Ini gudeg medan Bung! Diracik perempuan Batak-Karo yang bersuamikan orang Jogja.
***
Oma Erna bukanlah orang Jogja, tapi dia penjual Gudeg Jogja di Medan. Ia tak terlalu cocok dengan gudeg yang sering dicobanya saat berada di Jawa. Namun, ternyata racikan tangannya membuat gudeg bisa diterima di Kota Medan yang memiliki cita rasa pedas dan lemak. Sebagian orang menyebut masakan Oma Erna ini Gudeg Jogja ala Medan!
Saya naik ojol untuk menuju ke Jl. Iskandar Muda, Kota Medan. Saya kira tak terlalu jauh dari kos, rupanya cukup membuat saya mengelap keringat berkali-kali di atas motor karena saking panasnya kota ini. Setelah sekitar dua puluh menit perjalanan, sampailah di sebuah rumah makan yang tak terlalu besar, letaknya pas di pojok pertigaan jalan raya seberang Ramayana Papringan.
Saya kurang tau daerah sini, tapi kalau ditanya ancer- ancer pokoknya gak terlalu jauh dengan toko durian medan yang cukup terkenal. Itupun saya hanya lihat dari google maps hehe.
“Weh nampak logat Jogja aslinya ini!” ucap seorang perempuan berjilbab abu-abu (30/11/2021), begitu saya masuk dan berbicara sepatah-dua patah kata perkenalan dengan logat medok andalan. Namanya Erna Lemita (57) atau lebih akrab dipanggil dengan Oma Erna, ia asli Batak Karo. Almarhum suaminya atau biasa disapa Opa lah yang berasal dari Jogja.
“Suamiku orang Maguwoharjo, tapi tinggal di Solo. Baru sekitar dua tahun yang lalu beliau meninggal,” ucapnya. Perempuan itu duduk dihadapan saya tepat setelah pesanan satu porsi gudeg telur dengan nasi setengah telah datang.
“Pesan nasi setengah karena udah tau porsi Medan kayak apa ya?” raut wajah Oma yang semula agak sendu langsung berubah menjadi tawa mengejek memandangi porsi saya. Saya cengar-cengir saja sambil mengaku bahwa sedang diet. Tapi yang dikatakan Oma itu benar, porsi nasi orang-orang sini luar biasa banyaknya, membuat saya selalu kekenyangan setiap selesai menyantap.
“Jadi ingat, dulu rumah makan ini prasmanan. Tapi rugi gara-gara saking banyaknya orang ambil makan,” perkataan Oma membuat saya tersadar, saya hampir tidak pernah melihat rumah makan prasmanan di kota ini. Oma melanjutkan, dulu ia dan Opa memang memiliki niat untuk membuat rumah makan gudeg prasmanan.
Semua hidangan disajikan sehingga pelanggan dengan bebas dapat memilah makanannya sesuka hati. “Porsi orang sini beda, nggak bisa pokoknya kalau dibuat prasmanan. Nasi dan lauk sampai tumpah-tumpah, tapi ngitungnya kayak harga normal. Ya rugi,” gerutu Oma dengan logat bataknya.
Kata Oma, baru selang dua hari membuka prasmanan, Opa langsung meminta Oma untuk menyajikan makanan per porsi kepada masing-masing pelanggan.
Oma geleng-geleng kepala mengingat kejadian beberapa tahun silam itu. Oma Kuliner Rumah Jogja ini memang menyimpan banyak kisah perjalanan Oma dan Opa sebagai pasangan beda suku. Tak mudah, tapi mereka mampu melewati segala rintangan.
Jatuh-bangun hingga tutup-pindah warung sudah jadi makanan rutin
Oma dan Opa pernah berjualan hanya dua hari, lalu warungnya tutup. Pindah tempat, ternyata hanya bertahan empat hari, lalu tutup juga. Ke sana-kemari mengelilingi Medan untuk mencari lokasi strategis dan menguntungkan sebagai lapak mereka berdua mengadu nasib. Kurang lebih empat lokasi sudah mereka jajaki, tapi tak ada yang cocok.
“Pernah aku coba jualan soto. Eh, persiapannya dua hari, yang beli cuma dua orang,” Oma tertawa kecil. “Aku bilanglah ke Opa, kok gini amat ya jualan?!”
Kata Oma, respon Opa hanya terkekeh. “Ya, emang kayak gini kalo merintis,” Oma mencoba menirukan nada suara Opa dulu. Pokoknya dalam benak Oma, ia nggak sanggup kalau yang beli cuma dua! Ingin segera tutup toko lagi aja!
Akan tetapi, Opa memiliki pandangan lain. Ia membujuk Oma untuk bertahan dulu dan melihat hasilnya kedepan. Ternyata apa yang diprediksi Opa benar, lama kelamaan warung soto Oma menjadi ramai walaupun hanya bertambah satu- dua orang tiap harinya.
Namun sayangnya, selang beberapa bulan kemudian mereka memilih untuk gulung tikar sebagai pedagang soto karena merasa warungnya tak berkembang. Jika diteruskan lagi, tak menghasilkan apa-apa atau malah jadi rugi.
“Walaupun sering pindah sana-sini, kami gak pernah mengalami kegagalan sampe bikin kami berhenti,” ungkap Oma Erna sambil tersenyum. Matanya memandang ke jendela yang ada di samping bangunan, nampak lalu-lalang kendaraan yang tak pernah sepi. “Aku juga pernah jualan nasi rames di emperan situ,” jari telunjuknya mengarah ke trotoar yang tak jauh dari bangunan yang kami duduki saat ini.
Laku tidaknya berjualan nasi rames pada saat itu menjadi penentu Oma dan Opa akan tetap bertahan di Kota Medan atau mencari peruntungan ke Kota Batam. Suaminya pernah mengatakan, jika nasi rames tidak laku, maka kita pergi ke Batam saja. Bekerja di sana.
Namun tak disangka-sangka, baru hari pertama berjualan, dagangan Oma Erna laku keras. Oma ingat betul, pada hari pertama ia berangkat pukul 4 sore kemudian pulang pukul 8 malam karena dagangannya telah habis. Mereka berdua tak menyangka, hanya membutuhkan waktu empat jam saja sudah ludes. Keesokan harinya pun juga begitu, pasti habis tak tersisa. Berkilo- kilo beras dan ikan mampu mereka jual dalam waktu satu hari.
“Yaudah deh, gak jadi pergi ke Batam kami,” Oma terkekeh. Kalau dipikir- pikir, Oma dan Opa sedari awal menikah tidak memiliki niat untuk berjualan apapun. Mereka berdua sama- sama pekerja, dan sudah memiliki pekerjaan tetap masing-masing. Tapi, seiring berjalannya waktu dan usia yang makin menua, mereka ingin mencoba keuntungan wirausaha. Lebih fleksibel untuk menikmati masa tua, pikirnya.
Walau pada akhirnya nasi rames Oma Erna sudah laris, masalah tak berhenti disitu. Lama kelamaan, uang sewa emperan tempat Oma berjualan naik menjadi lebih mahal. Opa berputar otak, jika tetap bertahan di tempat itu dengan uang sewa mahal, bisa-bisa tidak dapat untung dan tidak bisa menabung. Di tengah kebingungan terkait uang sewa, mereka berdua bertemu dengan seseorang yang menawarkan sebuah bangunan kecil di pojok pertigaan.
Uang sewanya tak terlalu mahal. Mereka pun cocok dan jadilah bangunan kecil tempat mereka mendirikan usahanya hingga saat ini. “Kami pindah jual nasi rames di warung ini,” kata Oma. Ia tertawa kecil, “Tapi gak se-laku waktu di emperan!”
Melihat kening saya yang berkerut, Oma mencoba meyakinkan, “Serius, padahal cuma berjarak berapa meter aja, laku sih tapi ya gak seramai dulu.”
Mengenalkan gudeg pelan-pelan ke orang Medan
Keuntungan yang menurun dan seringnya bahan makanan tak habis membuat pasangan beda suku itu berpikir kembali. Tiba-tiba, Opa mencetuskan sebuah ide untuk menjual makanan tradisional dari darahnya, gudeg.
“Beruntung, kami nggak langsung ngenalin gudeg jadi satu-satunya makanan di rumah makan ini. Kami mulai dulu dari ayam penyet, begitu warung kami agak ramai, barulah kami kenalkan pelan-pelan,” kata Oma.
Ia yakin kalau langsung mulai dengan gudeg orang Medan tidak menerima. “Udah bubaran betul! Mana suka orang sini sama gudeg,” katanya.
Bercerita tentang asal mula gudeg bisa nyasar di warung ini membuat Oma teringat. Semasa Opa masih hidup, ia sering mengajak Oma berkeliling menjajal gudeg ketika mereka sedang pulang ke Jawa. Hampir setiap tempat gudeg di Jogja dan Solo mungkin pernah mereka coba. Gudeg favorit Opa adalah gudeg yang ada di Jl. Mangkunegaran, Solo.
“Itu favorit Bapak, loh ya. Kalo lidah saya sih tetep ada yang kurang,” ujarnya tertawa. Pernah suatu waktu, ia protes pada suaminya. “Kok manis kali rasanya?”
Saat itu, Opa hanya tertawa kecil. Katanya, memang begitu lidah-lidah orang Jawa. Beda dengan selera makan orang Batak. Saya jadi ingat, awal menginjakan kaki di sini, saya langsung sambat dengan masakan soto yang memakai santan. Rasanya seperti opor! Hampir tiap minggu saya memakannya dan hampir tiap minggu pula saya rindu dengan soto bening di warung emperan tiap sudut Jogja.
“Kami orang Batak-Karo kalo masak pake rempah yang super banyak. Mungkin itu sih yang bikin kita suka aneh kalau coba masakan dari daerah lain,” kata Oma Erna.
Dan ngomong-ngomong, dari sekian banyak gudeg yang sudah mereka jajal, Oma Erna malah jatuh hati dengan gudeg yang dijual dekat dengan warungnya saat ini. Tak banyak orang yang tau, tapi cukup terkenal di kalangan penikmat gudeg cabang Medan pada zaman dulu.
Gudeg yang dihidangkan bukanlah tipikal gudeg-gudeg yang manisnya ngepol seperti di Jogja-Solo, melainkan gudeg ini memiliki cita rasa lebih berempah dan kepedasannya. Kalau Oma Erna bilang, pokoknya gudegnya orang- orang Medan lah!
“Saya pernah bilang ke Bapak, kalau jual gudeg, saya nggak mau rasanya mirip dengan yang di Jawa. Nggak bakal laku disini,” ucap perempuan yang jago masak semenjak menikah itu.
“Dan begitu saya ketemu sama gudeg itu, rasanya kayak ah yang kayak gini yang pengen aku jual!” Warung itu sudah tutup ketika Oma membuka warungnya.
Saya mengamati kembali satu piring gudeg telur yang masih berkurang hanya beberapa sendok saja. Rasanya memang berbeda dan khas. Saya yang sebenarnya tidak terlalu menyukai rasa manis, menjadi cocok dengan gudeg buatan Oma Erna. Ia tak terlalu manis, namun ada bumbu-bumbu lain yang agak asing di lidah. Mungkin itulah yang disebut- sebut Oma sebagai rempah andalan gudeg ini.
“Jangan kaget, itu kreceknya bukan rambak tapi kulit sapi basah. Kami juga nggak pake kacang tolo. Soalanya di sini nggak ada yang jual,” kata Oma ketika saya mulai menyendok krecek.
“Kebetulan saya nggak terlalu suka rambak, Oma,” saya nyengir dan menyantap kembali gudeg Jogja ala Medan ini. Soal rasa, gudeg andalan Oma Erna patut diacungi empat jempol. Walau beberapa bahan diganti dan bumbu telah dimodif agar sesuai dengan lidah orang Medan, kekhasan rasa dari Gudeg Jogja mampu dipertahankan oleh perempuan kelahiran batak ini.
“Saya ingat pesan almarhum dulu, gudeg adalah makanan tradisional yang tak bisa dinilai dengan uang,” celetuk Oma. Ia tersenyum samar. Suaminya, Opa, meninggal 2,5 tahun yang lalu.
Baginya, persoalan harga itu relatif, tapi kalau sudah berurusan dengan kerinduan, mau berapapun akan dibeli. Buktinya, hingga sekarang banyak orang-orang yang pernah tinggal di Jogja menyempatkan diri untuk makan gudeg milik Oma Erna. Alasannya cuma satu, rindu.
“Tapi tetep aja, aku nggak pernah naikin harga selama 10 tahun ini!” Oma tiba- tiba terkekeh, bukan karena takut kehilangan pelanggan, melainkan ia belum merasa kepepet untuk menaikan harga. Hanya baru-baru ini saja ia merasa gudegnya terlalu murah di tengah harga bahan baku yang makin melonjak.
Sebagai obat rindu Jogja bagi warganya
Dari awal merintis rumah makan ini, pelanggan Oma Erna didominasi oleh orang-orang Medan yang pernah berkuliah di Jogja ataupun orang-orang Jawa yang merantau dan menetap di Sumatra. Oma Erna menceritakan, ia memiliki pelanggan tetap yang berasal dari suatu daerah di pulau Jawa.
Sudah lama orang itu menetap di Medan untuk bekerja. Sebut saja Rian, ia laki- laki lajang yang putih bersih, wajahnya terlihat terawat. Satu hal yang membuat Oma Erna selalu ingat kepada Rian adalah setiap ia datang, semua orang yang sedang makan di rumah makan Oma Erna akan selalu ditraktir. Syaratnya hanya satu, asalkan orang Jawa.
“Kalau nggak salah ingat, terakhir ia kemari waktu mau balik ke Jawa. Pamitan, entah udah kembali lagi atau belum,” kenang Oma Erna, pandangannya menuju ke arah jalan yang cukup padat, tak lama ia tersenyum membuat saya ikut menoleh ke belakang.
Rupanya, dua orang pelanggan datang. Ia menyapa Oma Erna dengan senyuman lebar. “Orang Jogja ini, loh!” ucap Oma Erna memperkenalkan saya dengan perempuan yang baru saja duduk di kursi depan. Tak lama, Oma Erna pamit sebentar kebelakang karena mendengar notifikasi pesanan dari ojek online, mengingat waktu sudah mulai memasuki jam makan siang. Pesanan online pun mulai ramai.
Saya berbincang dengan Dewi, salah satu pelanggan yang baru saja datang itu. Umurnya mungkin sekitar 30-an, sudah sejak SMP kelas dua ia pindah ke Sumatra, tepatnya di Aceh. Lalu ketika beranjak dewasa, Dewi pindah ke Medan untuk bekerja. Awalnya, ia tak menyangka ada penjual gudeg di ibukota Sumatera Utara ini.
Beberapa tahun yang lalu, saat pulang kerja, Dewi tak sengaja melihat plang bertulis Kuliner Rumah Jogja dengan gudeg sebagai salah satu menunya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung memarkirkan motor dan masuk ke rumah makan ini.
“Dulu, saya masih sempet ketemu sama almarhum Opa. Setiap dari Jogja, almarhum suka naruh koleksi patung-patung dan miniatur kayu yang biasanya sering di jual di Jogja itu,” jarinya menunjuk tiap lokasi dimana patung-patung itu dulu terpasang.
“Suasananya jadi kayak ngerasa di Malioboro, Mbak,” ucap Dewi terkekeh pelan. Ada sedikit kerinduan yang ia pancarkan.
Dewi bercerita, dulu ia tinggal di dekat Stasiun Tugu. Sekarang, lokasi rumahnya sudah dibangun bangunan hotel bertingkat tinggi. Sudah tak banyak keluarganya yang ada di Jogja, hanya ibu tirinya lah yang masih menetap di Bantul hingga sekarang. Walau bisa dibilang tak lama ia menjadi penduduk Jogja, tapi kota ini memiliki tempat spesial bagi Dewi. Kota di mana Dewi kecil untuk tumbuh menjadi remaja.
“Gudeg ini buat obat rindu saya terhadap Jogja. Rindu banget rasanya, mau sering kesana juga nggak mungkin,” ungkap perempuan yang terakhir kembali ke Jogja pada tahun 2008 itu.
BACA JUGA Sari Ilmu, Toko Buku Tertua di Yogya yang Mencoba Bertahan Hidup dan liputan menarik lainnya di Susul.