Gemerlapnya dunia pariwisata di Kabupaten Banyuwangi ternyata tidak hanya menyimpan cerita manis, ada kisah getir di dalamnya. Mojok mendengar cerita dari pengelola penginapan yang harganya ‘dipermainkan’ aplikasi pemesanan daring.
***
Industri pariwisata di Kabupaten Banyuwangi menghadapi tantangan baru dengan adanya perkembangan penyedia layanan akomodasi daring. Para penyedia layanan seakan berlomba-lomba memberikan potongan harga yang ugal-ugalan.
Imbasnya, pemilik akomodasi di Kabupaten Banyuwangi mengungkapkan keluhan dan ketidakpuasan mereka terhadap kerjasama dengan penyedia layanan akomodasi daring.
Menurut data beberapa aplikasi pesan akomodasi daring, harga sewa kamar di Banyuwangi memiliki variasi yang beragam. Terdapat tiga tipe yaitu harga murah di bawah Rp100 ribu, penginapan standar dengan harga sekitar Rp100-Rp400 ribu, dan akomodasi mewah atau eksklusif dengan harga di atas Rp400 ribu.
Saking penasarannya saya mencoba untuk menjajal tipe akomodasi termurah dengan harga di bawah Rp100 ribu yang berada di pusat Kota Banyuwangi pada Minggu 23 Juli 2023. Saya pun menjatuhkan pilihan menggunakan salah satu aplikasi dengan harga Rp74.375 meski di aplikasi lain ada yang lebih murah dengan akomodasi yang sama.
Sesampainya di penginapan ini, saya sangat terkejut karena kelengkapan fasilitasnya yang di luar ‘nurul’. Bayangkan saja dengan harga Rp74.375 kamarnya memiliki area yang luas. Fasilitas furniturenya lengkap dengan tempat tidur yang terjaga kebersihannya.
Di bagian kamar mandinya memiliki bathtub dan kloset duduk yang semakin meyakinkan jika harga yang dibayarkan terlalu murah.
Bisnis merugi di penginapan di Banyuwangi
Saya bertemu dengan pengelola akomodasi tersebut yang menyebut jika harga akomodasi di aplikasi terlewat murah. Sehingga keluhan utamanya mencakup harga kamar yang terlampau jauh dan besaran sharing pendapatan yang memberatkan. Akibatnya biaya operasional akomodasi tidak tertutupi.
Pemilik penginapan itu sebut saja, Bayu Wardana –bukan nama sebenarnya–yang memiliki villa di area tengah Kota Banyuwangi. Ia mengungkapkan bahwa harga kamar yang ditawarkan oleh penyedia layanan akomodasi daring jauh lebih rendah daripada tarif normal yang ia tawarkan.
“Harga kamar yang sangat murah di platform daring membuat kami harus bersaing ketat dengan akomodasi lain, bahkan dengan harga yang serba murah. Ini sangat merugikan bisnis kami,” kata Bayu dengan nada kecewa.
Menurut Bayu tak hanya harga kamar yang terlalu murah, para pemilik penginapan sepertinya juga mengeluhkan besaran sharing pendapatan yang ditetapkan oleh aplikasi daring dengan besaran 30% 70%. Meskipun memberikan akses lebih luas bagi para pemilik akomodasi untuk menjangkau calon tamu, tapi dengan harga sejatuh itu ia tidak dapat menutup biaya operasional.
Bayu menilai kerjasama dengan penyedia layanan daring juga membawa tantangan tersendiri lantaran berbagai sebab. Namun, kendala ini tidak hanya menjadi keluhan Bayu saja, ternyata para pemilik penginapan di Banyuwangi menghadapi tantangan yang sama.
“Rata-rata harga kamar yang terlalu murah menjadi persoalan pengelola akomodasi di Banyuwangi,” ujar Bayu sambil menunjukkan perbincangan di grup pengelola penginapan.
Besaran sharing pendapatan yang ugal-ugalan
Saat saya membaca sekilas perbincangan di grup tersebut keluhan utama para pemilik penginapan di Kabupaten Banyuwangi adalah harga kamar yang ditawarkan oleh penyedia layanan akomodasi daring. Kebanyakan aplikasi daring cenderung mematok harga kamar lebih rendah daripada tarif normal yang ditawarkan oleh akomodasi itu sendiri.
Hal tersebutlah yang dapat merugikan pemilik akomodasi, karena pendapatan mereka menurun akibat harga yang terlalu murah, terutama dalam situasi permintaan rendah.
Apalagi Kabupaten Banyuwangi sejak 2010 mewacanakan industri pariwisata. Tentu ini implikasinya sangat besar terhadap kehadiran banyak pemilik akomodasi di platform daring.
Lebih jauh Bayu menjelaskan tentang besaran sharing pendapatan yang tinggi membuat keuntungan bisnisnya menurun drastis. “Setelah kami membagikan pendapatan dengan aplikasi daring, kami seringkali kehilangan margin keuntungan yang seharusnya dapat menutupi biaya operasional,” terangnya.
Bagi Bayu, kebijakan sharing pendapatan dengan penyedia layanan akomodasi daring menjadi keluhan serius bagi para pemilik akomodasi. Sebagian besar aplikasi daring mengenakan biaya atau persentase 70% – 30% dari pendapatan kamar sebagai bagian dari layanan mereka.
Besaran sharing pendapatan yang tinggi itu dapat menjadi beban tambahan bagi pemilik akomodasi, terutama jika akomodasi tersebut memiliki margin keuntungan yang tipis.
“Inilah yang semakin menggerus kue pendapatan dari wisatawan yang datang,” terang Bayu.
Kamar penginapan penuh tetap bisa pesan di aplikasi
Masalah lain yang dihadapi oleh para pemilik penginapan di banyuwangi adalah pengelolaan ketersediaan kamar di aplikasi daring. Banyak pemilik akomodasi yang mengalami kesulitan dalam mengelola ketersediaan kamar secara efisien. Terkadang kamar yang sudah penuh justru masih tersedia di platform daring, padahal dalam kenyataannya sudah ter-booking.
Hal ini menyebabkan potensi salah paham pelanggan dan merugikan pengunjung yang sudah terlanjur datang ke penginapan. Bayu juga menyebut jika sistem pengelolaan ketersediaan kamar di platform daring dapat menyebabkan perbedaan pendapat antara pemilik dan pemesan penginapan. Ini karena tidak terjadi secara realtime. Pun, kerja sama dengan penyedia layanan aplikasi daring ternyata pemilik akomodasi tidak memiliki nilai tawar yang tinggi.
“Jika penginapan mengandalkan secara eksklusif pada platform daring, pemiliknya justru tidak bisa menentukan besaran harganya,” kata Bayu.
Ia mengingat betul bahwa kebanyakan rekan sejawatnya yang notabene pengelola penginapan di Banyuwangi banyak mengeluh terkait kerjasama dengan penyedia layanan akomodasi daring. Bahkan beberapa sudah ada yang memutuskan keluar dari kerjasama itu meskipun prosesnya kadang tidak bisa cepat.
Berharap aturan penginapan di Banyuwangi seperti ojek online
Menyadari tantangan itu, Bayu berharap sebagai pihak pengelola akomodasi agar ada perhatian serius dari pemerintah untuk bisa melakukan evaluasi terhadap regulasi dan kebijakan yang ada. Dan ada solusi yang lebih adil bagi para pemilik penginapan di Banyuwangi. Setidaknya bisa seperti yang pemerintah lakukan dalam penentuan harga ojek online.
Nantinya, lanjut Bayu, kebijakan dan regulasi yang berlaku di industri akomodasi daring memang menjadi perhatian khusus bagi pemerintah dan pelaku industri pariwisata. Perlu adanya kolaborasi antara pemerintah, pemilik penginapan, dan penyedia layanan akomodasi daring untuk mencari solusi yang win-win solution.
“Harapannya bisa menguntungkan bagi semua pihak dan tetap menjaga keberlangsungan industri pariwisata di Banyuwangi,” terangnya.
Tidak cukup itu, Bayu juga meminta agar pemerintah juga harus terus memantau perkembangan dan respons dari keluhan para pemilik akomodasi. Keberlanjutan dan pertumbuhan industri pariwisata di daerah menjadi tanggung jawab bersama.
Oleh karena itu, perlu pendekatan yang bijaksana dalam bekerja sama dengan penyedia layanan akomodasi daring. Harusnya keberadaan layanan tersebut justru mengoptimalkan potensi dan mengatasi tantangan yang dihadapi para pemilik penginapan di Kabupaten Banyuwangi. Bukan malah membuat rugi.
Reporter: Fareh Haryanto
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Jeritan Hati Pedagang Thrift Shop Batam Terancam Gulung Tikar
Cek berita dan artikel lainnya di Google News