Malang, yang selama ini dikenal sebagai kota pendidikan, kini menghadapi konflik moral yang tak terhindarkan. Fenomena kumpul kebo yang dilakukan mahasiswa pendatang, khususnya di kos LV, telah memicu keresahan mendalam di kalangan warga lokal.
Liputan ini akan membongkar benturan nilai dari sudut pandang mahasiswa, warga asli, dan pemilik kos yang terjebak di tengah dilema.
Malang: Magnet Mahasiswa dan Lahirnya Kos LV
Malang, sejak lama, memang menjadi magnet bagi puluhan ribu mahasiswa dan pekerja dari berbagai daerah di Indonesia. Setiap tahun, Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Malang mengestimasi sekitar 22.000 mahasiswa baru masuk ke kota ini. Mereka menambah lebih dari 330.000 mahasiswa aktif yang memadati berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta.
Kehadiran populasi pendatang yang masif ini membawa serta keragaman gaya hidup dan nilai. Tak jarang, berbeda dari nilai masyarakat yang sudah disepakati.
Indikasi paling nyata dari fenomena ini, misalnya, adalah menjamurnya “kos campur” atau “kos bebas” atau “kos LV” di area-area strategis dekat kampus. Kawasan seperti Lowokwaru yang mencakup Dinoyo, Sumbersari, Ketawanggede, Tunggulwulung, dan Karang Besuki, telah menjadi kantong-kantong utama karena kedekatannya dengan universitas besar seperti UB Malang, UM, dan UIN.
Tak hanya itu, area Tlogomas, Dau, dan Landungsari juga padat dengan kos, terutama bagi mahasiswa UMM. Bahkan di pusat kota seperti Klojen, Celaket, atau Oro-oro Dowo, kos campur mulai ditemukan.
Ciri khas kos-kosan ini adalah minimnya aturan jam malam, kebebasan menerima tamu lawan jenis, dan privasi yang lebih tinggi bagi penghuninya.
Jejak Kumpul Kebo di Malang
Konsekuensi paling nyata dari menjamurnya kos bebas atau kos LV adalah kumpul kebo di kalangan penghuninya. Sebelumnya, Mojok pernah menuliskan fenomena ini dalam liputan “Hari-hari Mahasiswa Malang yang Jalani Kumpul Kebo: Latihan Berumah Tangga, Hidup Layaknya Suami Istri meski Tak Siap Menikah”.
Liputan itu memotret cerita pasangan mahasiswa Malang yang mengaku menjalani praktik kumpul kebo dengan berbagai alasan.
Namun, kalau berkaca pada data, fenomena ini memang bukan isapan jempol belaka. Sejumlah kasus yang mencuat ke publik menjadi bukti nyata.
Pada Februari-Maret 2025, menjelang bulan Ramadan, Satpol PP Kota Malang menggelar operasi cipta kondisi di Jalan Sigura-gura, Lowokwaru. Teriakan panik dan wajah-wajah pucat para penghuni kos saat pintu digedor, menjadi pemandangan biasa saat petugas bergerak.
Dalam razia tersebut, sebanyak 31 orang, mayoritas mahasiswa, berhasil “diamankan” karena kedapatan kumpul kebo. Yang lebih mengejutkan, lima di antaranya bahkan diduga terlibat praktik Open BO yang menambah kompleksitas isu ini.
Tak hanya di kos-kosan, razia serupa juga menyasar penginapan. Pada Juni 2022 dan April 2022, penggerebekan di penginapan Klayatan dan hotel di Klojen menjaring sejumlah pasangan bukan suami istri, dengan beberapa kasus bahkan terkait prostitusi.
Puncak keresahan masyarakat terlihat pada Maret 2022, di Gondanglegi Wetan (Kabupaten Malang), ketika sepasang “kumpul kebo” digerebek dan diarak oleh ratusan warga yang resah. Insiden ini menunjukkan tingkat kemarahan yang meluap dan tindakan langsung yang diambil masyarakat.
Memilih kos LV buat Fleksibilitas, Bukan Seks Bebas
Bagi sebagian mahasiswa pendatang, memilih kos LV bukan berarti mencari kebebasan untuk melakukan hal-hal negatif. Apalagi kumpul kebo.
Seperti yang diungkapkan Andi* (22), seorang mahasiswa semester 5 asal Jakarta, yang dengan senang hati membagikan ceritanya kepada Mojok baru-baru ini.
“Bebas di sini bukan berarti bebas dalam konotasi negatif kayak ‘kumpul kebo’ atau hal-hal yang aneh-aneh itu, ya. Buat gue, ‘bebas’ itu artinya fleksibilitas dan otonomi,” ujar mahasiswa Malang ini kepada Mojok, Selasa (29/7/2025).
Andi menjelaskan, bahwa jadwal akademik yang padat, praktikum hingga larut malam, atau rapat organisasi yang tak mengenal waktu, menuntut fleksibilitas tinggi.
“Gue pernah nyaris diusir dari kos lama cuma karena pulang jam 12 malam karena kegiatan padat di kampus. Rasanya seperti anak kecil yang tidak dipercaya,” kenangnya.
“Kalau kos yang ada jam malamnya, itu repot sekali. Gue nggak mau tiap malam harus buru-buru atau takut dimarahi ibu kos.”
Lebih fleksibel ngajak teman main ke kos
Selain itu, bagi Andi, “kebebasan sosial” juga menjadi poin penting. Kebebasan ini yang sangat jarang ia temui di kos-kosan yang tidak bebas.
“Teman-teman gue kadang perlu diskusi di kos sampai larut, atau sekadar main game bareng. Kalau ada aturan ketat dilarang bawa teman lawan jenis, itu kan membatasi interaksi sosial yang sebenarnya positif. Jadi nggak melulu bawaannya kumpul kebo.”
Bagi Andi, dengan tinggal di kos LV, kebutuhan akan privasi juga krusial. Sesederhana ia punya ruang lebih untuk sendiri, tanpa distraksi pemilik kos.
“Nggak ada yang terlalu ikut campur urusan pribadi, selama gue nggak bikin onar atau mengganggu tetangga lain,” tegasnya.
Andi mengakui adanya stigma negatif tadi. Namun, ia menegaskan bahwa tidak semua mahasiswa yang tinggal di kos LV itu untuk kumpul kebo.
“Banyak juga teman-teman gue di sini yang hidupnya biasa-biasa saja, fokus kuliah, kerja sambilan, atau kegiatan positif lainnya.”
Baca halaman selanjutnya…
Tapi, ada suara lain dari warga asli Malang yang nggak mau nama kotanya tercoreng.
Keresahan warga lokal akan citra yang tercoreng
Di sisi lain, warga asli Malang ternyata merasakan keresahan yang mendalam terkait fenomena kos LV dan kumpul kebo ini.
Salah satunya Siti (31), perempuan yang mengaku melanjutkan bisnis kos orang tuanya di lingkungan padat penduduk. Ia mengungkapkan perasaannya yang merasa “campur aduk” dan takut nama baik kota ini tercoreng.
Keresahan Siti berakar pada beberapa hal. Pertama, adanya pergeseran identitas kota.
“Dulu, kalau ada mahasiswa lewat, kami bangga. Sekarang, kadang mau negur saja sungkan, takut salah. Tapi kalau dibiarkan, rasanya mata ini perih melihat pemandangan yang tidak pantas di depan rumah,” ujarnya, Selasa (29/7/2025).
Malang, yang dikenal sebagai pendidikan, kini dikhawatirkan akan dikenal sebagai “kota bebas” karena perilaku segelintir oknum pendatang. Bagi Siti, ini adalah pukulan telak bagi citra kota kelahirannya itu.
Kedua, ancaman norma moral. Menurutnya, praktik kumpul kebo bertentangan langsung dengan nilai kesopanan, kekeluargaan, dan ajaran agama yang dipegang teguh masyarakat.
“Anak-anak saya mulai bertanya, ‘Bu, kok pacaran begitu boleh ya?’ Bagaimana saya menjelaskan?” Ada kekhawatiran perilaku ini “menular” atau memengaruhi generasi muda lokal,” jelasnya.
“Kami paham. Itu kan hak pribadi mereka. Kami nggak bisa ikut campur terlalu jauh. Tapi lama-lama, itu bisa bikin citra kota kami jadi buruk, Mas.”
Kumpul kebo berada di ruang abu-abu
Keresahan serupa juga dirasakan oleh Andri (30), seorang warga asli Malang yang kini bekerja sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi di kota ini. Setelah menempuh pendidikan S1 dan S2 di luar Malang, ia merasakan betul perbedaan kota kelahirannya.
“Malang yang dulu saya kenal, beda sekali dengan yang sekarang,” ujarnya. “Dulu, kota ini identik dengan ketenangan dan nilai-nilai yang kuat. Sekarang, saya melihat sendiri bagaimana gaya hidup yang lebih ‘bebas’ semakin terang-terangan, terutama di lingkungan sekitar kampus.”
Meskipun ada rasa prihatin dengan kumpul kebo di Malang, Andri menjelaskan bahwa fenomena tak bisa dibicarakan sesederhana membahas nilai moral dan agama. Ada benturan nilai yang kompleks di dalamnya.
Misalnya, kebutuhan akan kebebasan dan privasi dari pendatang berhadapan langsung dengan norma moral dan sosial yang dipegang teguh oleh masyarakat lokal.
“Ada area abu-abu hukum, di mana hukum positif mungkin tidak secara spesifik mengatur kumpul kebo tanpa unsur pidana lain. Seperti prostitusi, misalnya,” kata dia.
“Namun, praktik tersebut jelas melanggar hukum adat atau norma yang hidup di masyarakat,” imbuhnya.
Alhasil, benturan nilai ini bukan tanpa konsekuensi. Di balik setiap razia dan keluhan warga, ada harga yang harus dibayar. Bukan hanya citra kota yang terancam, tapi juga erosi kepercayaan antargenerasi.
“Anak-anak muda lokal mungkin mulai mempertanyakan nilai-nilai yang mereka anut. Sementara warga asli merasa asing di tanah sendiri,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Tak Mudah Jadi Orang dengan KTP Malang, Susah Payah Berbuat Baik tapi Sia-sia karena Cap Aremania atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
