Laporan dari Georgetown University memasukkan Arkeologi ke dalam daftar jurusan kuliah dengan peluang karier sempit—dan bahkan bergaji rendah. Namun, lulusan Universitas Indonesia (UI) memberi pengakuan berbeda.
Nabila (24) lulus dari Arkeologi UI pada 2022. Kini dia bekerja di bidang digital marketing and community specialist. Bidang kerja yang jelas berseberangan dengan jurusan yang dia ambil.
Arkeologi Unversitas Indonesia (UI): jurusan unik, prospek kerja dipertanyakan
Setelah riset mendalam, pada 2018 Nabila mantap kuliah di jurusan Arkeologi UI. Dia memang menaruh minat pada sejarah peradaban manusia.
Ketika mengambilnya, sebenarnya banyak orang di lingkungan Nabila yang merasa amaze, karena memandang Arkeologi sebagai ilmu yang memerlukan keterampilan khusus. Pasalnya, sepintas memang memerlukan rangkaian teknik dalam proses penggalian peninggalan peradaban manusia.
Akan tetapi, masih banyak orang yang mempertanyakan: apakah peluang kerjanya cukup besar di Indonesia?
“Lantas kenapa aku ambil Arkeologi? Aku melihat kuliah itu bukan jalur cari kerja, tapi untuk eksplor. Tapi memang nggak banyak orang berpikir seperti ini,” ungkap Nabila, Senin (10/3/2025).
“Aku dari dulu terpapar buku dan film adventure. Jadi melihat Arkeologi sebagai profesi yang passion. That’s why aku pilih Arkeologi, meski mostly orang bertanya: kerjanya nanti bakal bagaimana,” sambungnya.
Masih akan terus relevan
Selama kuliah di Arkeologi UI, Nabila mengaku all out. Baik dalam konteks pembelajaran di kelas maupun saat ekspedisi di lapangan. Apalagi di Universitas Indonesia dia bertemu dengan para profesor yang tampak sangat mencintai pekerjaannya sebagai Arkeolog.
Nabila semakin merasa Arkeologi adalah passion baginya karena narasi bahwa para Arkeolog adalah juru kunci dalam mengungkap sejarah masa lalu (yang berbasis peninggalan material manusia). Dan di Indonesia, peninggalan-peninggalan itu ada banyak.
“Menurutku Arkeologi masih relevan dipelajari sampai kapanpun. Urusannya bukan hanya eskavasi (penggalian), tapi juga meluruskan narasi sejarah,” beber Nabila.
Misalnya kasus Gunung Padang. Narasi tentang gunung tersebut masih simpang siur. Masyarakat bahkan mengaitkannya dengan aspek mistis. Di sinilah pentingnya peran Arkeolog: meneliti apakah Gunung Padang hanya punden berundak, hingga pernah ada peradaban atau tidak.
“Ada situs lain yang sering dikaitkan dengan folklore atau dongeng (bukan sumber primer), sehingga Arkeolog harus memperbarui beberapa narasi berbasis penelitian ilmiah,” lanjut Nabila.
Contohnya adalah Candi Sewu. Cerita rakyat menyebut, candi tersebut dibangun dalam waktu satu malam oleh Bandung Bondowoso atas bantuan jin. Tugas Arkeolog adalah menyajikan narasi penyeimbang berupa temuan faktual untuk menjelaskan bagaimana teknologi masa lalu membangun bangunan seperti Candi Sewu atau candi-candi lain.
Salah paham yang perlu diluruskan
Ada salah paham yang, menurut Nabila, harus diluruskan perihal apa yang dipelajari di jurusan Arkeologi.
Salah paham paling umum adalah, Arkeologi sering kali dianggap belajar juga soal dinosaurus. Kata Nabila, anggapan itu tidak tepat. Sebab, jurusan ini hanya mempelajari peninggalan peradaban manusia. Kalau peradaban dinosaurus, itu ranahnya Paleontologi dan Geologi.
“Kami mempelajari material peninggalan manusia terdahulu. Paling umum ada artefak, ekofak, fitur (suatu bangunan yang non-moveable buat tempat tinggal, seperti goa atau kejokkenmoddinger), situs (daerah yang memuat artefak, ekofak, fitur dalam satu tempat), dan kawasan (berisi kumpulan situs, seperti candi Borobudur,” terang Nabila.
Selain itu, ada beberapa pembelajaran lain yang pada akhirnya tidak hanya berguna selama perkuliahan saja, tetapi juga bisa berguna di dunia kerja kelak sekalipun tidak menjadi seorang Arkeolog.
“Belajar teknologi dan digital juga. Misalnya pakai total station (pengukur jarak). Itu biasa dipakai anak jurusan teknik. Biasanya—kalau di Arkeologi UI—jadi alat bantu dalam eskavasi,” papar Nabila.
Praktik eskavasi pun tidak sederhana. Sebab harus detail, tidak boleh luput poin kecil pun. Misalnya, peralatan yang dipakai tidak boleh asal, tapi harus sesuai dengan lokasi. Penggalian pun harus dengan teknik khusus yang dilengkapi dengan kemampuan etnografis.
Kemampuan etnografis (berbaur dengan masyarakat) akhirnya memberi bekal kecapakan bersosialisasi/berkomunitas dan bahkan public speaking.
Dalam konteks kuratorial, kuliah di jurusan Arkeologi juga harus belajar menulis dan membaca data. Ini kan juga keterampilan. Semua keterampilan tersebut akan ditopang dengan kemampuan critical thinking yang—setidaknya di Arkeologi UI—dibekalkan pada setiap mahasiswanya.
Pekerjaan para lulusan Arkeologi Universitas Indonesia (UI)
Dalam pengamatan Nabila, di Indonesia lulusan Arkeologi biasanya hanya bisa bekerja di bawah pemerintah. Mengingat, segala situs arkeologi adalah milik negara.
“Beberapa alumni Arkeologi UI yang aku tahu lulus terjun di projek Arkeologi. Ada yang jadi PNS di Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), museum, pemprov, freelance eskavasi, kurator museum, fotografer untuk dokumentasi artefak,” jelas Nabila.
Jika ingin fokus di bidang Arkeologi, itulah peluang-peluang kerja yang tersedia di Indonesia. Tapi, seperti yang Nabila singgung, skill-skill lain yang didapat selama kuliah juga bisa berguna untuk bekerja di bidang lain.
“Kalau aku saat kuliah ambil keterampilan lain juga di luar kampus, seperti magang dan sejenisnya,” kata Nabila. Itulah kenapa akhirnya dia kini bekerja di bidang digital marketing.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Jurusan Pengobat Tradisional di Unair, Kuliahnya Nggak Hanya Bikin Jamu atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan