Mata Air Abadi di Lereng Muria: Terus Mengalir dalam Pengkeramatan, Jadi Warisan Hidup untuk Anak-Cucu

Ilustrasi - Air keramat dan abadi di lereng Muria, Rejenu, Desa Japan, Kudus. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Tiga ceruk berjejer di bawah naungan pondokan di tengah belantara lereng Muria. Persisnya di perbukitan Rejenu, Desa Japan, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Di dalam masing-masing ceruk, sumber air mengucur tanpa henti sejak abad ke-15 Masehi.

Selama berabad-abad—hingga sekarang—sumber mata air itu tak pernah habis. Bahkan kerap menjadi jujukan orang luar Kudus kala kekeringan melanda daerah mereka.

Tak hanya itu. Orang-orang yang datang umumnya membawa niat atas hajat masing-masing. Sebab, sumber mata air di Rejenu, Kudus, itu dipercaya memiliki beragam khasiat. Mulai dari penyembuhan, membuang bala, bahkan melancarkan rezeki.

Air wudlu yang mengucur dari tongkat

Tak ada yang tahu pasti dari mana asalnya. Leluhur warga Rejenu, Kudus, mengenalnya dengan nama “Syekh Hasan Syadzili”.

Konon, Syekh Hasan Syadzili adalah murid Sunan Muria yang sejak abad ke-14 Masehi berdakwah di kawasan Gunung Muria. Setelah dirasa cukup ilmu, Syekh Hasan Syadzili diutus Sunan Muria atau yang bernama asli Raden Umar Said, untuk berdakwah di sisi utara Muria.

Lantas tiba lah ia di perbukitan Rejenu. Mirip seperti sang guru (Sunan Muria), Syekh Hasan Syadzili lalu membangun semacam surau sederhana di area atas perbukitan. Dari situlah aktivitas dakwahnya dimulai.

Kala surau sudah berdiri, Syekh Hasan Syadzili lalu menancapkan tongkatnya di sebuah titik tidak jauh dari surau. Saat tongkat dicabut, mengucur lah sumber mata air yang kemudian ia gunakan untuk berwudlu. Siapa nyana, sumber mata air tersebut mengucur abadi (setidaknya hingga kini).

Tak ada catatan historis perihal Syekh Hasan Syadzili. Tapi setidaknya begitulah cerita tutur yang diyakini warga setempat.


Baca juga tulisan Ekspedisi Tirtamuria lainnya: 

  1. Pohon Beringin, “Si Angker” yang Menyelamatkan Sumber Mata Air di Lereng Muria
  2.  Menghidupkan Kembali Air Muria

Jadi sumber air keramat di Rejenu, Kudus

Untuk mencapai sumber mata air itu, harus melewati jalanan sempit, naik-turun, dan berkelok. Tak heran jika di titik awal keberangkatan, para tukang ojek berjejer menawarkan jasanya.

Rasanya agak berdebar memang saat membonceng motor menuju sumber mata air. Dengan jalur seperti itu, tukang ojek setempat masih bisa memacu motor dengan kecepatan agak tinggi.

Ojek tak bisa mengantar sampai titik lokasi sumber mata air. Peziarah atau pengunjung masih harus menapaki anak-anak tangga berlumut di tengah hawa sejuk, pohon rindang, dan kicau burung.

Anak tangga menuju sumber mata air Air Tiga Rasa di lereng Muria, Desa Japan, Kudus MOJOK.CO
Anak tangga menuju sumber mata air Air Tiga Rasa di lereng Muria, Desa Japan, Kudus. (Eko Susanto/Mojok.co)

“Kalau orang datang ke sini, umumnya untuk dua hal. Kalau tidak ziarah ke makam (Syekh Hasan Syadzili) ya ke air tiga rasa,” ujar Sahari (57), salah satu pengurus Yayasan Makam Syekh Syadzili Rejenu (YMSSR) yang saya temui siang itu, Rabu (16/07/2025) di area makam Syekh Hasan Syadzili.

Sumber mata air itu kemudian memang dikenal dengan nama “Air Tiga Rasa Rejenu”, karena menyuguhkan rasa yang berbeda di setiap ceruk. Sisi itu juga lah yang membuatnya makin dikeramatkan, selain karena folklore bekas wudlu Sykeh Syadzili.

Saat jeda obrolan, Sahari mengajak saya melangkah menuju pondokan Air Tiga Rasa Rejenu. Lokasinya berada di bawah pohon-pohon besar nan rindang. Di masing-masing ceruk air, disediakan gayung dan gelas-gelas kecil untuk menciduk air.

Mengundang para peziarah dari luar Kudus

Seturut keterangan Sahari, Air Tiga Rasa Rejenu baru ditemukan kembali oleh warga pada 1920-an. Di tahun-tahun tersebut, untuk mencapai sumber mata air dan makam harus melewati jalan setapak dengan vegetasi rapat.

“Jadi tantangannya kalau ke sini berhadapan dengan pacet dan ular,” kata Sahari.

Selain tiga sumber mata air dengan tiga rasa, mata air itu juga mengucur menjadi sebuah sendang. Lantaran erat riwayatnya dengan Syekh Hasan Syadzili, leluhur warga Rejenu, Kudus, lantas meyakininya sebagai sumber air keramat penuh khasiat.

Sahari (57) dari Yayasan Makam Syekh Syadzili Rejenu (YMSSR). (Eko Susanto/Mojok.co)

“Dulu warga mandi di sendang. Diniati menghilangkan sengkala (nasib buruk) dalam diri. Buat kesembuhan penyakit juga. Tidak jarang orang tua memandikan anak ke sendang biar tidak nakal,” jelas Sahari.

Karena khawatir air makin kotor karena dipakai berendam, alhasil sendang itu dihurug. Hanya disisakan tiga sumber mata airnya yang ditampung dalam ceruk. Itu seiring dengan pembangunan pondokan dan pengecoran jalan pada awal 2000-an.

“Terus dari mulut ke mulut orang luar Kudus dengar. Akhirnya datang peziarah. Lalu jadi jujukan wisata religi. Kemudian ada warung-warung buka di sini. Ojek juga narik sampai sini,” terang Sahari.

“Selain minum di tempat, peziarah juga membawa pulang pakai botol air mineral bahkan galon,” sambung Sahari. Ramai-ramainya peziarah yang datang umumnya di akhir pekan.

Sumber mata air “Air Tiga Rasa” di lereng Muria Rejenu, Desa Japan, Kudus. (Eko Susanto/Mojok.co)

Bahkan, saking tidak pernah habis, setiap musim kemarau melanda, ada saja orang dari luar Kudus—dari Demak misalnya—datang untuk membawa air dalam jumlah bergalon-galon untuk kebutuhan pokok sehari-hari.

Jadi tak heran, ketika berjalan meniti anak tangga menuju sumber mata air, pemandangan yang tersaji adalah deretan warung yang, selain menjual makanan ringan, juga menjual botol dan galon kosong. Untuk mengakomodasi peziarah yang kekurangan atau tidak membawa botol atau galon sendiri.

Ragam rasa, ragam khasiat sumber mata air Rejenu, lereng Muria

Setiap ceruk memiliki rasa air beragam: soda, asam-pahit, bahkan ada yang menyebut seperti rasa kelapa muda. Saya sempat mencicipinya. Lidah saya hanya berhasil mencecap rasa soda dan sensasi asam tapi sedikit pahit.

Saya hanya kesulitan mengidentifikasi rasa kelapa yang dimaksud. Konon, kata Sahari, perubahan rasa bisa terjadi sesuai dengan niat si peminum.

“Kalau warga sini percaya, yang paling berkhasiat yang ceruk tengah. Kalau orang luar percaya ketiganya punya khasiat. Jadi peziarah yang datang pasti meminum ketiganya,” terang Sahari.

Seorang pengunjung yang hendak membawa pulang Air Tiga Rasa Rejenu, Desa Japan, Kudus. (Eko Susanto/Mojok.co)

Sebagai ganti sendang yang dihurug, pihak yayasan lalu mengalirkan sumber air ke kamar mandi yang dibangun di sekitar sumber air tersebut. Kamar mandi itu digunakan untuk mandi peziarah demi khasiat yang lebih paripurna.

Tidak ada komersialisasi. Setiap yang mandi atau mengambil air tidak dipungut biaya retribusi. Hanya memang diharap tidak mengotori.

Ancaman matinya sumber mata air tetap membayangi lereng Muria

Saya tak sendiri saat mengeksplorasi Air Tiga Rasa Rejenu, Kudus. Saya juga dibersamai oleh Restu (32), guide lokal.

Restu mengamini bahwa Air Tiga Rasa Rejenu memang tak habis-habis. Namun, ia sadar, tetap ada potensi sumber air itu akan mati jika lingkungan sekitar tidak dijaga sebaik-baiknya.

Misalnya, ketika marak penjarahan pohon-pohon di hutan pada 1998, hutan di kawasan Rejenu juga ikut dibabat. Masa-masa setelahnya pun masih kerap ada orang yang datang mencuri pohon.

“Jadi yang sekarang didorong, jangan menebang atau merusak pohon di dekat mata air. Itu bisa mengancam keberadaan si mata air. Kalau sudah begitu, manusia sendiri yang rugi,” ujar Restu.

Pencurian kayu memang sudah tidak terdengar lagi seiring waktu. Namun, Restu wawanti-wanti betul, agar warga atau peziarah punya kesadaran yang sama. Tidak merusak alam atau mengotorinya. Ia percaya, alam sudah memanjakan manusia dengan memberi limpahan udara dan mata air. Maka sudah selayaknya dijaga.

Air Tiga Rasa bukan satu-satunya mata air di Desa Japan. Masih ada sumber mata air lain. Semua terjaga lantaran kesadaran menjaga alam. Restu percaya itu.

Pohon-pohon besar tumbuh: sumber mata air hidup, manusia bisa hidup

Dua bulan kemudian, saya kembali mengunjungi Air Tiga Rasa Rejenu, Kudus. Tepatnya pada Rabu (9/10/2025) pagi. Kali itu saya ditemani oleh teman-teman dari Yayasan Penggiat Konservasi Alam (PEKA) Muria.

Ketua Yayasan PEKA Muria, Teguh Budi Wiyono menjelaskan, Air Tiga Rasa Rejenu bisa memperoleh “keabadian” berkat dikelilingi pohon-pohon besar. Sebut saja pranak (Castanopsis acuminatissima) dan beringin bergat.

Sebagaimana kajian Shengyun Yuan di International Journal of Molecular Sciences (2024), pohon-pohon besar—khususnya untuk konteks genus ficus (beringin)—memiliki kemampuan fisiologis menyerap dan menahan air di lingkungan tropis. Karena memiliki jaringan akar udara yang berperan sebagai “pompa alami”, menarik air dari lapisan bawah menuju permukaan.

“Di luar urusan keramat, akar-akar pohon itu juga berpengaruh dalam memberi sensasi rasa. Walaupun bisa juga tiga rasa itu berangkat dari sugesti,” kata Teguh.

Dari sisi kiri, Teguh Budi Wiyono diikuti Triyanto Soetardjo dari Yayasan PEKA Muria. (Eko Susanto/Mojok.co)

Merangkum kajian dari beragam sumber, ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi rasa air. Antara lain, akar pohon, batuan yang dilalui air, hingga keberadaan mikroorganisme di sumber air tersebut.

Bagi Teguh, tak ada masalah di sisi itu. Sepanjang pengkeramatannya tetap diiringi kesadaran untuk tetap menjaganya.

Mata air untuk anak-cucu

Teguh menyebut, jika mau naik ke sisi atas lagi dari Air Tiga Rasa Rejenu (menuju Puncak Argopiloso), masih ada sumber mata air yang masih mengucur. Yayasan PEKA Muria terus berupaya menjaga titik-titik air itu agar tetap hidup.

Rejenu sendiri menjadi satu di antara lereng Muria yang jadi sasaran penghijauan Yayasan PEKA Muria. Penanaman itu rutin berlangsung setiap tahun menjelang musim hujan.

“Sumber mata air itu dijaga untuk anak-cucu kelak. Kita sekarang bisa menikmati air. Tapi jika sumber air mati, anak-cucu kita kelak yang terancam,” kata Teguh. Begitu juga dengan keberlangsungan ekosistem flora-fauna lain.

Tulisan ini merupakan serial Ekspedisi Tirtamuria untuk edisi Oktober 2025

Reporter: Ahmad Effendi dan Muchamad Aly Reza
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Mangrove, Pagar Laut yang Menjadi Harapan Warga Pemalang agar Terlindung dari Rob dan Abrasi atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version