepadat hari-hari sebelumnya. Namun, Pradana tetap tak bisa keliling-keliling ibu kota karena masih harus bekerja.

“Toko memang sepi yang datang. Tapi tetap kerja, packing orderan-orderan yang jumlahnya gila-gilaan,” kata lelaki asal Jogja ini.

Pada situasi itu, Pradana sadar kalau dia memang benar-benar sendiri di Jakarta. Pasar Tanah Abang, yang biasanya dipadati manusia, senyap. Bahkan suara-suara obrolan dari lapak sebelah masih bisa dia dengar.

“Kalau lebaran, aku yang jadi penunggu Jakarta. Hahaha.”

5 kali lebaran “terjebak” di Tanah Abang, tak bisa pulang

Tiap tahunnya, Pradana cuma punya satu momen pulang kampung. Biasanya itu terjadi setelah masa-masa libur nataru. Karena kesempatannya amat langka, ia pun bisa dua minggu di rumah.

Namun, ketika masa-masa pandemi Covid-19 mengganas, lelaki asal Jogja ini benar-benar “terjebak” di Tanah Abang, Jakarta. Ibu kota menerapkan pembatasan aktivitas. Tempat-tempat usaha pun sepi.

“Tapi tetap saja aku nggak bisa pulang, karena toko tetap buka. Kalaupun ada kesempatan pulang biayanya mahal,” kata Pradana.

Saat itu Pradana telah berhitung, untuk sekali pulang kampung setidaknya uang Rp2 juta harus ia siapkan. Uang itu akumulasi dari biaya transportasi–yang sedang menanjak, dan biaya buat rapid test.

Oleh karena itu, tercatat sejak 2022-2024, Pradana benar-benar tak kemana-kemana, tertahan di Tanah Abang. Banyak momen terlewatkan, salah satunya yang membuatnya sedih adalah kematian kakeknya karena terkena Covid-19.

“Lebih sedih lagi pas kakek wafat itu, aku nggak bisa pulang,” jelasnya.

Pradana tercatat terakhir kali pulang pada Februari 2024 lalu. Kini, di momen lebaran, ia tetap menyibukkan diri di perantauan dan–sekali lagi–menjadi saksi sepinya Jakarta.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Lulusan S2 Nekat Merantau ke Jakarta karena Muak dengan UMR Jogja: Baru Sebulan Kerja Balik Nganggur, Kantor Bangkrut atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version