3 Ciri Warmindo di Jogja yang Masih Asli, Jangan Ketuker Sama Warteg

3 Ciri Warmindo di Jogja yang Masih Asli, Jangan Ketuker Sama Warteg.MOJOK.CO

Ilustrasi - 3 Ciri Warmindo di Jogja yang Masih Asli, Jangan Ketuker Sama Warteg (Mojok.co/Ahmad Effendi)

Di Jogja, warmindo bukan sekadar tempat makan. Ia sudah seperti lanskap kota, bagian dari keseharian yang hampir tak bisa dipisahkan dari warganya.

Tiap sepuluh meter, kamu bisa nemu papan bertuliskan “Warmindo”. Ada yang mungil di pojok gang, ada yang sangat lapang dengan menampilkan musik akustik, dan ada juga yang dibikin ala-ala kafe estetik.

Padahal dulu, semua warmindo tampak sama: sederhana, berwarna merah menyala, dengan aroma mie instan yang jadi penanda. Kini bentuknya beragam, sampai-sampai batas antara warmindo dan warung makan umumnya jadi kabur.

Namun di tengah keramaian itu, Asep tetap bertahan dengan warungnya: Warmindo Murni di kawasan Baciro. Ia mengklaim, warungnya inilah warmindo pertama di Jogja. 

“Sudah ada dari akhir 1990-an,” katanya sambil menyiapkan mie goreng pesanan pelanggan. Dari Asep lah kita bisa tahu tiga ciri warmindo yang masih bisa disebut “asli”. Kira-kira ada tiga cara membedakannya.

#1 Tampilan khas Warmindo

“Asalnya itu ya warung Indomie,” kata Asep, Selasa (21/10/2025). Tangannya lincah memecahkan telur di atas wajan panas.

Dulu, lanjutnya, semua warmindo punya tampilan yang seragam karena berasal dari jaringan perantau asal Jawa Barat–kebanyakan dari Tasikmalaya, Ciamis, dan Kuningan–yang membawa konsep “warung Indomie” ke kota pelajar ini.

Ciri khasnya gampang dikenali: cat merah mencolok dengan corak kuning dan hijau. “Kata orang, warna merah kan bikin lapar,” ujarnya terkekeh. 

Warna itu dipercaya bisa memancing selera makan, apalagi di malam hari. Di dalamnya, susunannya sederhana dan padat. Ada meja panjang, kursi plastik warna biru atau hijau, dan rak kaca tempat mie instan disusun rapi dalam berbagai merek, meski 90 persen isinya tetap Indomie.

Warmindo Murni, kata Asep, tak banyak berubah sejak dulu. Catnya memang sudah agak kusam, tapi justru itu yang membuat pelanggan lama tetap datang. 

Sekarang, banyak warmindo tampil lebih estetik. Lampu gantung, dinding bata dan tembok ala-ala industrial, bahkan barista yang menyeduh kopi susu.

“Ya bagus sih, tapi rasanya udah beda.”

#2 Menu dan penjual

Ciri kedua, kata Asep, adalah soal menu yang dijual. Namanya aja: “warung indomie”, jadi menunya memang nggak jauh-jauh dari mie. Di Warmindo Murni, daftar menunya bisa dihafal dalam satu kali baca: mie goreng, mie rebus, magelangan, nasi goreng, telur dadar, dan dua sajian khas Jawa Barat–bubur kacang ijo dan ketan hitam.

“Dulu semua masakan harus ‘ongoing’, dimasak langsung pas dipesen,” kata Asep. “Kalau menunya udah siap duluan, itu bukan warmindo, tapi warteg.” 

Prinsip ini pula yang menurutnya membedakan warmindo dari warung makan lain. Pelanggan bisa lihat prosesnya, bisa ngobrol sambil nunggu, dan semua terasa lebih akrab.

Namun, kini banyak warung indomie yang meninggalkan “keaslian” itu. Bahkan, variasi menu kini makin beragam. Beberapa warung indomie menambahkan ayam geprek, ricebowl, bahkan dimsum dan minuman kekinian. 

“Nggak apa-apa sih, namanya juga berkembang,” ujarnya. “Tapi kalau semua dijual, ya hilang dong ciri khasnya.”

Selain menu, ada satu ciri lain yang dulu sangat khas: penjualnya. Hampir semua orang di balik etalase warmindo berlogat Sunda. 

“Kami dulu satu kampung, banyak dari Ciamis,” kenang Asep.

“Makanya sering dibilang burjo Sunda.” Dari tangan mereka, aroma mie rebus dan bubur kacang ijo jadi identitas tersendiri di Jogja.

Sekarang, banyak warmindo dijalankan oleh penjual dari berbagai daerah. Ada yang dari Jawa Tengah, bahkan Madura. Tak ada yang salah, tentu saja. Tapi Asep merasa, ada nuansa yang hilang. 

#3 Buka 24 Jam, tanpa kompromi

Di Jogja, waktu terbaik mengunjungi warmindo justru bukan saat makan siang, melainkan tengah malam. Ketika warteg sudah menutup pintu dan rumah makan Padang merapikan piring, warmindo justru mulai ramai. 

Di sinilah semangat aslinya hidup: menemani mahasiswa yang begadang, pekerja yang baru pulang, atau siapa pun yang belum ingin tidur.

“Dari dulu warmindo memang harus 24 jam,” ujar Asep. “Mahasiswa Jogja itu belajarnya malam. Jadi kalau tutup jam sepuluh, siapa yang mau makan?”

Menurut Asep, beberapa warmindo modern kini mulai mengubah jam operasionalnya. Ada yang buka pukul tujuh pagi dan tutup tengah malam. Alasannya klasik: tenaga kurang, pelanggan berkurang, biaya listrik naik. 

Warmindo yang memilih adaptif

Di kawasan Karangmalang, sekitar lima kilometer dari Baciro, ada warmindo lain yang tampak lebih modern. Bangunannya lebih luas dari Warmindo Murni milik Asep.

Bahkan, pengelolanya memasang WiFi agar pembeli semakin betah.

Warung ini dijaga oleh Boni, penjual muda yang sudah tujuh tahun berjualan di sana. Boni mengenal Asep dan menghormatinya sebagai “senior” di dunia warmindo. Tapi ia juga sadar, zaman sudah berubah. 

“Anak-anak sekarang maunya tempat yang nyaman,” ujarnya. 

Ia masih mempertahankan menu klasik seperti mie goreng, magelangan, bubur kacang ijo. Tapi ia juga menambahkan beberapa menu yang lebih variatif, seperti ayam geprek, penyetan, hingga sop dan soto..

“Nggak bisa saklek-saklek amat. Tapi kalau bisa juga ya akar jangan hilang.”

Menurut Boni, sikap adaptifnya ini mencari cara terbaik untuk bisa survive. Apalagi ia buka warung di dekat kampus, yang persaingan bisnisnya sangat ketat.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Mahasiswa Baru Kaget Pertama Kali Ngopi di Coffee Shop Jogja, Niat Nugas Malah Boncos dan Malu karena Nggak Tahu Espresso atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version