Saling meninggalkan setelah hidup bersama
Jose tak berpikir jauh kalau suatu saat pacarnya akan meninggalkannya, misalnya untuk mencari pasangan hidup yang pasti-pasti: Pasti mengajak menikah dan membangun rumah tangga. Tidak sekadar tidur dan hidup bareng.
Yang dia tahu, saat ini hubungannya masih baik-baik saja. Pertemuan Jose dan pacarnya memang sudah tidak seintens zaman sama-sama masih jadi mahasiswa di Malang. Karena setelah lulus, sang pacar memilih pulang ke kampung halamannya di Kediri, Jawa Timur.
Hanya saja, setiap akhir pekan atau libur panjang, sang pacar biasanya akan datang ke Malang untuk menemui Jose. Sang pacar masih menginap di paviliun yang mereka gunakan untuk kohabitasi sejak masa mahasiswa di Malang dulu.
“Tapi memang ada temenku, awalnya kohabitasi, tapi akhirnya berpisah. Ya biasa saja. Nggak ada yang aneh,” tutur Jose.
Karena memang tujuannya seperti itu. Kohabitasi alias kumpul kebo memungkinkan sepasang muda-mudi untuk tinggal bareng dan berpisah tanpa dibayangi kerepotan-kerepotan prosedural. Kalau sudah menikah, berpisah akan menjadi rumit karena harus menjalani serangkaian proses perceraian.
“Sementara, di tengah hubungan, beda prinsip dan visi itu niscaya terjadi menurutku. Pernikahan itu mengikat dan jadi nggak sehat. Jika sudah nggak satu visi, kenapa masih harus melanjutkan rumah tangga? Nanti malah saling menyakiti. Sedangkan kalau berpisah (bercerai), stigma moral-sosial-agama menghantui,” pungkas Jose.
Kohabitasi mahasiswa Malang: simulasi berumah tangga
Agak sulit menemukan perempuan yang terbuka bercerita perihal kehidupan kohabitasi yang mereka pilih. Tapi dengan jaminan penyamaran identitas dan hak untuk tidak menjawab beberapa pertanyaan, Vanya (23), bukan nama asli, mau berbagi dengan Mojok, Selasa (22/7/2025) malam.
Vanya saat ini masih menjadi mahasiswa aktif di Malang. Dia mengaku sudah sejak semester 3 memilih kohabitasi dengan sang pacar yang asal Lampung.
“Kohabitasi yang kami jalani jangan diasosiasikan kami punya kebebasan tanpa tanggung jawab ya. Kami tinggal bareng, tapi ada batas-batas tertentu yang tidak kami langgar,” jelas Vanya.
Mangkanya Vanya lebih nyaman menyebutnya kohabitasi, bukan kumpul kebo. Kumpul kebo itu jika sudah terjadi hubungan yang melewati batas (anggap saja hubungan tubuh layaknya suami istri).
Vanya menyebut kohabitasi yang dia jalani adalah simulasi untuk berumah tangga. Karena dia dan pacarnya toh sudah berkomitmen untuk menikah kelak. Jadi dengan kohabitasi tersebut, mereka mencoba berlatih memecahkan masalah dalam rumah tangga, manajemen keuangan, upaya saling mengenal lebih dalam. Intinya mereka berlatih membangun sebuah rumah tangga yang ideal.
“Misalnya, pacarku nggak bisa masak, ya dia belajar masak kalau pagi-pagi aku masakin buat dia. Kami juga sering salat berjamaah bareng. Buka puasa dan sahur bareng. Terus sama-sama ngatur keuangan, nabung buat bekal nikah kelak,” kata Vanya.

Hadapi razia dan konsekuensi hukum
Vanya menyadari, konsep tinggal bersama sebelum menikah masih merupakan hal tabu. Di Malang sendiri pun sebenarnya dilarang melalui Perda Kota Malang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Larangan Tempat Pelacuran dan Perbuatan Cabul, Perda Kota Malang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Usaha Pemondokan dan Perda Kota Malang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Ketertiban Umum dan Lingkungan.
Sementara secara nasional, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 pasal 412 ayat 1 disebutkan, “Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.” Artinya, selain rentan razia, praktik ini juga berkonsekuensi hukum bagi pelakunya.
“Haha nggak kepikiran bakal bagaimana kalau kena razia. Tapi yang jelas, kami punya argumen, kalau kami nggak berbuat yang nggak senonoh,” tekan Vanya.
Kumpul kebo hingga open BO
Mojok beberapa kali menerima cerita perihal “betapa bebasnya” kehidupan mahasiswa di Malang. Dan kumpul kebo memang bukan barang baru di kota ini.
Paling baru, merujuk laporan Detik Jatim, sebanyak 31 pasangan muda (mayoritas mahasiswa) di Malang—persisanya di Lowokwaru—terjaring razia oleh Satpol PP pada Maret 2025 lalu. 5 di antaranya disebut melakukan praktik open BO. Sementara sisanya kumpul kebo.
Dari hasil pendataan, diketahui mayoritas pasangan tersebut merupakan mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di luar Kota Malang, seperti Kediri, Lampung, Sumatera, Lamongan, dan Solo.
Risiko buruk yang harus diperhitungkan
Dalam artikelnya, Yulinda membeber rentetan dampak buruk dari praktik kohabitasi alias kumpul kebo. Terutama bagi perempuan dan anak karena tidak adanya ikatan hukum.
“Jika pasangan kohabitasi berpisah, tidak ada aturan hukum yang mengatur pembagian harta, hak nafkah, warisan, hingga hak asuh anak,” jelas Yulinda.
Kohabitasi, lanjut Yulinda, juga dapat menurunkan kepuasan hidup dan memicu masalah kesehatan mental. Sebab, praktik ini tidak menawarkan komitmen dan kepastian masa depan yang jelas.
Merujuk data PK21 yang Yulinda nukil, tercatat sebanyak 69,1% pasangan kohabitasi pernah mengalami konflik verbal, 0,62% mengalami konflik serius seperti pisah ranjang, dan 0,26% mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Sementara bagi anak-anak yang lahir dari hubungan ini, akan sangat rentan mengalami gangguan tumbuh kembang hingga mengalami tekanan emosional akibat stigma sosial.
“Anak bisa merasa tidak diakui dan mengalami kebingungan identitas, bahkan mendapat diskriminasi dari keluarga sendiri karena statusnya dianggap ‘anak haram’,” beber Yulinda.
Risiko-risiko tersebut, sepatutnya diperhitungkan sebelum pasangan muda memilih hidup dengan model kohabitasi.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Pesan Sederhana Ibu untuk Anak yang Merantau (Jadi Mahasiswa), Kerap Diabaikan Berujung Penyesalan Abadi di Kemudian Hari atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












