Digital Fatigue: Kembalinya Budaya Retro di Kalangan Gen Z, karena Jenuh dengan Teknologi Modern

ilustrasi - Pasar Senthir Jogja yang jual barang antik. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Di era perkembangan teknologi yang semakin cepat, sebagian Gen Z justru tergila-gila dengan barang antik atau budaya lama. Di Jogja, perilaku ini biasa dilihat dari khalayak mudanya yang suka mengoleksi kaset film, musik, baju bekas, hingga kamera analog. Fenomena ini bukan tanpa alasan, pakar menyebut ada kondisi digital fatigue. Artinya, seseorang merasa kelelahan mental dan fisik.

***

Di era serba cepat ini, teknologi seolah telah menjelma menjadi kebutuhan primer manusia. Mulai dari bangun tidur hingga sebelum tidur lagi, tangan kita nyaris tak lepas dari gawai. Bahkan, saat tidak menggenggam ponsel selama satu hari saja, sebagian orang bisa merasa terputus dari dunia. 

Namun, kemudahan yang ditawarkan teknologi modern ternyata tidak selalu diikuti dengan kepuasan. Alih-alih selalu mengandalkan teknologi terbaru, sebagian dari Gen Z justru “menoleh” ke belakang. 

Mereka mencari alternatif, yang menghadirkan pengalaman berbeda. Dalam hiruk-pikuk arus digital yang serba canggih, Gen Z justru merasa jenuh. Muncul kerinduan akan sesuatu yang lebih personal, lebih nyata, tak cuman hanya bisa dilihat lewat ponsel. 

Menurut laporan Global Web Index, sekitar 37 persen Gen Z secara aktif menunjukkan ketertarikan terhadap budaya era 1990-an. Ketertarikan itu bisa dilihat dari kegemaran Gen Z mengoleksi musik, film, hingga perangkat teknologi seperti walkman, kamera analog, dan ponsel lipat. 

Uniknya, banyak dari mereka bahkan belum lahir ketika teknologi-teknologi itu berjaya. Di sinilah kemudian teknologi lawas atau retro menemukan ruangnya untuk kembali hidup.

Geliat Gen Z di Pasar Klithikan Senthir Jogja

Salah satu “ruang” yang kerap digandrungi Gen Z adalah Pasar Senthir, Jogja. Lokasinya, tak sampai satu kilo meter dari Malioboro. Pasar ini terkenal sebagai surganya para Gen Z yang memburu barang-barang bekas. Tak jarang, ada yang menemukan “harta karun”, alias barang mewah dengan harga murah, atau barang antik yang sudah jarang dijual. 

Lepas magrib, para pedagang biasanya sudah membuka lapaknya dengan menggelar tikar di pelataran taman parkir Malioboro II. Di atas tikar itu, pembeli dapat memilih barang elektronik seperti handycam bekas, kipas bekas, record, dan sebagainya. 

Pasar Senthir Jogja. MOJOK.CO
Pasar Senthir Jogja dilihat dari depan. (Khatibul Azizy Alfairuz/Mojok.co).

Tak hanya itu, ada juga yang menjual baju bekas, buku kuno, kaset, sepatu, bahkan barang-barang antik seperti cincin akik, batu-batu dan perhiasan yang dianggap sakral.

Menurut pantauan Mojok, puluhan pembeli dari kalangan Gen Z masih asyik melihat-lihat lapak penjual meski jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Salah satunya, Adnan (21) yang sedang asyik memilih baju bersama pacarnya.

Mahasiswa Universitas Amikom itu mengaku Pasar Senthir Jogja adalah one stop shopping. Apalagi, kalau urusan outfit dan clothingan, tempat ini tak pernah berhenti menyediakan pakaian berkualitas dengan harga murah bagi dia.

“Kalau ngomongin soal malu, kenapa harus malu. Toh, kalau pun kotor, habis ini dicuci lagi. Orang-orang nggak bakal bisa bedain mana baru mana enggak, Mas,” jelasnya kepada Mojok, Jumat (26/7/2024).

Selain Adnan, ada pula Vigo (22) yang merupakan penikmat rilisan musik fisik, terutama kaset. Menurut dia, rilisan lawas lebih memperhatikan detail dari lirik hingga desain sampul yang kini mulai ditinggalkan di era digital.

Kebiasaan ini juga mendapat sambutan positif dari lingkungan sekitarnya. Vigo bercerita bahwa banyak temannya bahkan mulai tertular mengoleksi kaset. 

“Banyak yang bilang ini keren. Kadang ada bonus track juga di rilisan fisik. Jadi malah nularin ke teman-teman lain,” ucapnya, Sabtu (19/7/2025). 

Bikin pedagang senang sekaligus untung

Di tengah hiruk pikuk pembeli yang berlalu-lalang, seorang pedagang turut menawarkan kaset dan poster film era 80-an. Namanya Krisalam. Tak hanya sekadar berjualan, ia juga sering berdiskusi dengan pembeli yang kebanyakan adalah Gen Z.

“Kadang cewek-cewek nyari Oasis atau rilisan rock tahun 90-an. Sekarang memang lagi musim koleksi,” kata Kris saat ditemui Mojok di lapaknya yang berada di tengah Pasar Senthir, Jogja, Sabtu (19/7/2025).

Dari diskusi itu ia menyadari, kaset dan poster film lawas rupanya tak lekang ditelan zaman. Banyak yang masih mengoleksi barang lawas tersebut karena bisa nostalgia dari memegang barang antik secara fisik. 

Laki-laki asal Surabaya itu pun mengaku kecintaannya terhadap budaya pop era 80-an dan 90-an tak pernah padam. Sejak kecil, ia sudah menyukai musik dan film, serta mengumpulkan koleksi kaset dan poster. Hal itu pula yang menginspirasinya untuk menjual barang bekas.

Pedagang di Pasar Senthir Jogja, Krisalam yang menjual kaset film. (Khatibul Azizy Alfairuz/Mojok.co)

“Saya suka film jadul. Koleksi film saya banyak. Mulai dari Star Wars, Taxi Driver, sampai 12 Monkeys. Robert De Niro favorit saya,” ujarnya.

Hingga kini, Kris mengaku menyimpan beberapa kaset khusus untuk koleksi pribadi, bahkan ada yang berasal dari tahun 1992. Memang tak semua koleksinya dijual karena ada beberapa yang sangat langka dan bernilai tinggi. 

Namun, jika ada orang yang putus asa dan sangat ingin mencari koleksi yang ia punya, Kris pun bakal merelakannya.

Kegiatan menjual barang retro bukan lagi sekadar sampingan. Ia sudah berjualan dari tahun 1998. Tiap pagi ia keliling pasar tradisional di Yogyakarta. Malam harinya, ia nongkrong di Pasar Senthir Jogja, membuka lapak.

“Saya nggak muluk-muluk. Cuma pengen ini tetap jalan aja. Kalau ada yang suka dan nyari, saya senang,” ujar penjual barang antik tersebut.

Gen Z butuh pelarian dari teknologi modern

Fenomena kembalinya minat pada benda-benda retro ini bukanlah sesuatu yang muncul tanpa alasan. Dosen Departemen Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sasiana Gilar Apriantika, melihat tren ini sebagai respons sosiologis terhadap era digital yang kian mendominasi. 

Sasiana menjelaskan, aktivitas manusia hampir selalu bersinggungan dengan digital, baik komunikasi, pembelajaran, hingga hiburan yang selalu menggunakan gadget atau laptop. 

“Perkembangan dunia digital yang masif justru melahirkan kelelahan secara mental dan fisik akibat paparan perangkat digital yang berlebihan. Ini disebut sebagai digital fatigue,” ujar Sasiana, Minggu (20/7/2025).

“Manusia dihujani dengan segala bentuk informasi digital yang terkadang tidak berhubungan secara langsung dengan kehidupan kita,” lanjutnya.

Oleh karena itu, Sasiana berujar Gen Z yang sejak kecil akrab dengan layar ponsel dan media sosial, kini mulai mencari pelarian ke arah yang lebih lambat dan berjarak, yakni budaya analog.

Ekspresi budaya melawan arus utama

Menurut Sasiana, dominasi budaya digital telah melahirkan pola hidup yang serba instan dan impulsif. Sebagai respons terhadap kondisi tersebut, sebagian Gen Z memilih kembali ke teknologi retro sebagai bentuk ekspresi budaya yang melawan arus utama.  

Mereka cenderung menghargai proses yang lebih panjang dan penuh makna, seperti menunggu kaset selesai diputar atau mencetak foto dari kamera analog sebagai cara untuk menemukan kembali nilai dari waktu dan kesabaran.

Ia juga mencatat bahwa meningkatnya popularitas museum musik menunjukkan tumbuhnya romantisme kolektif terhadap masa lalu. Ruang-ruang kurasi yang menampilkan benda-benda retro mendorong generasi muda untuk tidak hanya melihat, tetapi juga mengalami secara langsung bagaimana rasanya hidup dengan teknologi lama. 

Hal ini, menurutnya, turut memperkuat ketertarikan terhadap budaya analog sebagai bentuk keterhubungan emosional yang tidak lagi ditawarkan dunia digital.

“Fenomena sosial yang terjadi sebagai konsekuensi logis dari adanya penetrasi media digital yang begitu besar,” kata Sasiana.

Penulis: Khatibul Azizy Alfairuz

Editor: Aisyah Amira Wakang

Tulisan ini diproduksi oleh mahasiswa program Sekolah Vokasi Mojok periode Juli-September 2025

BACA JUGA: Pontang-Panting Gen Z Terjebak Budaya “Orang Dalam” di Dunia Kerja atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version