Merayakan musik metal tak selalu dengan moshing, crowd surfing, atau wall of death. Down For Life, kala tampil di Rock in Solo 2025, meminta para penonton untuk saling berpelukan di tengah kerumunan. Mereka menyebutnya: wall of love.
***
“Buka! Belah dua! Lebih lebar! Ke kanan dan ke kiri!”
Stephanus Adjie, vokalis Down For Life, memekik dari panggung seperti sang juru komando perang. Tangannya terangkat, menunjuk kerumunan yang sejak tadi liar berlarian dalam pusaran moshpit.
Hujan yang semakin deras menyisir rambut dan wajah ribuan metalhead, mengubah arena Rock in Solo menjadi kubangan lumpur raksasa.
Orang-orang, yang tadi saling sikut, saling dorong, saling gotong, perlahan membelah diri ke dua arah. Ada yang tergesa menarik temannya, ada yang menyeka mata penuh lumpur, ada yang masih berteriak karena mabuk adrenalin.
Namun, semuanya patuh pada instruksi sang frontman Down For Life: area tengah moshpit harus dikosongkan.
Inilah detik-detik yang biasanya jadi klimaks: wall of death. Dua sisi kerumunan akan saling berlari lalu bertubrukan. Saya berdiri tepat di belakang garis kiri, napas masih berantakan setelah barusan moshing. Jantung saya menggedor dada, menunggu hitungan “one, two, three!” yang akan jadi sinyal untuk melempar diri ke benturan besar itu–ritual yang menurut saya paling ikonik di konser metal.
Tapi pada malam itu, sesuatu yang “agak lain” terjadi. Adjie, mengambil jeda. Nada suaranya lebih rendah, hampir seperti bicara kepada temannya sendiri.
“Malam ini… jangan ada yang saling menyakiti. Banyak kawan-kawan kita jadi korban para ‘jagoan’ di moshpit. Tragedi di Malang kemarin, biarlah jadi pelajaran,” serunya, malam kemarin.
“Kita nggak mau ada korban lagi. Jadi, bukan wall of death… tapi wall of love. Saya mau, nanti kalian bukan menabrak satu sama lain, tapi peluk orang-orang yang kalian temui di tengah moshpit.”
Sekilas saya mengira saya salah dengar. Sebagian orang juga terlihat bingung. Namun, tepat saat itu, intro “Children of Eden” menggelegar. Lagu favorit saya dari album terbaru mereka, Kalatidha, yang baru saja memenangkan AMI Award 2025 untuk Album Metal Terbaik. Riff-nya berat, dark, dan megah. Dan, entah bagaimana, malam yang sudah absurd itu jadi semakin teatrikal.
Dua sisi kerumunan tidak berlari untuk tubrukan. Mereka justru melangkah maju perlahan menuju satu sama lain. Saya melihat seorang cowok tambun merentangkan tangan ke arah orang di depannya. Canggung, kikuk, tapi akhirnya berpelukan hangat.
Sebelahnya, dua perempuan saling merangkul sambil tertawa, lumpur memercik ke wajah mereka. Di kanan saya, seseorang berteriak, “Ayo peluk, jangan malu!” sambil menarik orang asing ke dalam dekapannya.
Saya sendiri sempat kaku. Tubuh saya masih bersiap untuk berbenturan, bukan berpelukan. Namun, ketika orang di depan saya membuka tangan dan tertawa. Saya rangkul dia, orang yang bahkan saya tidak tahu namanya. Dan, ia menepuk punggung saya seperti saudara lama.
Seluruh moshpit berubah menjadi lautan pelukan. Wall of Love: istilah yang terasa ngawur, tapi sempurna. Bukan “pengurangan kekerasan”, tapi pengakuan bahwa metalhead ada untuk saling menjaga.
Sampai hari ini, seumur hidup saya nonton konser metal, saya belum pernah melihat sesuatu yang seaneh, sejujur, dan seindah, selain malam itu, di Rock in Solo 2025. Saya, bahkan harus mengaku, tak sempat mengabadikan momen dalam bentuk foto karena hanyut dalam suasana–dan juga hujan yang semakin brutal.
Pengingat atas “tragedi hardcore” di Malang
Adegan pelukan tadi mungkin terlihat terlalu aneh bagi sebagian orang. Namun, sesungguhnya ia lahir dari luka yang masih membekas.
Skena musik keras Indonesia sedang tak baik-baik saja. Beberapa hari sebelum Rock in Solo, tragedi di gigs hardcore Malang menjadi pengingat paling pahit.
Seorang vokalis band hardcore dikeroyok dan dibacok setelah terjadi ketegangan usai moshing. Acara yang awalnya penuh kesenangan berakhir di unit gawat darurat, dengan luka robek dan darah yang seharusnya tak pernah ada di ruang musik.
Kabar itu berembus cepat, membuat skena se-Indonesia menunduk. Bukan karena kalah, tapi karena bersimpati pada korban. Ruang yang mestinya jadi arena bersenang-senang, berubah jadi tempat orang mempertaruhkan nyawa.
Maka keputusan Adjie untuk mengubah wall of death menjadi wall of love terasa seperti penegasan identitas, bukan pengurangan agresivitas. Bukan untuk menjinakkan metal, tapi untuk mengingatkan bahwa energi besar harus disertai rasa saling menjaga.
“Sekeras-kerasnya metalhead, kita cinta damai,” katanya, malam itu.
Dan, malam itu, di tengah hujan deras dan kubangan lumpur Rock in Solo 2025, saya melihat sendiri pesan itu hidup. Bukan lewat jargon, tapi lewat tubuh-tubuh yang memilih memeluk daripada menyeruduk.
Sempat canggung, tapi akhirnya terbawa suasana
Setelah aksi Down For Life usai dan hujan mereda sedikit, saya bergerak ke sisi kanan panggung yang mulai dipenuhi orang-orang kelelahan. Di sanalah saya bertemu Adam, metalhead asal Banyuwangi yang menempuh perjalanan lebih dari 500 kilometer hanya untuk menyaksikan Rock in Solo.
Jaket kulitnya terlihat berat oleh air, dan sepatu boots-nya kotor setelah tenggelam ke lumpur. Ketika saya tanya bagaimana rasanya wall of love, ia langsung tertawa.
“Jujur, awalnya malu. Masa konser metal pelukan?” Namun, ia mengaku semuanya berubah setelah melihat orang pertama membuka tangan untuk rangkulan.
“Saya lihat dia ngelakuin itu dengan bangga. Langsung kepikiran, metal itu bukan cuma adrenalin, tapi respect. Akhirnya saya peluk orang di sebelah saya.”
Tak jauh dari situ saya juga bertemu Dias, metalhead asli Solo, penggemar garis keras Down For Life. Ia mengibas rambutnya yang panjang dan basah, lalu nyengir.
“Aneh, tapi lucu,” katanya. “Biasanya kalau DFL main, kerjaan saya ngangkat orang buat crowd surfing atau bangunin yang jatuh di moshpit.”
Malam ini, untuk pertama kalinya, ia justru merangkul orang asing tanpa alasan apa pun selain ingin menunjukkan bahwa kita semua satu keluarga.
“Ternyata pelukan bisa jadi paling brutal secara emosional,” katanya sambil melempar devil horns ke udara. Dan, untuk pertama kalinya, saya merasa moshpit bukan hanya tentang energi, tapi tentang keintiman yang tak pernah kami sadari ada.
“The Betrayal”, dan pengingat Down For Life bagi “para pengkhianat”
Namun, seperti yang sudah lama diketahui oleh siapa pun yang mengikuti Down For Life, panggung bagi mereka bukan sekadar tempat mengeraskan distorsi. Walau malam itu dipenuhi pelukan, bukan berarti mereka datang untuk menghangatkan skena dengan sentimentalisme belaka.
Begitu jeda antar lagu dimulai, Adjie berdiri tegak, menatap ke arah kerumunan yang baru saja saling merangkul, dan seolah mengingatkan bahwa cinta di skena ini tidak bisa menutup mata dari kenyataan yang lebih keras daripada breakdown mana pun.
“Kalau negara tidak melindungi warganya, kita harus saling menjaga,” serunya, dan ribuan orang bersorak.
Down For Life memang selalu membawa pesan, dan malam itu bukan pengecualian. Mereka menyinggung wacana pembangunan pabrik semen di Pracimantoro, wilayah karst yang keberlangsungannya terancam demi industri.
“Lestari bukan cuma slogan,” kata Adjie, “itu masa depan kita.”
Kalimat itu datang bukan sebagai poster protes, melainkan sebagai pengingat bahwa musik keras seharusnya berpihak pada kehidupan, bukan pada modal.
Mereka lalu menyebut “kemenangan” album Kalatidha di AMI Award 2025. Alih-alih menjadikannya momen selebrasi personal, mereka mendedikasikan penghargaan itu untuk para tahanan politik yang dipenjara karena aksi protes dalam beberapa bulan terakhir, bagi korban meninggal, aktivis yang dibungkam, dan untuk luka yang tak pernah sepenuhnya kering dari tragedi 1965 hingga 1998.
Dan, semua itu mencapai puncaknya saat mereka memainkan “The Betrayal.” Untuk pertama kalinya, video klipnya diputar. Klip yang kolaborasi dengan Trend Asia dan Watchdog itu menampilkan montase penangkapan sipil, pembubaran aksi, tindakan represif aparat, dan wajah-wajah yang hilang dari pemberitaan. Ratusan orang yang tadi memeluk kini mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Malam itu, Down For Life mengajarkan bahwa bahkan cinta pun bisa menjadi bentuk perlawanan.
Down For Life, pada akhirnya, menjadi pemanasan yang nyaris mustahil ditandingi sebelum dua headliner besar: Belphegor dan Mayhem, mengambil alih panggung Rock in Solo 2025. Banyak orang datang malam itu untuk menyaksikan legenda black metal Norwegia dan Austria itu.
Namun, usai Down For Life turun panggung, saya merasa tidak ada satu pun yang benar-benar “pemanasan.” Apa yang mereka tinggalkan bukan sekadar adrenalin, tapi sesuatu yang jauh lebih sulit dilepaskan: rasa bahwa skena ini punya kekuatan untuk memilih menjadi aman, peduli, dan berpihak pada kehidupan.
Orang-orang yang sebelumnya saling memeluk perlahan kembali ke moshpit ketika Belphegor mulai menyerang dengan blast beat dan tremolo turun-naik. Namun, ada satu yang pelajari dari penampilan Down For Life malam itu: musik metal tidak membutuhkan musuh untuk menjadi keras.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Lebaran Metal di Solo dan Lelaki Usia Senja yang Menolak Tua atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












