“Konten porno di sosial media itu nggak akan bisa dihilangkan,” terangnya sekira tiga tahun lalu saat dirinya menyambangi kantor tempat saya bekerja. Pernyataan yang tentu saja tak ingin dan memang tak bisa saya bantah, sebab pernyataan tersebut keluar dari mulut Teguh Arifiyadi, sosok yang boleh jadi merupakan salah satu orang yang paling otoritatif untuk berbicara tentang hukum siber dan konten porno di media sosial.
Saat ia mengatakan pernyataannya itu, ia masih berstatus sebagai penanggung jawab Cyber Drone 9, semacam divisi pengawasan konten internet negatif di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Divisi inilah yang punya andil besar terhadap tumbangnya akun-akun porno di berbagai kanal media sosial.
“Selama masih ada pelanggannya,” ujarnya sembari terkekeh dan melirik saya, “Dia akan terus bertahan dan melahirkan produsen-produsen konten baru.”
Tiga tahun berselang, saya dan Teguh masih cukup sering bertemu walau hanya sekadar melalui Zoom. Lelaki yang kini menjabat sebagai Plt Direktur divisi Pengendalian Aplikasi Informatika Kemenkominfo ini memang sering sekali mengadakan temu Zoom dengan mengundang kawan-kawan dekatnya untuk sekadar melepas kangen karena tak bisa bertemu akibat pandemi.
Setiap kali ngobrol dengan Teguh, isu yang paling sering saya tanyakan kepadanya tentu saja adalah tentang konten porno. Entah kenapa, saya seperti punya chemistri yang cukup bagus dengan apa saja yang ada hubungannya dengan hal-hal porno.
Menurut Teguh, pengendalian konten, utamanya konten-konten porno memang menjadi concern yang sangat besar bagi Kemenkominfo. Maklum saja, jumlah pengguna internet kian hari kian banyak, dan batasan usia penggunanya juga makin lama semakin tidak ideal. Jaman sekarang, anak SD pun sudah sangat bisa mengakses internet. Bahkan, tak sedikit orangtua yang memberikan ponselnya kepada anak balitanya untuk menonton YouTube sekadar agar ia tidak terus-terusan menangis.
Kepada saya, teguh mengatakan bahwa untuk melakukan kerja-kerja pengendalian konten itu, Kemenkominfo mengandalkan mesin pintar dengan kecerdasan buatan yang diberi nama ‘Ais’ (Mesin Pengais Konten Negatif). Pemanfaatan mesin tersebut menjadi senjata utama untuk mencari konten-konten porno di Internet utamanya di media sosial.
Mesin Ais sendiri merupakan mesin crawling yang dibuat oleh PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI). PT INTI mendapatkan proyek pengadaan mesin pengais konten negatif tersebut melalui mekanisme lelang yang diselenggarakan oleh Kemenkominfo pada 2017 lalu. PT INTI memenangkan lelang tersebut setelah mengalahkan setidaknya 71 peserta lelang lainnya dengan harga penawaran Rp 198 miliar dan harga terkoreksi Rp 194 miliar.
Mesin canggih tersebut kini berada di ruang Cyber Drone 9 Lantai 8 Gedung Kominfo dan dioperasikan 24 jam nonstop dengan sistem 3 shift.
Ais bertugas untuk meng-crawling konten-konten porno yang beredar di situs dan media sosial. Untuk konten yang beredar di situs-situs porno, konten-konten porno boleh dibilang sudah cukup terkendali sebab sudah banyak situs porno sudah diblokir oleh hampir semua ISP yang ada di Indonesia. Justru yang perlu diwaspadai adalah konten-konten yang beredar di media sosial, sebab hampir sebagian besar porsi konten porno disumbang oleh akun-akun di media sosial, utamanya akun-akun Open BO dan akun penjual obat kuat atau vitalitas.
Akun-akun Open BO itu, menurut Teguh, jumlahnya terus bertambah, sebab memang itu menjadi modus penipuan baru untuk menjaring korban-korbannya yang sebagian besar merupakan penikmat seks amatir.
“Akun-akun Open BO itu sebenarnya lebih banyak yang akun bodong, mereka menipu calon korban dengan meminta uang DP, bisa 300 ribu, bisa 200 ribu atau kirim pulsa. Biasanya yang baru pertama kali pakai yang kena. Para pemilik akun BO bisa jadi ya orang-orang di Lapas, atau memang milik orang-orang yang profesinya penipu berbasis online.”
Nah, dengan semakin banyaknya jumlah akun, maka semakin banyak pula jumlah konten porno di sosial media. Itulah kenapa keberadaan mesin Ais mutlak diperlukan.
Dengan kecerdasan buatannya itu, Ais sanggup meng-capture otomatis konten-konten porno yang ditemukan.
“Ais ini bisa membedakan mana gambar porno yang memang porno, dan mana gambar porno yang hubungannya dengan informasi kesehatan,” ujar Teguh.
Per harinya, mesin Ais mampu mengumpulkan ratusan ribu capture terhadap akun-akun atau situs yang berkaitan dengan konten pornografi.
“Setelah di-crawling, kemudian dianalisis, lalu keluarlah hasilnya. Hasil inilah yang nantinya akan dijadikan rekomendasi untuk dilaporkan ke bagian komunikasi Kominfo untuk selanjutnya diteruskan ke pihak platform media sosialnya dan diambil tindakan.”
Proses analisis dilakukan oleh para verifikator yang memang sudah dilatih untuk dapat menentukan sebuah konten memang layak dikatakan sebagai konten porno atau tidak.
“Saat ini, jumlah verifikatornya ada sekitar 120-an orang, Gus,” kata Teguh.
Tahun 2019 silam, saya sempat bertemu dengan para verifikator ini di Bogor. Saat itu, saya diminta untuk berbagi cerita tentang penulisan-penulisan humor seputar politik. Teguhlah yang meminta saya untuk berbagai cerita kepada para verifikator yang notabene merupakan anak-anak buahnya itu.
“Boleh jadi, cuma mereka orang di Indonesia yang nggak berdosa karena nonton bokep,” seloroh Teguh saat itu.
Selain mengandalkan mesin Ais, Kemenkominfo juga memberdayakan penyaringan konten porno melalui mekanisme pelaporan masyarakat. Kemenkominfo punya kanal bernama aduankonten.id sebagai ruang yang bisa digunakan oleh masyarakat yang ingin melaporkan konten-konten porno yang mereka temukan di internet.
Tak berbeda jauh dengan Ais, mekanisme pelaporan masyarakat ini juga menjaring konten-konten porno yang nantinya bakal dianalisis oleh tim verifikator.
“Ada tim khusus analis pelaporan masyarakat,” ujar Teguh.
Metode lain selain menggunakan mesin Ais dan laporan masyarakat adalah melalui patroli siber secara mandiri. Namun metode ini memang sudah sangat jarang dilakukan utamanya sejak adanya mesin Ais.
“Sampai saat ini, setidaknya sudah ada 1 juta situs dan 700 ribu akun yang berhasil di-take down,” terang Teguh.
Batas pornografi yang dipakai oleh Kemenkominfo dalam menjaring konten adalah undang-undang pornografi. “Misal ada alat kelamin, persenggamaan menyimpang, informasi yang berkaitan dengan pencabulan. Patokan yang paling mudah sebenarnya adalah ‘mengesankan ketelanjangan.”
Untuk konten yang tipis sekali batas pornografinya, misal yang berhubungan dengan karya seni, Kemenkominfo biasanya meminta pertimbangan dari para ahli. Biasanya sosiolog atau ahli komunikasi. “Sebab urusan pornografi ini juga berhubungan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Bagi satu orang, misalnya, mengunggah foto sensual dan seksi itu adalah bentuk kebebasan berekspresi, namun bagi yang lain belum tentu.”
Konten-konten negatif yang beredar di Internet dan berhasil diais oleh Kemenkominfo untuk diproses sesuai dengan porsinya. Untuk konten yang berada di situs, maka bisa langsung diblokir melalui ISP, sedangkan untuk konten porno yang beredar di media sosial, Kemenkominfo bisa langsung memberikan daftar konten/akun untuk direkomendasikan kepada platform media sosial terkait untuk kemudian di-take down.
Semua rekomendasi dari Kemenkominfo yang diberikan kepada platform selalu ditindaklanjuti oleh pihak platform media sosial. Untuk urusan pornografi, pihak Kemenkominfo dan platform media sosial memang satu suara. Perselisihan keputusan terkait konten antara Kemenkominfo dan pihak platform, menurut Teguh, biasanya hanya terjadi ketika konten tersebut berkaitan dengan ujaran kebencian yang berhubungan politik.
Walau sedari awal semua sepakat bahwa konten porno tak akan bisa dihilangkan, namun menurut Teguh, tetap harus ada yang mengontrol.
“Memang jumlahnya nggak bakal habis. Sudah diblokir nanti juga tinggal bikin lagi. Walau begitu, tetap harus ada upaya pemblokiran, sebab kalau tidak, ya malah semakin tumbuh. Semakin banyak.” Pungkas sosok yang menjadi saksi ahli dalam kasus penyebaran kabar bohong Ratna Sarumpaet dan kasus pencemaran nama baik melalui ujaran “idiot” yang melibatkan Ahmad Dhani itu.
[Sassy_Social_Share]