Kantin FBSB UNY merekam perjalanan hidup manusia-manusia di kampus paling berwarna di UNY. Bangunan dan ibu-ibu penjual kantinnya, mengingat perubahan manusia-manusia yang pernah singgah, dan jadi bagian cerita mereka.
***
Saya membetot gas PCX saya begitu dalam agar segera sampai UNY. Tapi kemacetan di lampu merah Condongcatur menghentikan pacu kencang motor dan meminta saya untuk bersabar. Mau tak mau, saya harus menunggu lampu merah berganti hijau sembari disirami panas Jogja yang begitu menyebalkan.
Tapi, tak lama, saya bisa melanjutkan perjalanan menuju FBSB UNY. Meski gas tak bisa saya betot dalam-dalam, karena macet. Dalam hati, saya lumayan bahagia, sebab, saya akan sampai di tempat paling berjasa selama kuliah: kantin kampus.
Bagi saya, kantin FBSB UNY seperti rooftop Suzuran, tempat orang-orang aneh kau temui dengan begitu mudah. Pemuda yang gaya merokoknya dibikin mirip dengan Chairil Anwar? Ada. Mahasiswa kuliah pake jubah Hokage Keempat? Ada, dan ini serius. Mahasiswa yang tak jadi masuk kelas karena tiba-tiba males? Oh, inilah titik kumpul mereka.
Tapi selayaknya rooftop Suzuran, di tempat inilah saya—dan mungkin beberapa manusia lain—merasa tinggi. Kantin jadi satu-satunya tempat di mana mahasiswa madesu seperti saya merasa menjadi manusia yang punya nilai. Semua setara di kantin, kecuali kau punya rokok sebungkus dan penuh, kau adalah raja.
Kantin FBSB UNY merekam banyak perjalanan hidup saya. Bolos kuliah, menunggu bimbingan, membicarakan dunia, semua saya lakukan di kantin. Tapi yang paling utama, di kantin lah saya bertemu istri saya.
Dan pada hari ini (05/06/2024), saya kembali, mengenang dan mencoba menggali kantin lebih dalam.
Ibu, kawan, dan kadang, malaikat
Bu Bambang adalah ibu, kawan, dan kadang, malaikat. Beliau menyapa banyak mahasiswa seakan-akan anak sendiri, mengajak berbincang seakan-akan kawan karib, dan menyelamatkan banyak perut mahasiswa yang uangnya sudah ludes. Salah satu penjual di kantin FBSB UNY ini, adalah sosok yang semua orang paling hormati di kantin, tak terkecuali saya.
Bu Bambang adalah satu-satunya orang di luar kawan karib saya yang hafal kapan kiriman uang saya datang. Jadi, beliau tak pernah bermasalah ketika saya terpaksa ngutang makan, sebab tau betul saya akan bayar utang tersebut. Bahkan sering menawari makan saja dulu, bayar nanti, yang tentu saja saya terima dengan bahagia. Jadi, bagi saya, dia salah satu orang terpenting selama saya kuliah.
Saya datangi Bu Bambang, mencium tangannya, sembari menanyakan kabar. Beliau sumringah, sembari mengomentari badan saya yang membesar. Saya hanya meringis, teringat betapa kurusnya saya dulu, hingga bikin orang curiga kalau saya pakai narkoba. Beliau juga cerita kalau beliau banyak baca tulisan saya di Mojok, dan jujur saja, saya bahagia.
Kantin FBSB UNY yang begitu ramai bikin perbincangan kami sempat tertunda. Tapi, setengah jam kemudian, kantin jadi sepi. Heningnya terdengar begitu jelas.
Bu Bambang mengajak saya pindah ke pendopo depan lapaknya, agar ngobrolnya jadi lebih nyaman. Lalu kami melanjutkan pembicaraan tentang bagaimana keadaan kantin, serta yang dilalui Bu Bambang selama ini.
Kantin FBSB UNY jadi kunci
Saya sedikit menggali informasi tentang kantinnya, seperti berapa sewa, omzet, apakah penjualan masih ramai. Bu Bambang menolak memberi informasi berapa sewa dan omzet secara detil, hanya dia bilang harga sewa tak berubah sejak lama. Perkara omzet, dia hanya bilang cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi, dia mengaku kalau dari jualan di kantin ini bisa menguliahkan dua anaknya di kampus swasta.
Lalu, saat bicara penjualan, barulah Bu Bambang bercerita banyak. Untuk sekarang, agak sepi karena ini masa minggu tenang. Jadi, mahasiswa tak banyak yang ada di kampus.
“Mahasiswa sekarang itu beda, Mas. Nggak kayak zaman dulu. Minggu tenang ya nggak di kampus, kalau libur ya libur. Dulu libur nggak libur sama aja, kalian-kalian ini kan yang selalu beli.”
Seketika saya teringat, saya lulus 6 tahun yang lalu. Tentu saja semuanya sudah berubah. Dunia memang berjalan, meninggalkan yang seharusnya.
Baca halaman selanjutnya