Bagaimana Seharusnya UGM Berkontribusi bagi Masyarakat: Tak Sekadar Nulis Jurnal di Scopus

Ilustrasi - Diest Natalis ke-75 UGM: wacana untuk menekankan kembali kontribusi UGM bagi masyarakat. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Menjelang Dies Natalies ke-75 dan Lustrum ke-15 Universitas Gadjah Mada (UGM), salah satu kampus top di Jogja itu ingin merekonstruksi bagaimana sejarah UGM berdiri dan bagaimana seharusnya hadir memberi kontribusi bagi masyarakat dan bangsa. Bukan hanya terbatas pada banyak-banyakan menulis jurnal di Scopus saja.

***

Siang yang berangin di Jogja utara, diskusi “Pojok Bulaksumur” di Selasar Tengah Gedung Pusat UGM berlangsung dengan tensi penuh semangat.

Selasa (26/11/2024) pukul 13.00 WIB, Arie Sujito—Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaaan UGM sekaligus Ketua Panitia Dies Natalis ke-75—memulai diskusi siang itu dengan memaparkan bagaimana seharusnya praktik demokrasi dijalankan di Indonesia.

Diest Natalis ke-75 UGM:Wacana untuk Menekankan Kembali Kontribusi UGM bagi Masyarakat MOJOK.CO
Arie Sujito dalam diskusi Pojok Bulaksumur. (Aly Reza/Mojok.co)

Untuk diketahui, Dies Natalis ke-75 UGM akan dibuka dengan Seminar Nasional bertajuk “Pengalaman Resolusi Konflik, Perdamaian dalam Konteks Masa Depan Demokrasi Indonesia”. Persisnya pada Kamis (28/11/2024), sehari setelah gelaran Pilkada 2024 rampung.

“Seminar itu nanti akan membahas, apakah demokrasi ke depan itu akan membaik atau tidak,” jelas Arie.

Jangan perlemah peran masyarakat sipil

Menurut Arie, dalam penyelenggaraan demokrasi, masyarakat sipil memiliki banyak sekali peran dalam membangun situasi-situasi demokratis. Sebab, negara pada dasarnya tidak sekadar dikontrol oleh elemen-elemennya (eksekutif, legislatif, yudikatif).

Akan tetapi, negara juga butuh pengawasan dari masyarakat sipil agar penyelanggaraan demokrasi bisa terkontrol. Sebab, jika tidak diawasi, maka negara akan cenderung korup dan melakukan rangkaian penyalahgunaan.

“Kalau peran masyarakat sipil terus diperkecil, diperlemah, maka demokrasi akan memburuk,” kata Arie.

Momen diskusi “Pojok Bulaksumur”. (Aly Reza/Mojok.co)

“Jadi diskursus soal oligarki itu hanya beberapa lapis saja dari diskursus demokrasi. Yang harus kita bicarakan adalah peran media, masyarakat sipil, ormas, dan sejenisnya, jangan sampai terlipat sehingga memberi ruang kembali pada otoriatarianisme,” imbuhnya.

Bayangan kita soal otoritariansime saat ini, lanjut Arie, mungkin beda seperti dulu. Namun, sekarang modelnya tersistem dalam produk hukum yang membuatnya samar, dan itu justru lebih membahayakan demokrasi.

Dies Natalis ke-75: mengingat kembali pengabdian UGM

Lebih lanjut, secara garis besar Arie menjelaskan, Dies Natalis ke-75 UGM akan merekonstruksi perjalanan intelektual dan pengabdian UGM selama 75 tahun.

“Ada simbolisasi perjalanan UGM melalui gelaran Nitilaku. Tapi itu hanya bagian untuk mengajak masyarakat memahami bagaimana sejarah UGM berdiri. Tapi tahun ini saya ubah, tidak sekadar romantisme perjalanan,” beber Arie.

Jauh lebih penting dari itu adalah transformasi UGM selama 75 tahun. Tentang bagaimana perjalanan pengetahuan dan pengabdian yang dilakukan para intelektual UGM dari masa ke masa.

Gambaran perjalanan intelektual dan pengabdian UGM tersebut nantinya akan disajikan pula dalam sebuah pameran di Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK) UGM.

Dies Natalies ke-75 UGM: kontribusi tak sekadar nulis jurnal

Lewat Dies Natalies ke-75, Arie ingin menekankan kembali perihal bagaimana seharusnya intelektual UGM harus mendedikasikan pengetahuannya terhadap masyarakat dan melayani bangsa ini melalui aktivitas Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Selama 75 tahun, UGM memang sudah melahirkan banyak tokoh-tokoh besar yang bisa dilacak kiprahnya. Yang baru saja wafat misalnya, Prof. Ichlasul Amal.

Dia adalah mantan Rektor UGM dan mantan Ketua Dewan Pers. Dalam gelombang aksi mahasiswa pada 1998, Prof. Ichlasul Amal menjadi rektor yang berani pasang badan saat gerakan mahasiswa. Padahal di masa itu, aktivis kampus kerap ditangkap dan di-sweeping oleh tentara.

“Itulah kontribusi. Kalau sekadar nulis jurnal di Scopus, itu kan untuk diri sendiri,” kata Arie.

Arie Sujito dalam diskusi “Pojok Bulaksumur”. (Aly Reza/Mojok.co)

“Yang harus dilakukan, bagaimana jurnal itu terdistribusi, tersebarluaskan, sehingga mampu menginspirasi orang lain dalam banyak hal. Termasuk bagaimana kita memfasilitasi masyarakat untuk menciptakan perdamaian,” tegasnya.

Poin-poin itu lah yang kemudian akan jadi topik dalam Dies Natalies ke-75 dan Lustrum ke-15 UGM.

Rangkaian Dies Natalies ke-75 dan Lustrum ke-15 akan berlangsung dalam rentang 28 November-19 Desember 2024. Untuk apa saja rangkaian acaranya bisa dicek di sini.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Sukses Tuntaskan S1 Peternakan di UGM, Saya Pilih Abdikan Diri “Mengurus” Sapi di Papua

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

 

 

Exit mobile version