Banyak mahasiswa Jogja memilih kumpul kebo karena alasan berhemat. Kumpul kebo juga jadi sarana untuk memahami “luar-dalam” pasangannya, dan belajar berumah tangga.
***
Jauh di sebuah desa di Jawa Tengah, seorang ibu mungkin sedang membayangkan anaknya. “Semoga anakku di Jogja betah, kuliahnya lancar, cepat lulus dan jadi sarjana.”
Demikianlah yang ada di benak Andi, mahasiswa perantau di Jogja, membayangkan doa sang ibu di kampung halaman. Di mata sang ibu, Andi adalah sosok “alim” yang selalu patuh, jauh dari pergaulan bebas, dan fokus mengejar cita-cita.
Sayangnya, di balik riuhnya Malioboro dan dinding-dinding kos di Jogja, Andi, seperti sebagian mahasiswa perantauan lainnya, diam-diam menjalani kehidupan yang jauh berbeda. Seratus delapan puluh derajat dari kesan “alim” tadi. Namanya: kohabitasi alias kumpul kebo.
Menariknya, mereka kumpul kebo bukan semata karena hasrat kebebasan yang membuncah. Alasan utamanya, yang seringkali tak terduga, adalah desakan penghematan biaya hidup yang kian mencekik.
Ketika Sewa Kos Mendorong “Pilihan Tak Lazim” di Kota Pelajar
Andi (22), bukan nama sebenarnya, seorang mahasiswa jurusan teknik di salah satu universitas kenamaan di Jogja, tak pernah membayangkan akan menjalani hidup seperti ini.
Dibesarkan di keluarga yang sangat religius di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, ia selalu diajarkan nilai-nilai agama yang kuat. Namun, empat semester terakhir, ia tinggal seatap dengan pacarnya.
“Awalnya ya berat banget di biaya kos, Mas. Di Jogja itu kos sekarang mahal banget, apalagi yang layak dan dekat kampus. Dan, pacarku waktu itu juga lagi kesulitan,” ungkap Andi kepada Mojok, Selasa (22/7/2025) malam.
“Jadi kita mikir, daripada masing-masing bayar mahal, kenapa nggak coba gabung aja? Hitungannya ‘kan patungan, jadi bisa hemat separuh lebih.”
Pengakuan Andi ini bukan tanpa dasar. Biaya hidup di Jogja, meskipun sering dianggap lebih terjangkau dibandingkan kota lain, nyatanya terus merangkak naik, terutama bagi mahasiswa perantauan.
Rata-rata biaya kos yang layak di sekitar kampus berkisar antara Rp800 ribu hingga Rp1,5 juta per bulan. Kadang belum termasuk listrik, air, dan WiFi.
Sementara itu, untuk makan sehari-hari, seorang mahasiswa bisa menghabiskan minimal Rp30 ribu hingga Rp50 ribu. Berarti tiap bulannya mereka harus merogoh kocek hingga Rp1,5 juta buat ngisi perut.
Angka-angka ini seringkali jauh melampaui kemampuan finansial mayoritas mahasiswa, apalagi yang hanya mengandalkan kiriman dari kampung.
Pilihan yang Wajar buat Menghemat Pengeluaran?
Pilihan seperti yang diambil Andi ini memang bukan hal baru. Penelitian soal samen leven pada Januari 2025 lalu menunjukkan bahwa masalah keuangan memang menjadi salah satu penyebab seseorang melakukan kumpul kebo.
Biasanya, ini terjadi pada seseorang yang merantau di luar kota dan jauh dari orang tua. Kemudian mereka memilih untuk tinggal bersama pacarnya demi menghemat uang.
Dalam penelitian tersebut dijelaskan, bahkan para pelaku kumpul kebo merasa seperti suami istri yang telah menikah secara hukum, meskipun mereka belum menikah.
Ini karena mereka tidak hanya kencan dan makan bersama, tetapi juga bertanggung jawab atas keuangan dan tidur bersama.
“Kalau mau dibilang latihan berumah tangga, ya memang udah seperti berumah tangga, Mas,” jelas Andi. “Kami sama-sama belajar ngatur pengeluaran bareng. Bagi tugas juga. Bahkan konflik-konflik kecil ala-ala suami istri juga sering,” imbuhnya sambil tertawa.
Pintar-pintar Menyembunyikan Aksi Kumpul Kebo dari Teman dan Keluarga di Desa
Kendati demikian, menjalani hidup dengan “dua wajah” bukanlah tanpa beban. Andi mengaku sering didera rasa bersalah, terutama saat mengingat orang tuanya di kampung yang bangga padanya.
“Jujur, awalnya ada rasa bersalah, apalagi ke orang tua. Mereka tahunya aku di sini baik-baik aja, fokus kuliah. Kalau di kampung, jelas ini hal yang tabu dan memalukan keluarga besar,” tuturnya.
Setiap kali video call dengan ibunya, Andi harus menelan ludah. Senyum bangga ibunya di layar ponsel terasa seperti tusukan, mengingat kehidupan ganda yang ia jalani di Jogja.
“Tapi lama-lama, karena tuntutan hidup, pikiran itu agak tergeser. Rasanya lebih ke ‘yang penting bisa bertahan hidup di sini’ dan ‘orang tua di rumah nggak usah tahu’,” ungkapnya.
Andi juga mengaku, saat ada teman dari desa yang ingin main ke kosnya, itu sangat bikin was-was. Menurutnya, ia harus pintar-pintar bohong, atau setidaknya pintar-pintar “menyembunyikan” keadaan yang sebenarnya. “Kadang capek juga sih, kudu cari-cari alesan biar teman nggak ke kos. Tapi ya mau gimana lagi, itu udah risikonya,” tambahnya.
Dari Kumpul Kebo ke Pelaminan: Belajar dari Keadaan
Pengalaman serupa, meski sedikit berbeda, datang dari Ria (26). Sama seperti Andi, ia adalah mahasiswa perantau di Jogja yang memilih kumpul kebo bersama pacarnya karena ingin berhemat.
Bedanya, kini ia dan pacarnya sudah menikah.
“Sama kayak mahasiswa lain kali ya. Dulu aku milih gini (kumpul kebo) karena biaya hidup di Jogja itu di luar dugaan. Kami hitung-hitungan, kalau bayar kos sendiri-sendiri itu bisa habis banyak. Jadi kami sepakat coba tinggal bareng.”
Ria mengenang saat-saat mereka harus putar otak demi dapur tetap ngebul. Ia menceritakan, dengan berbagi kamar, uang sewa mereka bisa dialokasikan untuk membeli bahan makanan dan memasak sendiri. Jauh lebih hemat dibanding jajan di luar setiap hari.
“Dulu itu sering banget cuma modal beli beras sekilo, terus masak sayur kangkung atau tempe doang biar irit. Kadang kalau tanggal tua, patungan beli mi instan sepuluh bungkus buat seminggu.”
Menariknya, Ria mengaku kalau pengalaman kumpul kebo justru “membentuk fondasi” hubungan dia dan suaminya sekarang. Baginya, pengalaman kohabitasi itu justru mengajarkan banyak hal.
“Kumpul kebo bikin kami mengenal luar dalam,” katanya. “Ini tentang kompromi dan manajemen rumah tangga dari sisi finansial, meskipun kami tahu itu bukan jalan yang ‘benar’ secara moral. Tapi itu juga yang membuat kami lebih menghargai pernikahan yang sekarang,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Hari-hari Mahasiswa Malang yang Jalani Kumpul Kebo: Latihan Berumah Tangga, Hidup Layaknya Suami Istri meski Tak Siap Menikah atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












