Sisi Lain Mahasiswa “Jurusan Agama Islam” di Jogja: Mabuk dan Maksiat Jalan, Ibadah Juga Lancar

mahasiswa jurusan agama islam.MOJOK.CO

Ilustrasi - Sisi Lain Mahasiswa “Jurusan Agama Islam” di Jogja: Mabuk dan Maksiat Jalan, Ibadah Juga Lancar (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagi narasumber Mojok, kuliah di jurusan agama Islam tak menjamin mahasiswa menjadi “suci”. Malahan, banyak yang tetap mabok, main judol, bahkan kumpul kebo. Istilah dia: ibadah dan maksiat seimbang.

***

Malam itu, di sebuah angkringan di utara Kota Jogja, Rafi* (22) menyalakan rokok sambil memandangi kopi di atas meja. Di sana, ia duduk bersama empat temannya, mahasiswa lain dari berbagai kampus.

Tawa, asap, dan musik pelan, bercampur dalam suasana malam yang hening.

“Eh, kalau kalau ngomongin Tuhan hati-hati, ada ustaz,” celetuk salah satu temannya menunjuk Rafi. Tawa pun seketika meledak. 

Kalimat itu bukan penghinaan, melainkan candaan yang sudah jadi kebiasaan. Setiap nongkrong, Rafi tak pernah lepas dari label alim hanya karena ia kuliah di “jurusan agama Islam”.

Menanggapi candaan itu, biasanya Rafi cuma ikut tertawa. Namun, sebenarnya hatinya merasa getir. Merasa ada yang ganjal saat candaan tadi dilontarkan.

 “Aku kayak selalu diawasin. Nggak boleh ngomong kotor, selalu dituntut suci. Padahal, ya, cuma nongkrong biasa,” katanya, Sabtu (4/10/2025) lalu, ketika ditemui di Jogja.

“Beban aja jadi mahasiswa jurusan agama Islam.”

Kuliah di Jurusan Agama Islam karena “dihukum” orang tua

Rafi bukan anak pesantren. Bukan pula anak ustaz. Kebetulan saja, setelah gagal masuk jurusan impiannya di universitas negeri, ia memilih kuliah di salah satu kampus swasta Jogja. Pilihannya jatuh pada jurusan S1 Pendidikan Agama Islam.

Kampus dan jurusan ini dipilih lantaran kemauan orang tuanya. Awalnya, ia mengira orang tua memilihnya karena nama besar kampus. 

Namun, lama kelamaan, ia merasa jurusan dan kampus itu dipilih sebagai hukumannya.

“Kayak pengen didisiplinkan sama orang tua,” ujarnya. “Kaya ada rasa, ‘mampus, rasain, siapa suruh nggak lolos PTN.”

Karena tak bisa melawan kehendak orang tua, ia terima saja kuliah di jurusan tersebut. Toh, bagi dia, nggak ada bedanya. Lingkungan, pertemanan, masih laiknya circle-circle lain. Paling-paling, ia cuma harus sedikit effort buat mengikuti materi perkuliahan.

“Kuliah di jurusan agama Islam mah nggak ada bedanya sama jurusan lain. Pertemanan gitu-gitu aja.”

Ada yang rajin salat, ada juga yang rajin main slot

Seiring waktu, Rafi memang belajar banyak hal tentang agama Islam. Namun, ia juga menyadari satu hal, bahwa belajar agama tak otomatis membuat seseorang menjadi alim atau suci.

Setidaknya, ini terlihat dari teman-teman satu jurusan di kampusnya.

“Manusia ya tetap manusia. Ada yang rajin ngaji, ada juga yang rajin nge-slot,” katanya sambil tertawa.

Teman-temannya di kampusnya amat beragam. Ada yang taat dan aktif di masjid kampus, banyak pula yang tiap malam nongkrong sambil menenggak minuman keras.

“Lucunya, yang mabuk kadang tetap salat Subuh,” ia menambahkan. “Ibadah jalan, maksiat juga jalan.”

Ibadah dan maksiat seimbang

Fenomena tadi, bagi Rafi sendiri, mengamini apa yang pernah dikatakan dosennya.

“Ilmu agama tidak menjamin kesalehan.”

Kira-kira begitu yang mahasiswa jurusan agama Islam ini ingat.

Dan, benar saja. Ia bercerita, di kampusnya ada mahasiswa yang tinggal satu kost dengan pacar alias kumpul kebo.

Banyak dari teman-temannya yang bahkan terang-terangan mengakui hal tersebut. Tanpa ada perasaan tabu, apalagi berdosa. Mojok sendiri pernah menulis fenomena kumpul kebo di kalangan mahasiswa Jogja dalam liputan berjudul “Kisah Dua Wajah Mahasiswa di Kota Pelajar Jogja: Alim di Desa, Kumpul Kebo di Kota Demi Hemat”.

“Kalau orang luar tahu, pasti bilang munafik. Tapi kalau lihat lebih dekat, ya mereka tetap salat, tetap puasa. Mereka cuma berjuang dengan dosanya masing-masing,” kata dia.

Rafi tak menampik, dirinya pun pernah “melenceng”. Ia mengaku salat masih bolong, kata-kata kotor kadang lolos bagaikan rem blong.

“Makanya aku nggak mau menghakimi teman-temanku yang maksiat. Karena aku sendiri juga nggak suci. Cuma mau menyampaikan aja, kalau fenomena kayak begitu, di kalangan kami ya banyak.”

Beban dan tuntutan moral sebagai mahasiswa jurusan agama Islam

Alhasil, Rafi merasa bahwa tantangan terbesar sebagai mahasiswa jurusan agama Islam bukan sekadar menjaga diri. Melainkan menghadapi ekspektasi orang lain.

Misalnya, seperti tercermin dalam dialog di awal, setiap kali nongkrong teman-temannya kerap menahan ucapan, seolah takut diceramahi. 

“Kadang ada yang begitu aku datang, mereka langsung berhenti ngomong soal hal-hal ‘duniawi’. Kayak aku ini polisi moral,” ujarnya.

Kehidupan sebagai mahasiswa jurusan agama Islam membuatnya hidup dalam dua dunia. Di satu sisi dituntut tampil religius, dan di sisi lain ingin tetap jadi manusia biasa. 

“Kadang aku iri sama teman dari jurusan lain. Mereka bebas ngomong kasar tanpa dihakimi,” ujarnya.

Namun di balik rasa lelah itu, Rafi belajar memahami makna belajar agama.

“Kalau dulu kupikir belajar agama buat orang jadi suci, sekarang aku tahu, belajar agama itu buat ngerti kenapa aku sering nggak suci,” pungkasnya.

*bukan nama sebenarnya

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Jadi Mahasiswa UIN Merasa Rendah Diri karena Kena Banyak Label Menyebalkan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version