MOJOK.CO – Bagaimana para calon sarjana merayakan kelulusan sidang skripsi di depan layar laptop karena efek corona? Apa traktiran dan syukurannya bakal online juga?
Bukan hanya soal pertanggungjawaban keilmuan, sidang skripsi secara tradisi sebenarnya juga menunjukkan apakah kamu adalah orang yang punya banyak teman semasa kuliah atau tidak.
Soalnya, kalau seorang mahasiswa sedang menjalani sidang, biasanya teman-temannya akan menunggu di depan ruang tempat ia memaparkan hasil penelitiannya tersebut.
Begitu si mahasiswa yang sidang keluar dari ruangan, ia akan langsung disambut dengan meriah oleh teman-temannya. Diberi kado, selempang, ucapan selamat, ucapan makian, dan segala macam.
Lalu diajak foto-foto di depan fakultas atau makan-makan di tempat tertentu untuk merayakannya. Kalau tidak mau, biasanya akan diarak untuk dibakar karena dianggap kelewatan pelitnya.
Tapi untuk hari-hari ini, terhitung sejak pandemi corona mulai mewabah di Indonesia, sensasi akan kesakralan dan tradisi sidang skripsi agaknya terasa berbeda dibandingkan dengan hari-hari biasa.
Bagaimanapun, corona datang dan mengubah banyak hal. Pemerintah mulai membatasi aktivitas di ruang publik dan orang-orang saling menjaga jarak satu sama lain demi memutus persebaran virus laknat tersebut. Sementara institusi pendidikan semacam universitas merespons hal ini dengan mengalihkan semua kegiatan akademik dari luring ke daring. Sidang skripsi, tak terkecuali.
Saya tertarik untuk mengulik cerita para mahasiswa yang melaksanakan sidang secara daring atau online dan bagaimana mereka merayakannya di tengah kondisi di mana orang lebih memilih berinteraksi lewat media sosial karena sedang memberlakukan social distancing dan physical distancing.
Orang pertama yang saya wawancarai adalah mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah, Universitas Airlangga, Surabaya, angkatan 2014. Namanya Miftahul Ulum (24). Ia berasal dari Dusun Talangan, Desa Gajahbendo, Kecamatan Beji, Pasuruan, Jawa Timur.
“Sidangku sebenarnya tanggal 12 Maret, tapi lalu bagian tata usaha jurusan bilang kalau ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan dan dengan cara yang tidak ditentukan pula. Wah, sempat pesimis aku,” ungkapnya.
Ia baru dikabari oleh bagian tata usaha mengenai sidang online selang seminggu kemudian. Begitu mengetahui bahwa ia akan menjalani sidang online, Ulum bergegas membeli aneka merek kartu perdana layaknya orang yang hendak membuka usaha konter.
Kartu-kartu itu Ulum coba satu per satu di rumah. Namun tak ada yang membuatnya yakin. Di sisi lain ia ingat bagian tata usaha di jurusannya juga sempat bilang kalau ujian tersebut mengalami gangguan teknis, risikonya kemungkinan ditunda lagi.
Bayangan bahwa ada kemungkinan Ulum akan gagal sidang hanya karena urusan internet cukup membebani pikiran. Maklum, Ulum sudah harus segera lulus mengingat ia telah menjalani kuliah selama hampir tujuh tahun. Sehingga kalau sidangnya ditunda lagi, Ulum bisa jadi mahasiswa bangkotan di kampus.
Sebetulnya, ada warung yang memiliki wifi di dekat rumah Ulum. Namun, mengingat bahwa pasien positif corona terus bertambah secara dramatis dan belum ada kepastian kapan wabah ini berakhir, pergi ke tempat umum semacam itu jelas berisiko. Untung pada saat itu Ulum ingat bila di rumah tantenya ada wifi.
Selasa 31 Maret 2020, Ulum sampai di rumah tantenya di Kelurahan Prigen, beberapa jam sebelum sidang dalam kondisi masih gugup.
“Kalau soal substansi skripsi sih nggak ada masalah. Tapi bayangan kendala teknis itu cukup membuat konsentrasiku sebelum sidang sudah pecah,” katanya.
Dan satu jam sebelum sidang dimulai, ia pun boker, lalu pergi ke sungai di dekat rumah tantenya, cuci muka, membaca, merokok dan melamun—semua itu Ulum lakukan semata-mata untuk menenangkan diri.
Untung saja kendala teknis dan kegagalan sidang skripsi yang Ulum bayangkan tak pernah terjadi. Sidang berlangsung lancar lewat media Zoom, meski sinyal internet sempat terputus di menit-menit awal presentasi, tetapi hal itu bisa diatasi dengan baik.
Secara personal, Ulum tidak merasa kesepian lantaran tidak ada teman-teman yang menunggu di depan ruang sidang dan memberinya hadiah selayaknya tradisi mahasiswa biasanya.
“Ini malah salah satu harapan kecilku,” ujarnya dengan nada agak kemaki.
“Aku nggak suka aja dengan tradisinya teman-teman setelah sidang kemudian keluar di fakultas kasih bunga, foto-foto, dan sebagainya. Nggak jelas dan Nggak ada substansi intelektualnya sama sekali. Jadi ya aku lebih suka begini sih. Cukup memenuhi harapan.”
Meski begitu Ulum tetap merayakan sidang skripsinya dengan cara live di Instagram ketika sidang berlangsung dan me-repost ucapan-ucapan selamat dari teman-temannya melalui IG story. Ulum melakukan itu untuk menghargai orang-orang yang telah mendukungnya. Sesudah itu, Ulum mengaku tidak ada perayaan yang lebih. Bahkan meski sedang di rumah bersama keluarga.
“Tapi kesannya cukup menarik sih dan aku kepikiran nanti kalau sudah S2 atau apa, aku akan menceritakan bahwa aku ini sarjana online atau bisa juga dibilang sarjana corona,” pungkas Ulum sembari terkekeh.
Sehari sebelumnya, sekitar tujuh ratusan kilometer dari rumah Ulum, pengalaman sidang online atau daring yang berbeda dialami juga oleh mahasiswi bernama Raissa Almira (21). Ia kuliah di jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, angkatan 2016.
Raissa melaksanakan sidang online di rumahnya, Bukit Golf, Cibubur, Jakarta Timur pada 30 Maret 2020. Berbeda dengan Ulum yang merasa terteror secara batiniah dengan kemungkinan-kemungkinan kegagalan teknis, Raissa mengaku tidak begitu mengkhawatirkan soal koneksi internet dan segala macamnya.
“Ujian saya prosesnya dua kali. Pertama saya bikin video presentasi lalu dikirim ke dosen. Kedua, tanya jawab dengan video call melalui WhatsApp. Semuanya lancar-lancar saja,” tutur Raissa.
Semula Raissa mengaku agak sedih dengan kebijakan sidang online.
“Yah, padahal udah siap baner dan lain-lain dari teman-teman tapi ending-nya begini. Terus nanti wisuda juga nggak ada, jadi gimana lagi disyukuri aja. Lagian kapan lagi bisa video call sama tiga dosen sekaligus dan ngobrolin hal yang berbobot,” jelasnya.
Lantaran tidak bisa berkumpul dengan teman-teman atau dinner ke luar gara-gara takut corona, Raissa akhirnya cuma merayakan sidang skripsi online-nya dengan berfoto ria dengan keluarga di rumah dan mengunggah foto tersebut di media sosial Instagram.
Saat itu Raissa mengenakan baju warna putih, celana hitam, selempang bertuliskan namanya, dan juga membawa bunga-bunga, dibuat seolah ia memang baru saja menghadiri sidang skripsi secara langsung di kampus.
Kampus boleh saja memberlakukan sistem sidang online agar para mahasiswanya agar sementara menjaga jarak dengan kerumunan dan tidak pergi ke ruang-ruang publik. Tapi di sisi lain, masih ada mereka yang tetap merasa sidang skripsi perlu dirayakan bersama teman-temannya sebagaimana merayakan pencapaian-pencapaian lain dalam hidup.
“Perayaan itu penting banget sih menurutku, tapi ya nggak usah gede-gede juga,” demikian komentar seorang mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Institut Agama Islam Negeri Surakarta, Angkatan 2015, Muhammad Taufiq (23).
Menurut laki-laki yang saban hari akrab disapa kue Moci ini, setelah berberat-berat pikiran mengerjakan skripsi, perayaan dapat membuat ia merasa lega.
Moci sendiri merayakan sidang online-nya dengan menraktir beberapa teman makan mi ayam. Kebetulan, ia menumpang di kios seorang teman yang ada koneksi internetnya ketika sedang melaksanakan sidang.
Di pertengahan presentasi, Moci disusul oleh lima temannya yang lain. Mereka datang membawa aneka makanan kecil dan berniat untuk memberi ucapan selamat kepada lelaki kelahiran 1997 tersebut. Begitu sidang selesai, langsung Moci mengajak mereka ke warung mi ayam di sebelah kios.
“Sebenernya takut corona juga sih, tapi nggak apa-apa, hitung-hitung ngelarisin tetangga,” kata Moci, “Aku juga bawa hand sanitizer kok kalau ada teman yang mau pakai.”
Di sisi lain, Moci sendiri merasa bersyukur karena orang-orang sedang sedang menjaga jarak dan menjauhi tempat-tempat umum maka tidak banyak teman yang datang ke sidang skripsinya. Sehingga ia bisa lebih hemat karena tak perlu menraktir teman-teman satu kelas sebagaimana di tradisi yang biasanya berlaku.
Selain itu, ia juga merasa pemahaman serta masukan yang diberikan oleh para dosen penguji terasa lebih mengena.
“Mungkin dikejar waktu juga karena makan kuota banyak kalau lama-lama, jadi dosen-dosen bikin jalannya sidang jadi tas-tes-tas-tes. Cepat dan poin utamanya bisa langsung tersampaikan sih,” kata Moci menambahi.
Corona memang datang dengan membawa rasa takut dan membuat orang menyingkir sementara dari tradisi-tradisi sosial yang ada. Tapi tetap saja, seganas apa pun virus itu, manusia masih memiliki ruang untuk berbangga dan berbahagia atas pencapaian-pencapain yang ia raih. Sekalipun yang diraihnya itu mendapat label “skripsi online” atau “sarjana video call”.
BACA JUGA Problematika Mahasiswa Eksistensialis Ketika Menyusun Skripsi atau LIPUTAN lainnya.