Posisi “Nanggung” Jurusan Filsafat: Terjebak Kejumudan, Tereduksi, dan Negara Tak Sediakan Industrinya

Posisi nanggung jurusan Filsafat di tengah turunnya minat mahasiswa baru MOJOK.CO

Ilustrasi - Posisi nanggung jurusan Filsafat di tengah turunnya minat mahasiswa baru. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Tren angka (calon mahasiswa baru) peminat jurusan Filsafat UGM disebut menurun setelah mengalami lonjakan tajam di tahun 2021 sejumlah 1073 orang. Menurut data dari Good Stats, kian tahun peminat jurusan Filsafat UGM kian menurun dengan 743 peminat di tahun 2024. Sementara data SNBT 2025, peminatnya turun lagi menjadi 535.

Meski begitu, berdasarkan data tempo.co, UGM tetap patut bangga. Sebab Filsafat UGM setidaknya telah tersingkirkan dari jajaran jurusan sepi peminat.

Posisi nanggung antara hilangnya label “tak laku” sekaligus menurunnya pendaftar pada Filsafat UGM jadi tantangan baru bagi institusi Filsafat UGM sendiri. Tentu  juga bagi institusi Filsafat di kampus-kampus lain.

Penyangsian relevansi

Ini artinya, beban Fakultas Filsafat untuk mampu mengembangkan ilmu Filsafat di Indonesia kian nyata. Kendati demikian, muncul pertanyaan baru: Apakah Fakultas Filsafat–di berbagai kampus–sebagai institusi sudah benar-benar punya kapabilitas untuk itu?

Penyangsian relevansi jurusan filsafat acap kali hadir, tapi hal ini sebetulnya bukan sesuatu yang mengherankan. Rodinal Khair (Odi), dosen Fakultas Filsafat UGM mengemukakan bahwa filsafat secara keilmuan tidak mungkin tertinggal. Namun, secara metodologi memang masih berada di baris belakang.

Menurutnya, hal ini tampak dari mahasiswa filsafat yang gagap ketika harus melakukan penelitian lapangan.

“Sebenarnya (di beberapa institusi Filsafat) ada mata kuliah yang harusnya menaungi materi penelitian, tapi ternyata juga nggak efektif dan signifikan, karena mahasiswa masih sering kebingungan dengan teknis penelitian,” jelas Odi, sapaan akrabnya, saat Mojok hubungi belum lama ini.

Kemapanan “dapur” jurusan Filsafat sebagai institusi

Menurut Odi, sejumlah institusi Filsafat memang tidak terlalu mengakomodir mata kuliah pengetahuan praktikal. Padahal pengetahuan tersebut penting untuk menunjang kompetensi mahasiswa.

Selain itu, kurikulum jurusan Filsafat di sejumlah kampus memang harus terus dikembangkan. Sebab, Filsafat sebagai induk ilmu juga harus berkembang meniti zaman.

Bagi Odi, pengetahuan (misalnya) perihal data analysist yang kini jadi basis penting, seharusnya dapat dihadirkan di ruang kelas.

Jangankan merombak kurikulum…

Sayangnya, kerap kali institusi Filsafat terkesan “mapan” dengan dapurnya. Jangankan merombak kurikulum, banyak mahasiswa jurusan Filsafat–di sejumlah kampus–mengeluhkan materi PPT dosen yang masih terjebak di tahun 2000-an.

Pada beberapa kasus, para mahasiswa tentu mengkritik cara ajar dosen yang terkesan sekadar mendikte dan berpaku pada buku tertentu.

Maka, Odi merasa perlu adanya pengembangan kompetensi dari dosen di jurusan Filsafat sendiri. Terutama bagaimana menyajikan Filsafat sebagai benar-benar induk ilmu–yang semestinya terus relevan dengan kebutuhan zaman.

“Memang tampaknya masih panjang perjalanan Filsafat sebagai institusi untuk berevolusi, yakni mengevaluasi lagi dapurnya dan terus berproses serta berkembang. Makanya banyak yang bilang untuk hapuskan saja filsafat, tapi tunggu dulu…,” tutur Odi

Ramai-ramai “membunuh” induk ilmu

Cara berpikir pragmatis (kuliah semata untuk bekerja) telah menghantarkan masyarakat untuk menghapuskan jurusan Filsafat. Upaya–atau paling tidak simtom upaya–meniadakan filsafat ini eksis tidak hanya dalam masyarakat umum saja, tapi juga lingkungan akademik.

“Lagi-lagi, filsafat ini posisinya ngambang, sebenarnya di ilmu sosial humaniora dianggap nggak, sih?”

Hal itu bukan tanpa sebab. Odi memberi contoh sederhana terkait sejumlah fakultas lain yang seolah mendiskreditkan jurusan Filsafat. Contohnya begini saja: civitas fakultas atau jurusan lain membuat konferensi bertemakan filosofis, tetapi jurusan Filsafat tidak dilibatkan sama sekali. Ini jadi sebuah representasi bahwa filsafat belum benar-benar dianggap, entah secara ilmu atau institusi.

Masih banyak yang belum benar-benar menganggap filsafat eksis, meski ia disebut sebagai induk ilmu. Layaknya wacana penghapusan jurusan filsafat yang dinilai Odi naif sekali.

“Silakan kalau filsafat mau dihapuskan dan sekadar dimasukkan dalam kurikulum jurusan praktis lainnya, pertanyaannya: siapa yang jaga “gawang” induk ilmu ini?” Ujar Odi retoris.

Tidak melulu soal praktis

Lagi-lagi kacamata pragmatis, menurut Odi, pelan-pelan membunuh ilmu Filsafat. “(Padahal) tidak semuanya melulu soal praktis. Kalau semua praktis, ya bubar Filsafat,” ungkapnya kesal.

Odi memberi contoh misalnya dalam konteks metaphilosophy. Itu bukanlah pengetahuan yang berguna secara praktikal. Namun, hanya karena tidak praktis, bukan berarti ia tidak penting.

Serupa dengan Fisika Kuantum, tidak seluruhnya berguna praktis. Apabila membahas teori dan meta narasi fisikanya, maka “tidak ada sisi-sisi praktikalnya sama sekali.”

Kendati demikian, bukan berarti keseluruhan utuh ilmu Filsafat tidak praktis. Sebab, terdapat cabang filsafat bernama applied philosophy, yakni cabang filsafat dengan pendekatan praktis sehari-hari. Misalnya pertanyaan moralitas tertentu seperti isu aborsi, eutanasia, moralitas seksual, hingga berbagai isu sosial politik lainnya.

Maka dari itu, antara abstrak dan praktisnya Filsafat, keduanya menurut Odi haruslah seimbang dan dipertahankan. Sebab, ketika seluruh Filsafat menjadi praktis, hanya akan mengaburkan batasan dengan ilmu lain. Setidaknya begitulah elaborasi Odi.

Yang berdegung nyaring di telinga mahasiswa jurusan Filsafat 

Lantas, bagi seorang mahasiswa jurusan Filsafat, suara-suara sumbang “pembunuhan” Filsafat cukup berdegung nyaring di telinga. Terlebih bagi mahasiswa tingkat akhir yang harus lekas mangkat: merampungkan skripsi.

“Ayo cepet lulus, keburu Filsafat dihapus,” canda Hasby, mahasiswa Filsafat UGM, menirukan temannya.

Merespons kesadaran masyarakat yang belum benar-benar melek dengan ilmu Filsafat, Hasby tak terlihat panik. Ia berpendapat sebenarnya terdapat solusi menyikapi kondisi itu. Salah satu contohnya: Field Philosophy, yakni jenis pendekatan terapan interdisipliner guna penyelidikan filosofis–tidak mengandalkan penalaran teoretis semata–yang berupaya memahami persoalan melalui penelitian empirik, interaksi individu, budaya, dan konteks tertentu.

Biasanya, praktisi Field Philosophy menggunakan metode observasi, wawancara, dan analisis naratif, sehingga dapat menguak nilai tersembunyi dari perdebatan.

Negara tak menyediakan industrinya

Hasby mengungkapkan bahwa Filsafat bisa praktis. Hanya saja industri Filsafat di Indonesia memang masih belum terbentuk mapan. Dengan menengok Field Philosophy, seharusnya bisa menjadi gambaran bahwa filsafat dapat di-eksplisitkan di dunia kerja.

“Di sana, kesadaran filsafat benar-benar hadir. Misalnya ada perusahaan pertambangan dengan mitra bidang lain, lulusan-lulusan filsafat dihadirkan di antara kedua pihak itu sebagai mediator,” jelas Hasby.

Ia mengelaborasi kesadaran masyarakat yang telah menganggap lulusan Filsafat punya kapabilitas untuk memahami jalan pikir masing-masing pihak perusahaan.

Namun, hal ini tampaknya akan jadi angan-angan belaka, atau setidaknya impian yang entah kapan menjadi nyata. Pasalnya, selain kesadaran yang harus dibangun di tengah-tengah masyarakat, negara, bagi Hasby, harus turut serta.

“Seharusnya negara turut serta memfasilitasi kesadaran itu dengan membentuk industri Filsafat sedemikian. Tapi lagi-lagi, apakah negara sendiri punya kesadaran itu?” Pungkas Hasby.

Tulisan ini diproduki oleh mahasiswa program Sekolah Vokasi MOJOK periode Juli-September 2025. 

Penulis: Melvinda Eliana
Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Ngaji Filsafat Masjid Jendral Sudirman Jogja Sulit Ditiru Masjid Manapun, Ngaji-Ngaji Lain di MJS Sendiri Saja Sulit “Bersaing” dengan Fahruddin Faiz atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

Exit mobile version