Di LKSA Samsah, Kabupaten Kudus, tidak cuma anak asuh yang belajar. Para pengasuh pun juga tak pernah berhenti belajar untuk memahami minat siswa, dan mendampingi konseling karier mereka.
***
Bagi banyak orang, lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA) atau dulu disebut “panti asuhan” hanyalah tempat bernaung bagi mereka yang kurang beruntung. Namun, di Kudus, ada satu tempat yang mematahkan pandangan itu.
Di LKSA Samsah, pengasuhan bukan sekadar memberi makan dan tempat tidur. Di sini, anak-anak belajar menemukan arah hidup, sementara para pengasuh ikut belajar memahami makna mendidik manusia.
“Kami tidak hanya menjaga mereka, tetapi kami tumbuh bersama,” kata Siti Rochanah, koordinator pengasuh LKSA Samsah, saat ditemui Selasa (28/10/2025).
Dari panti ke ruang belajar
LKSA Samsah sendiri sudah berdiri sejak 1995. Ia memang diperuntukkan sebagai lembaga yang mengurus anak-anak yatim di Kota Kudus. Di awal pendiriannya, hanya lima anak yang tinggal di sana. Hari ini, ada 28 delapan anak asuh yang didampingi oleh Rochanah dan tiga pengasuh lainnya.
Dahulu, lembaga ini dikenal sebagai Panti Asuhan Muhammadiyah Samsah. Namun, sejak 2015 statusnya berubah menjadi LKSA. Alhasil, Samsah tak cuma fokus mengurus anak yatim, tetapi juga anak kurang mampu lainnya sebagaimana dikategorikan kementerian sosial.

Meski demikian, LKSA Samsah tetap mengadopsi kurikulum pesantren, di mana yang ditekankan adalah semangat kedisiplinan. Rochanah menjelaskan, sejak subuh anak-anak sudah bangun untuk salat berjamaah, dilanjutkan membaca Al-Qur’an, membersihkan kamar, lalu berangkat sekolah.
Sementara sore hari diisi kegiatan wirausaha kecil. Seperti merawat tanaman, mengelola kolam lele, atau membantu toko di halaman belakang. Malamnya, mereka kembali belajar dan mengaji.
“Kalau dulu orientasinya hanya tempat tinggal, sekarang anak-anak dididik agar siap mandiri,” jelas Rohana. “Kami ingin mereka belajar arti kerja dan tanggung jawab.”
Ketika pengasuh pun ikut belajar
Di balik rutinitas yang padat itu, para pengasuh menyadari satu hal penting: setiap anak memiliki cara belajar berbeda dalam berkembang. Misalnya, ada yang cepat menghafal Al-Qur’an, ada yang berbakat bikin kerajinan tangan, atau ada pula yang kuat dalam public speaking.
“Mereka punya karakter beda. Kalau kita perlakukan semua anak sama, hasilnya tidak adil,” kata Rohana.
Dari kegelisahan itulah muncul dorongan untuk mencari cara baru memahami anak. Akhirnya, titik balik datang ketika LKSA Samsah mendapat pelatihan dari Bakti Sosial Djarum Foundation tentang metode RIASEC, pendekatan untuk mengenali minat dan bakat anak.
Psikolog anak dan remaja Daniswara Agusta Wijaya menjelaskan, RIASEC merupakan akronim dari Realistic, Investigative, Artistic, Social, Enterprising, dan Conventional, enam tipe dasar minat dan kepribadian manusia yang dikembangkan oleh psikolog John Holland pada 1950-an.
Prinsipnya, kata Danis, sangat sederhana: seseorang akan tumbuh lebih baik jika hidup atau bekerja dalam lingkungan yang sesuai dengan minat dan kepribadiannya.
“Setelah kami lakukan pemetaan, RIASEC ini adalah metode yang paling sederhana, tapi juga efektif dalam mengenali minat anak-anak di LKSA,” jelasnya, ketika dihubungi Mojok pada Kamis (20/11/2025).
Danis menjelaskan, sebelumnya ia memang terlebih dahulu melakukan asesmen di beberapa LKSA. Salah satu fokusnya adalah untuk memetakan minat dari anak asuh.
Setelah melakukan asesmen, ia menyimpulkan bahwa metode paling sederhana tapi efektif untuk memetakan potensi, minat, dan bakat anak-anak asuh di LKSA adalah RIASEC.
“Metode ini mudah diimplementasikan oleh pengasuh, asesmennya juga mudah juga dipahami oleh siswa.”
Sejak itu, para pengasuh LKSA Samsah pun mulai belajar mengenali kecenderungan masing-masing anak. Mereka tak lagi hanya menilai dari nilai rapor atau hafalan Al-Qur’an, tapi dari hal-hal kecil yang sering terlewat.
Sebagai misal, anak yang senang memperbaiki perabot rusak, masuk kategori Realistic, karena berbakat “bekerja dengan tangan”. Anak yang suka membaca dan mencari tahu hal baru disebut Investigative. Ada pula yang senang menulis puisi atau menggambar, termasuk dalam tipe Artistic. Atau, anak-anak yang suka membantu teman disebut Social, dan sebagainya.
“Waktu itu kami mulai dari observasi kecil,” kenang Rochanah. “Saya dan teman-teman pengasuh mencatat perilaku anak-anak setiap hari: siapa yang suka menolong, siapa yang sering memimpin doa, siapa yang senang mencatat kegiatan.”
Dari hasil pengamatan itu, mereka membuat semacam “kartu target pencapaian”, lembar sederhana yang berisi catatan minat, kemampuan, dan cita-cita masing-masing anak. Setiap minggu, pengasuh duduk bersama anak untuk mendiskusikan perkembangannya.
Kadang obrolannya ringan tentang hal yang disukai, cita-cita, atau hal baru yang ingin dicoba. Kadang lebih serius, ketika anak bercerita tentang rasa takut dan keraguan menghadapi masa depan.
Pendekatan ini mengubah banyak hal. Suasana belajar tak lagi kaku. Pengasuh dan anak duduk sejajar, berbagi cerita dan rencana. Rochanah menyebutnya “pembelajaran dua arah”.
“Saya bukan psikolog, tapi saya belajar membaca bahasa anak-anak dan mengarahkan mereka sesuai apa yang mereka senangi,” ujar Rohana sambil tersenyum.
“Kami bukan guru yang tahu segalanya. Kami juga belajar membaca bahasa anak-anak, kadang lewat cara mereka bekerja, kadang lewat diamnya.”
Pembelajaran lebih cair
Hasilnya mulai terlihat. Anak-anak yang dulu tampak pasif kini lebih terbuka. Mereka mulai mengenali diri sendiri, tahu bidang apa yang membuat mereka bersemangat. Anak dengan tipe Social diberi kesempatan membantu mengajar adik kelas mengaji; yang Realistic diajak mengurus kebun kecil di belakang panti; sementara yang Artistic diberi ruang untuk menulis, atau dilatih kreativitas lewat kegiatan seni Islami.
Salah satu anak asuh LKSA Samsah yang tumbuh bersama metode ini adalah Dika, siswa kelas tiga SMA. Ia dulunya dikenal pendiam dan sering ragu memilih jurusan kuliah. Lewat sesi RIASEC, Dika menemukan kecenderungan pada bidang Social dan Artistic. Ia senang menulis, berbicara, dan mendengarkan cerita orang lain.
“Awalnya saya kira tidak punya bakat,” katanya pelan. “Tapi Bu Rochanah bilang, suka dengar orang curhat itu juga kemampuan sosial.” Sejak itu, Dika sering membantu adik-adiknya mengaji dan memimpin doa. Ia bercita-cita kuliah di jurusan pendidikan agama.
Namun, proses tadi tak cuma membantu anak, tapi juga membentuk para pengasuh. Mereka belajar sabar, lebih peka, dan tidak cepat menghakimi. Rohana mengakui, menerapkan RIASEC bukan hal mudah.
“Kadang kami salah menilai, ada anak yang ternyata bakatnya bukan di situ,” ujarnya. “Tapi dari situ juga kami belajar, bahwa membimbing anak bukan soal hasil cepat, tapi soal kesediaan menemani.”
Dari anak asuh ke pengasuh
Jika Dika mewakili masa depan, maka Syafi’i adalah cermin masa lalu yang kembali. Ia datang ke LKSA Samsah sebagai anak asuh pemalu bertahun-tahun lalu.
Setelah menyelesaikan pendidikan hingga S2 di sebuah universitas negeri, ia sempat bekerja di perusahaan logistik. Namun, rasa tanggung jawab dan kerinduan membawanya pulang kembali.
“Saya merasa utang ilmu,” katanya singkat. “Di sini saya belajar hidup. Sekarang giliran saya membantu yang lain.”
Kini Syafi’i menjadi salah satu pengasuh muda yang aktif mendampingi anak-anak SMA dalam sesi RIASEC. Ia paham betul bahwa setiap anak membutuhkan pendekatan berbeda. Bagi Syafi’i, mengasuh adalah bentuk lain dari belajar
LKSA Samsah sendiri kini menjelma bukan sekadar tempat tempat kerja. Ia menyebutnya rumah belajar kedua; tempat di mana siapa pun yang datang dengan niat tumbuh akan belajar sesuatu.
“Anak-anak mengajarkan kami makna kesabaran, sedangkan kami berusaha menumbuhkan harapan,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Asrama Kecil di Kudus yang Menumbuhkan Mimpi Besar Anak-Anak Kurang Beruntung atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan