Awalnya Kuliah Kerja Nyata (KKN) menjadi program pengabdian masyarakat kepada warga desa, terutama dari desa-desa tertinggal. Sederhananya, mahasiswa dikirim ke desa untuk diperbantukan dalam mengatasi problem-problem tertentu dari suatu desa.
Namun, kenyataannya makin ke sini justru ada saja warga yang malah muak dengan mahasiswa KKN. Sebab, alih-alih membantu dan memberi kontribusi signifikan, mahasiswa KKN malah menjadi beban.
***
Melansir dari laman Kemendikbud Ristek, setidaknya ada enam output KKN bagi mahasiswa dan masyarakat, yakni:
- Meningkatkan kepedulian sosial
- Menerapkan ilmu dan keterampilan dari kampus di dalam masyarakat
- Mengembangkan diri
- Menumbuhkan kreativitas masyarakat
- Meningkatkan kesehatan masyarakat
- Meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa
Akan tetapi dalam praktiknya, semakin ke sini ada saja oknum kelompok mahasiswa KKN yang tak peduli dengan output tersebut. KKN tidak lebih hanya sekadar kegiatan formalitas-administratif untuk menunjang kelulusan.
Di level paling parah, alih-aih menjadi medium untuk bermanfaat bagi masyarakat, KKN justru jadi sarana untuk main-main.
Mahasiswa KKN bermalas-malasan
Mojok sempat berbincang dengan Zias (22), salah seorang mahasiswa Bandung, pada Kamis (11/7/2024) lalu. Zias masih bersungut-sungut saat menceritakan kondisi kelompoknya saaat KKN pada 2022 silam.
Saat itu Zias dan 12 mahasiswa lain dari Bandung dikirim ke sebuah desa di Cisarua, Bandung Barat.
Awalnya, warga menyambut baik kedatangan mereka. Namun, lama kelamaan warga setempat seolah tak peduli dengan keberadaan si mahasiswa KKN. Sebab pada praktiknya, sebulan lebih mereka hanya menjadi benalu: tak memberi dampak apapun pada kemajuan desa.
“Malahan kami nyaris nggak pernah rapat buat bikin program apaan gitu buat warga,” ujar Zias.
Zias sebenarnya sudah kelewat sering mengajak teman-teman kelompoknya untuk berinisiatif terlibat dalam kegiatan warga. Tapi mereka, kata Zias, malah lebih suka mager-mageran, hanya santai-santai di posko.
“Warga bodo amat banget sama kepergian kami (seolah silakan lekas pergi). Karena kehadiran kami juga nggak berguna,” kenang Zias saat momen perpisahan kelompoknya dengan warga desa.
Buka les-lesan jadi program andalan
Pada 2020 silam, Rofal (15) masih duduk di bangku kelas 6 SD. Saat itu Rofal cukup antusias dengan keberadaan mahasiswa KKN di desanya di Rembang, Jawa Tengah.
Nyaris setiap malam ia datang ke posko KKN. Karena di sana ada anak-anak KKN dari kampus swasta Jawa Timur membuka les dan forum belajar kelompok. Kadang juga bikin permainan untuk seru-seruan. Terlebih itu adalah momen pertama kali bagi Rofal bersinggungan dengan mahasiswa dari luar daerah.
Namun, seiring waktu Rofal malah merasa biasa saja. Sebab, setelah dirasakan ternyata tidak ada program baru yang ditawarkan oleh anak-anak KKN tersebut pada desanya.
“Misalnya 2021 lalu. Kegiatannya ya sama saja dengan pas 2020. Cuma buka les dan main sama anak-anak,” tutur Rofal, Sabtu (13/7/2024).
“Sempat ada acara nobar layar tancap di balai desa. Tapi filmnya pun film yang sudah sering dilihat di TV. Jadi warga nggak minat,” sambung bocah desa yang kini sudah duduk di bangku SMK itu.
Selain itu, kalau ada program lain yang bisa bikin ramai adalah karnaval dan kegiatan 17 Agustusan. Padahal, kata Rofal, tanpa anak KKN pun sebenarnya Karang Taruna dan warga desa sudah bisa sendiri bikin acara 17 Agustusan, karena sebelumnya memang sudah cukup sering.
“Tahun ini ada lagi mahasiswa KKN di desaku, belum tahu dari kampus mana, tapi sudah nggak terlalu peduli, sih,” tutup Rofal.
Baca halaman selanjutnya…
Warga mulai muak karena mahasiswa KKN nggak bantu atasi masalah
Warga muak dengan mahasiswa KKN
Masih di Rembang, saya sempat berbincang dengan Dudin (34), tetangga Rofal. Ia mengaku bahwa beberapa warga desanya sebenarnya sudah “muak” dengan kehadiran warga KKN.
Lantas kenapa dari tahun ke tahun masih diterima? Alasannya ternyata lebih karena tidak enak. Ada orang mau bertamu dengan niat baik, masa ditolak mentah-mentah. Ya meskipun sering kali niat tak sejalan dengan apa yang dipraktikkan.
“Kalau boleh jujur, kegiatan atau program KKN mereka ya cenderung huru-hara. Misalnya kegiatan 17 Agustusan. Kan cuma ramai-ramai,” ungkap Dudin.
“Kalau tidak ya kadang kegiatan yang itu-itu aja dan sebenarnya di desa sudah jalan. Kayak ngajar les, itu di desa sudah jalan tanpa mereka. Lalu bikin plakat penunjuk arah yang sebenarnya warga sini juga nggak butuh-butuh amat,” sambung pria yang masih aktif di Karang Taruna itu.
Sementara Dudin ingin mahasiswa KKN bisa membantu warga dalam mengatasi persoalan-persoalan serius nan fundamental. Misalnya, sampah dan ketersediaan air bersih yang memang menjadi persoalan serius di desa Dudin.
Maka, bagi Dudin, mahasiswa harus turut memikirkan cara agar dua masalah tersebut bisa teratasi. Tidak harus tuntas, tapi setidaknya ada upaya dan berdampak kecil pun tak masalah. Jangan hanya berkutat pada bikin les-lesan atau 17 Agustusan saja.
Output KKN perlu diubah
Saya lantas meminta pendapat dari seorang akademisi mantan dosen di kampus swasta Jogja, Vianto. Dengan cara pandang masyarakat terhadap mahasiswa KKN yang seperti di atas, apa KKN masih relevan?
“Kita bicara soal output. Kalau sekarang output-nya agar mahasiswa menyusun program KKN guna membantu warga desa, jadinya nggak relevan. Karena ternyata warga desa sudah bisa mandiri,” ujari Vianto, Senin (15/7/2024) pagi WIB.
Lebih-lebih, saat ini banyak KKN yang tidak sesuai sasaran. Harusnya menyasar daerah tertinggal, mahasiswa justru dikirim ke daerah-daerah yang sudah maju dan mandiri hanya karena faktor “sudah terjalin relasi”.
Dengan begitu, jika mahasiswa tidak bisa menyuguhkan hal baru bagi pengembangan desa, yang terjadi akan sama seperti di desa Rofal dan Dudin: warga muak karena mahasiswa KKN dianggap tidak mampu memberi solusi konkret atas suatu persoalan.
“KKN masih relevan jika paradigma output-nya diubah. Jadi bukan untuk membantu warga desa, tapi mahasiswa belajar ke warga desa tentang kompleksitas hidup di desa. Belajar bagaimana warga bertahan dan mengatasi suatu masalah,” jelas Vianto.
Output tersebut bagi Vianto lebih relevan dengan kondisi mahasiswa saat ini. Mengingat, tidak sedikit anak kampus yang ketika pulang ke kampung halaman justru gagap, bingung mau berbuat apa untuk desanya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.