13 belas kampus di Indonesia masuk dalam zona risiko integritas penelitian. Lima di antaranya masuk zona merah alias red flag, menunjukkan betapa rendahnya kualitas riset di Indonesia.
***
Dunia akademik Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Ia menghadapi tantangan serius menyusul terungkapnya masalah integritas riset di sejumlah perguruan tinggi. Sebuah laporan terbaru dari Research Integrity Index (RI²), yang digagas Profesor Lokman Meho dari American University of Beirut, mengidentifikasi 13 kampus di Indonesia masuk dalam daftar risiko integritas riset.
Temuan ini memicu seruan untuk introspeksi mendalam dan perbaikan sistemik di lingkungan akademik nasional, mengingat obsesi kampus terhadap reputasi internasional kini dipertanyakan integritasnya.
Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana Prakasa, mengatakan bahwa temuan ini berangkat dari beberapa data indikator indeksasi akreditasi, atau reputasi internasional yang saat ini menjadi obsesi kampus-kampus di Indonesia.
Namun, ia menggarisbawahi adanya paradoks, di mana perankingan tersebut justru dihasilkan dengan cara-cara yang tidak berintegritas.
“Ini menunjukkan adanya situasi anomali,” jelasnya saat dihubungi Mojok, Rabu (9/7/2025). “Di satu sisi, ada upaya yang didorong oleh pemerintah kita untuk menjadikan kampus-kampus ini bertaraf internasional. Tapi di sisi lain, ternyata perankingan itu kemudian dihasilkan dengan cara-cara yang tidak berintegritas,” imbuhnya.
Apa itu RI²?
Research Integrity Index (RI²) merupakan metrik gabungan berbasis data empiris pertama di dunia yang dirancang khusus untuk mengukur dan memprofilkan risiko integritas riset pada tingkat institusi.
Inisiatif ini lahir dari kecenderungan sistem pemeringkatan universitas global yang selama ini terlalu fokus pada volume publikasi dan jumlah sitasi, tanpa memberi perhatian memadai pada kualitas dan integritas ilmiah dari riset yang dihasilkan.
Melansir laman resminya, ada dua indikator utama yang digunakan dalam evaluasi RI². Pertama, Retraction Rate (R Rate). Indikator ini mengukur jumlah artikel yang dicabut (retracted) per 1.000 publikasi. Tingkat penarikan artikel yang tinggi dapat mengindikasikan masalah serius, seperti kesalahan metodologis fatal, pelanggaran etika penelitian (plagiarisme, fabrikasi, atau falsifikasi data), atau penyalahgunaan kepenulisan.
Kedua, Delisted Journal Rate (D Rate). Indikator ini menghitung persentase publikasi suatu institusi di jurnal-jurnal yang kemudian dikeluarkan (delisted) dari indeks internasional terkemuka, seperti Scopus atau Web of Science. Jurnal-jurnal ini umumnya dicabut indeksnya karena tidak memenuhi standar kualitas editorial atau tergolong jurnal predator.
“Semakin tinggi skor RI² suatu institusi, semakin besar pula indikasi risiko integritas riset yang teridentifikasi,” tulis Lokman Meho dalam keterangan resminya.

Binus-Unair red flag, UGM “paling mendingan”
Lokman Meho, dalam RI², juga mengkategorikan risiko menjadi lima tingkatan. Mulai dari Red Flag (risiko tertinggi) hingga Low Risk (risiko rendah).
Dari 13 kampus di Indonesia yang masuk pantauan RI², beberapa teridentifikasi berada pada kategori risiko tertinggi. Berikut adalah daftar kampus yang teridentifikasi beserta kategorinya:
Zona Merah (Red Flag) – Risiko Tertinggi:
- Universitas Bina Nusantara (BINUS)
- Universitas Airlangga (UNAIR)
- Universitas Sumatera Utara (USU)
- Universitas Hasanuddin (UNHAS)
- Universitas Sebelas Maret (UNS)
Zona Oranye (High Risk) – Risiko Tinggi:
- Universitas Diponegoro (UNDIP)
- Universitas Brawijaya (UB)
- Universitas Padjadjaran (UNPAD)
Zona Kuning (Watch List) – Risiko Sedang:
- Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
- Universitas Indonesia (UI)
- Institut Teknologi Bandung (ITB)
- Institut Pertanian Bogor (IPB)
- Universitas Gadjah Mada (UGM)
Temuan ini menunjukkan adanya potensi anomali dalam praktik riset dan publikasi di kampus-kampus tersebut. Potensi masalahnya, bisa berkisar dari ketidakcermatan metodologis hingga dugaan pelanggaran etika yang lebih serius, atau kecenderungan publikasi di jurnal yang kualitasnya dipertanyakan.
“Di sini kita lihat ada lima kampus Indonesia yang masuk red flag, yang itu indikatornya adalah extreme anomaly, dan resiko pelanggaran integritas yang sistematis. Itu kampus yang bukan kampus kecil, itu kampus yang sangat besar,” ujar Satria Unggul Wicaksana Prakasa.
“Kondisi ini berdampak pada tercorengnya reputasi global kampus-kampus besar ini,” imbuhnya.
Jurnal predator dan masalah integritas riset kampus di Indonesia
Sebelum adanya RI², isu integritas riset kampus di Indonesia sebenarnya bukanlah hal baru, terutama terkait maraknya jurnal predator. Fenomena ini telah menjadi bayang-bayang panjang dalam ekosistem akademik nasional, yang sering didorong oleh tekanan untuk memenuhi target publikasi ilmiah demi kenaikan pangkat dosen, akreditasi program studi, hingga indikator kinerja universitas.
Jurnal predator sendiri didefinisikan sebagai publikasi yang mengeksploitasi model akses terbuka (open access) dengan membebankan biaya publikasi (Article Processing Charge/APC) kepada penulis, tanpa menyediakan layanan editorial dan peer-review yang kredibel. Mereka kerap menggunakan nama yang menyerupai jurnal bereputasi, alamat palsu, atau mengklaim indeksasi di database ternama, padahal tidak.
Jurnal predator laku karena menjanjikan kecepatan penerbitan dan kemudahan lolos review; sangat kontras dengan proses ketat di jurnal-jurnal bereputasi.
Kondisi ini bahkan diperparah dengan…
Baca halaman selanjutnya…
Kampus Indonesia sibuk ngurus kuantitas riset, bukan kualitas apalagi integritas. Kudu belajar dari negara tetangga!
Kondisi ini bahkan diperparah dengan kurangnya pemahaman sebagian akademisi tentang ciri-ciri jurnal predator, serta lemahnya pengawasan internal di beberapa institusi. Akibatnya, ribuan artikel ilmiah dari peneliti Indonesia “terjebak” di jurnal-jurnal yang kualitasnya dipertanyakan dan menurunkan kredibilitas riset yang telah dihasilkan.
Isu ini telah berulang kali disorot. Misalnya, studi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan bahwa 8 dari 10 profesor kampus di Indonesia pernah menerbitkan riset di jurnal yang integritasnya dipertanyakan alias jurnal predator.
Investigasi sejumlah media bahkan melaporkan praktik tak cuma terjadi di kampus-kampus swasta dan kurang terkenal. Sejumlah dosen di PTN dan kampus besar, juga melakukannya.
Kampus di Indonesia cuma sibuk memburu kuantitas, bukan kualitas apalagi integritas
Satria Unggul Wicaksana Prakasa menjelaskan, akar masalah dari jurnal predator ini sebenarnya terletak pada tata kelola kebijakan pendidikan tinggi. Menurutnya, upaya pemerintah dalam membangun ekosistem pendidikan tinggi, dilakukan secara tidak terukur.
Misalnya, ia menyoroti pemerintah yang terlalu membebani kampus dengan kewajiban publikasi Scopus bagi dosen dan mahasiswa, baik di level master maupun doktoral.
Alhasil, pembebanan ini kemudian menciptakan kepanikan di kalangan dosen. Hingga akhirnya mereka “secara terpaksa” menghasilkan karya ilmiah yang sangat berisiko dengan integritas akademik yang diragukan. Alias, menyasar jurnal predator.
“Inilah yang sebenarnya menjadi masalah sistemik,” ujar Satria. “Kekeliruan kebijakan ini kemudian berdampak pada reputasi kita di mata global. Kampus-kampus besar ini kemudian justru tercoreng namanya.”
Lebih lanjut, dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya ini juga menegaskan bahwa kondisi riset di Indonesia saat ini benar-benar menunjukkan kebijakan anti-science dan tidak memiliki panduan yang jelas. Panduan yang ia maksud, misalnya, roadmap tentang arah kebijakan yang dibuat berbasis science.
“Alih-alih membangun kultur akademik, pemerintah justru terjebak pada upaya-upaya perengkingan global yang kemudian justru mengaburkan spirit integritas yang menjadi fondasi dasar bagi suatu negara dalam tata kelola kebijakan pendidikan tinggi.”
Belajar dari tetangga
Laporan RI² menunjukkan bahwa tidak semua institusi pendidikan tinggi di Asia Tenggara menghadapi masalah serupa. Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), misalnya, berhasil masuk dalam kategori risiko rendah (Low Risk)— menunjukkan kepatuhan kuat terhadap norma integritas publikasi.
Selain UKM, ada juga Nanyang Technological University dan National University of Singapore (NUS) yang berhasil masuk dalam kategori low risk.
Melihat data tersebut, Satria pun berharap Indonesia dapat belajar dari negeri tetangga, yang berfokus pada kualitas substansi riset daripada sekadar pemeringkatan.
“Kampus-kampus di luar negeri, yang kemudian memiliki reputasi tinggi itu, pertama, mereka memiliki ekosistem pendidikan tinggi yang sangat baik, dari segi publikasi, dari segi pengajaran, itu kemudian benar-benar standar global yang itu terus dipertahankan,” ujar Satria.
“Kedua, memang dalam sisi governance atau tata kelola kampus, tata kelola kebijakan pendidikan tinggi yang kemudian memiliki peta jalan yang cukup jelas untuk menjadikan kampus-kampus bertaraf internasional itu betul-betul well-established“.
Terakit laporan RI², Sekretaris Jenderal Kemendiktisaintek Togar Simatupang menyampaikan pihaknya menyambut baik laporan itu dan akan digunakan sebagai bahan refleksi. Ia menilai, laporan itu berbasis data terbuka yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
“Kami jadikan itu reflektif untuk perbaikan diri. Universitas-universitas kita ini baru sampai tahap baligh, tahap remaja. Memang perlu waktu agar mencapai tahap aqil baligh atau matang secara akademik,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Gawai adalah Candu: Cerita Mereka yang Mengalami Pembusukan Otak karena Terlalu Banyak Menonton Konten TikTok atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.