Lima tahun merantau di Jogja membuat perantau asal Lampung merasa “lidahnya rusak” gara-gara soto dan mie ayam. Cita rasa soto dan mie ayam di Jogja baginya sangat kacau dan sangat tidak masuk di lidah orang Lampung sepertinya.
***
Saat saya ajak membincangkan kembali soal Jogja, Fitria (26) malah jadi pengin kembali ke Jogja. Sudah sejak 2019 ia meninggalkan Jogja, pulang ke kampung halamannya di Kota Metro, Lampung, bekerja sebagai staf administrasi di Kantor Walikota Metro.
“Jujur dua tahun terakhir sempet kepikiran lagi sih. Tapi sudah nggak ada temen. Temen-temen kuliah di Jogja dulu udah pada log out dari Jogja,” ujar Fitria, Kamis (2//5/2024).
Rasa kangen perantau asal Kota Metro, Lampung tersebut sebenarnya lebih kepada suasana Jogja yang baginya sangat menenangkan. Ada banyak tempat yang bisa ia gunakan sebagai tempat healing tiap kali kepala sedang sumpek nan panas.
Namun, ada satu masalah yang membuat Fitria berpikir ulang jika harus kembali menetap di Jogja. Terlebih untuk waktu yang lama. Yakni persoalan makanan, khususnya soto dan mie ayam.
Soto dan mie ayam Jogja bikin lidah perantau Lampung rusak
Fitria merantau dari Kota Metro, Lampung ke Jogja pertama kali pada 2015. Ia datang sebagai mahasiswa yang kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
“Milih kuliah di Jogja karena lokasi universitas yang orangtua ACC cuma di Jogja. Karena Jogja terkenal sebagai Kota Pelajar,” tutur perantau asal Lampung tersebut.
Sejak pertama kali menjejakkan kaki di Jogja, Fitria langsung mencoba menyisir warung-warung soto dan mie ayam. Dua makanan yang memang menjadi favoritnya.
Seturut pengakuan Fitria, perantau asal Lampung itu bahkan menyebut—selama di Lampung—dalam seminggu minimal ia harus makan soto atau mie ayam dua sampai tiga kali. Sayangnya, soto dan mie ayam di Jogja bagi Fitria ternyata jauh berbeda dengan soto dan mie ayam di Lampung.
“Kalau soto menurutku masih masuk di lidah, walaupun tetep agak ada manis-manisnya,” ungkap Fitria.
“Kalau mie ayam kurang masuk. Mie ayam di Lampung dominan asin kan, sedangkan di Jogja manis banget. Jujur syok banget sih,” sambung perantau asal Lampung itu. Ia merasa cita rasa manis mie ayam Jogja agak “merusak lidahnya” yang terbiasa dengan asinnya mie ayam di Lampung.
Makanan Jogja yang masuk di lidah perantau Lampung
Dalam rentang 2015-2019 kuliah di Jogja, menurut Fitria ada satu makanan yang membuatnya sangat cocok untuk lidah orang Lampung. Paling tidak cocok untuk Fitria sendiri. Yakni penyetan.
“Tapi harus pakai sambel bawang, jadi pedesnya nampol,” tutur Fitria.
Fitria sempat iseng-iseng mencicipi sambel terasi di sebuah warung penyetan di Jogja. Efeknya justru membuatnya sampai trauma saat berhadapan dengan sambal terasi di warung manapun. Bahkan saat pulang ke Lampung, trauma terhadap sambal terasi tersebut masih terbawa.
“Karena di Jogja sambel terasinya dominan gula merah, terlalu manis,” terang alumnus UMY itu.
“Kalau makanan khas Jogja yang aku sama sekali nggak bisa masuk ya gudeg. Karena terlalu manis,” ucap Fitria.
Balas dendam makan soto sepuasnya tiap pulang kampung
Karena mendapati rasa soto Jogja yang nggak masuk banget di lidah orang Lampung sepertinya, Fitria pun selalu menebusnya setiap kali pulang ke kampung halaman ketika masa liburan semesteran.
“Libur dua minggu bisa dua atau tiga hari sekali aku harus makan soto yang menurut saya enak di Lampung. Kadang juga minta bikinin bude yang jago bikin soto. Jadi sebelum pulang request dulu kalau minta dimasakin soto,” beber Fitria.
Fitria lalu membagikan link Instagram salah satu soto enak dan legendaris di Lampung yang sesekali ia datangi.
“Soto di Lampung itu kaldu dari ayamnya nendang banget, dominan rasa kuah aslinya itu rempah. Kalau di Jogja agak ada manis-manisnya, entah dari kayu manis atau kecap,” terang Fitria.
Di samping itu, menurut Fitria soto di Lampung dominan bihunnya. Sementara nasi justru terkesan hanya sebagai menu pendamping. Sedangkan di Jogja terbalik, porsi nasinya lebih banyak ketimbang bihun. Bahkan sepengalamn Fitria, tidak sedikit warung soto di Jogja yang malah tak pakai bihun sama sekali.
“Di Jogja banyak soto yang gunain bawang putih goreng. Kalau di Lampung pakai bawang merah goreng, jadi seger,” tutup Fitria.
Namun, meski begitu, Jogja masih cukup berkesan di hati Fitria. Terlebih menurutnya selama tinggal di Jogja dalam rentang 2015-2019, harga makanan di Jogja cenderung mirip dengan harga makanan di Metro, Lampung. Tak terlalu mahal.
Tapi bagaimanapun, bisa kembali ke Lampung, mendapatkan pekerjaan di kampung halaman sendiri adalah hal yang sangat Fitria syukuri. Kini ia bisa kembali ke rutinitas awalnya sebelum merantau ke Jogja: eksplor soto dan mie ayam enak di Lampung.
Baca halaman selanjutnya…
Penyebab makanan Jogja manis-manis
Belanda di balik cita rasa manis makanan di Jogja
Cita rasa manis memang menjadi ciri khas makanan di Jogja. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh pakar Gastronomi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Minta Harsana.
Tak hanya makanan berat, cita rasa manis pun juga bisa didapati pada makanan ringan (kudapan). Dari 113 jenis kudapan di Jogja, kata Harsana, 60 persennya adalah bercita rasa manis.
“Di masa Belanda kan diterapkan cultuurstelsel (tanam paksa), di mana tanah yang dimiliki oleh warga 20 persennya wajib ditanami tebu. Di Jogja, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur waktu itu mayoritas menanami tebu,” jelas Harsana seperti Mojok kutip dari kanal YouTube CNN Indonesia.
“Bahkan dari Jogja (masa itu) cukup mendominasi, karena bisa mengirim 70,4 persen gula ke Eropa,” sambungnya.
Keterangan Harsana juga terkonfirmasi dalam buku Antropologi Kuliner Nusantara: Ekonomi, Politik, dan Sejarah di Belakang Bumbu Makanan Nusantara.
Dalam buku tersebut tertulis, pada masa berlakunya tanam paksa pada 1830, pemerintah Hindia Belanda mewajibkan petani di Jogja dan Jawa menanam tanaman komoditas ekspor. Antara lain tebu, kopi, dan teh.
Petani di kawasan Jogja, Jawa Tengah hingga Jawa Timur dipaksa menanam tebu. Sebab, kondisi lahan di sana sangat ideal untuk menanam tanaman penghasil gula.
Dalam rentang 1830-1870, terjadi krisis pangan di Pulau Jawa. Hal tersebut membuat masyarakat di Pulau Jawa pada akhirnya mengolah tebu untuk bertahan hidup. Saat itu tebu diolah menjadi bahan baku beragam makanan. Itulah kenapa kemudian masyarakat Jawa cukup akrab dengan cita rasa manis. Khususnya orang Jogja.
Pasalnya, setelah setelah berakhirnya masa tanam paksa, produksi gula di Jogja masih terus berlanjut. Tidak lain karena adanya kerja sama pihak Belanda dengan pecahan Kerajaan Mataram Islam: Keraton Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogjokarto Hadiningrat.
“Tapi ya tidak semua makanan di Jogja manis. Tidak sulit juga menemukan makanan dengan cita rasa pedas dan gurih,” tegas Harsana.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News