Bagaimana mahasiswa UNY ini mengelola Rp250 ribu untuk hidup
Haris sebenarnya tidak mendapat jatah makan dari masjid. Paling mentok, ada bahan mentah untuk ia masak. Namun, ada saja rezeki yang membuatnya bisa menghemat pengeluaran.
“Jadi selama jadi marbot, khusus untuk makan biasanya aku hanya keluar Rp150 ribu per bulan,” ujarnya.
Angka itu membuat saya cukup terhenyak. Bagaimana bisa ia hanya merogoh kocek Rp5 ribu per hari untuk biaya makan. Modal Rp5 ribu biasanya ia gunakan untuk membeli lauk dan sayur di warmindo atau warung rames terdekat untuk pelengkap makan sehari.
“Sehari biasanya aku makan dua kali,” terangnya.
Beruntungnya, ia kerap mendapat sumbangan dari warga berupa beras, mie instan, dan telur. Bahan pokok inilah yang kemudian kerap ia manfaatkan untuk penunjang makan. Bahkan ia mengaku pernah tiga hari tidak membeli makanan apa pun di luar dan hanya memasak nasi, mie, dan telur pemberian dari warga.
Haris mengajak saya mengunjungi dapur masjid. Memang, di sana tampak stok beras, telur, dan mie instan yang cukup melimpah.
Selain itu, salah satu menu makanan andalan Haris adalah nasi bungkus dari hajatan warga. Haris dan teman-teman marbotnya juga akan memperoleh makanan dan konsumsi melalui partisipasi dalam kegiatan seperti tahlilan. Dengan demikian, keterlibatan Haris dalam kegiatan seperti tahlilan memungkinkannya untuk mengurangi pengeluarannya dalam hal konsumsi.
Selain untuk biaya konsumsi sehari-hari, pengeluaran terbanyak hari berasal dari keperluan organisasi. Contohnya untuk pembayaran uang kas, menabung untuk membeli Pakaian Dinas Lapangan (PDL) organisasi, serta biaya rapat organisasi.
Untuk peralatan mandi, mahasiswa UNY ini perlu mengeluarkan uang sebesar 30 ribu rupiah perbulan untuk peralatan mandinya. Hal ini mencakup pembelian sabun, sampo, sikat gigi, pasta gigi, dan barang-barang mandi lainnya yang dibutuhkan untuk menjaga kebersihan dan kesehatan pribadinya.
Biaya di luar perkiraan
Uang yang terbatas juga membuatnya harus tahan-tahan tidak ikut nongkrong bersama teman-teman. Beruntung, ia punya kegiatan di masjid sehingga bisa mengalihkan diri dari ajakan nongkrong yang menguras dompet.
Tentu, ada kebutuhan lain yang kerap muncul di luar perkiraan. Misalnya kebutuhan berobat saat sakit dan hal mendadak lainnya. Untuk ini, Haris mengaku mengandalkan tabungannya. Ia juga tidak menampik, ia meminta bantuan orang tua untuk kebutuhan mendesak semacam itu.
“Biasanya kalau mendesak ya aku minta. Pernah dikasih Rp200 ribu. Tapi itu sisa juga dan aku tabung,” terangnya.
Selain pengeluaran tak terduga, mahasiswa UNY ini juga punya beberapa instrumen pemasukan yang tidak terencana. Misalnya mendapat sadaqah dari warga atau mendapat uang saku tambahan dari saudara saat Idulfitri. Namun, ia mengaku mengalokasikan uang itu sebagai tabungan ketika ada kebutuhan mendesak.
Haris menjalani cara hidup dengan pengeluaran yang minim ini berkat aktivitasnya sebagai marbot masjid. Sesuatu yang mungkin tidak bisa setiap orang jalani.
Seorang teman Haris di UNY, Anugrah (20) mengakui bahwa kawannya ini terkenal dengan gaya hidup hemat. Haris jarang ikut ajak nongkrong dari teman-temannya. Bahkan untuk sekadar makan di warung.
“Dia tuh hemat parah, dia jajan paling buat beli nasi sama sayur,” terang Anugrah saat saya konfirmasi.
Normalnya biaya hidup di Jogja bagi mahasiswa
Selain Haris, saya juga sempat berbincang dengan mahasiswa lain yang punya gaya hidup cukup hemat. Zaky (19), mahasiswa asal Sragen, Jawa Tengah mengaku pengeluarannya per bulan selama di Jogja hanya Rp1 juta.
“Setengah untuk bayar kos dan sisanya untuk hidup,” ujarnya.
Ia mengalokasikan Rp300 ribu untuk makan. Sedangkan sisanya, sesekali ia gunakan untuk jajan atau nongkrong bersma teman saat akhir pekan.
Biaya hidup mahasiswa di Jogja sebenarnya beragam. Beberapa waktu sebelumnya Mojok juga menjumpai mahasiswa yang untuk kebutuhan makan, jajan, dan nongkrong saja pengeluarannya melebihi UMP DIY per bulan.
Mojok sempat berbincang dengan seorang mahasiswi UII bernama Tari (22). Ia mengaku mendapat jatah uang saku bulanan sebesar Rp2-2,5 juta. Belum termasuk biaya sewa kamar kos.
Buat Tari, pengeluaran terbesarnya adalah saat ingin membeli makanan yang sedikit mewah. Ia mengaku setidaknya sebulan sekali sampai dua kali menyantap daging di restoran all you can eat. Harganya bisa sekitar Rp100 ribu sekali makan. Belum lagi, untuk kebutuhan penunjang gaya hidup.
Sementara itu, menurut data BPS 2021 untuk survei biaya pendidikan, mahasiswa di DIY all in menghabiskan dana rata-rata Rp21 juta per tahun atau Rp1,7 juta per bulan. Mahasiswa, di Jogja, memang jadi sumber perputaran uang. Namun, di antara itu ada cerita mahasiswa yang mencoba bertahan di tengah keterbatasan.
Penulis : Salim Zaky Aflah, Hammam Izzuddin
Editor : Hammam Izzuddin
BACA JUGA Nestapa, tapi Rela: Tinggal di Kos Murah Rp125 Ribu per Bulan di Jogja
Cek berita dan artikel lainnya di Google News