3 Proker KKN yang Rutin Dijalankan Mahasiswa Tapi Aslinya Nggak Guna di Mata Masyarakat

3 Proker KKN yang Rutin Dijalankan Mahasiswa Tapi Aslinya Nggak Guna di Mata Masyarakat.MOJOK.CO

Ilustrasi - 3 Proker KKN yang Rutin Dijalankan Mahasiswa Tapi Aslinya Nggak Guna di Mata Masyarakat (Ega Fansuri/Mojok.co)

Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebenarnya punya tujuan yang bagus, baik bagi mahasiswa yang menjalani maupun masyarakatnya. Laman resmi Kemendikbud RI menyebut, setidaknya ada beberapa output yang diharapkan dari program kerja (proker) KKN yang dijalankan.

Dari sisi mahasiswa, KKN diharapkan mampu meningkatkan kepedulian sosial, implementasi ilmu perkuliahan di masyarakat, serta pengembangan diri mereka. Sementara bagi masyarakat, kehadiran KKN diharapkan dapat menumbuhkan kreativitas, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat desa.

Sayangnya, ada banyak proker KKN yang rutin dijalankan mahasiswa, tapi sebenarnya tak terlalu berguna bagi masyarakat yang terdampak. Keluhan ini, salah satunya dirasakan Ridho (28), warga Wonogiri yang desanya menjadi langganan tempat KKN mahasiswa.

Tiap tahunnya, setidaknya ada satu kampus yang selalu menerjunkan mahasiswa ke desanya. Salah satunya adalah PTS di Solo, yang memang telah menjalin kerjasama dengan desanya terkait program kampus tersebut.

“Tapi dari SD sampai sekarang sudah punya anak, aku belum merasakan hasil KKN yang benar-benar bermanfaat. Kalau aku bilang, sih, karena proker template. Udah tahu nggak guna, tahun depan dijalankan lagi,” ucapnya kepada Mojok pada Rabu (17/7/2024).

#1 Pembuatan plang penanda yang nggak berguna

Program pertama sebenarnya absurd, tapi justru menjadi “primadona” di kalangan mahasiswa KKN karena mudah dijalankan.

Kata Ridho, proker KKN yang rutin dijalankan oleh mahasiswa KKN di desanya adalah pembuatan plang penanda. Entah itu plang penanda jalan, lokasi tertentu (batas RT, RW, dan sejenisnya), atau fasilitas publik seperti masjid hingga bak pemandian umum.

Selama ini, Ridho selalu mempertanyakan apa esensi program kerja tersebut. Sebab, bagi warga desa, tanpa adanya plang itu pun mereka sudah familiar dengan lokasi-lokasi yang ditandai.

“Desa itu kan lingkupnya kecil. Jalan ke barat, timur, utara, ketemunya ya itu-itu aja. Maksudku, masyarakat desa sudah familiar dengan lokasi-lokasi yang ditandai bahkan tanpa perlu plang sekalipun,” ungkapnya.

“Ini yang terkadang bikin kami warga desa kesal. Kami sebenarnya membutuhkan apa, malah dikasihnya apa,” tegasnya.

#2 Bikin event jalan sehat tanpa mengajari pembuatan proposal

Proker KKN lain yang kerap dijalankan mahasiswa adalah event jalan sehat. Dari sisi mahasiswa, selain mudah dijalankan, sebenarnya proker ini punya tujuan baik.

Else (22), mahasiswa salah satu PTN Jogja yang beberapa bulan lalu merampungkan KKN, menjelaskan event jalan sehat itu ibarat “sekali dayung dua pulau terlampaui”.

“Bagi kami para mahasiswa, jalan sehat itu kan kerja kolektif. Kita belajar caranya bikin acara, sejak penyusunan proposal sampai eksekusi acara,” kata mahasiswa asal Bandung ini, Kamis (18/7/2024).

“Sementara bagi warga masyarakat, ini hiburan bagi mereka. Karena bisa berpartisipasi ke acara yang menyehatkan, tapi juga menyenangkan,” sambungnya.

Di desa Ridho, event jalan sehat menjadi satu dari banyaknya “proker template” yang ia bilang tadi. Dan, yang ia dan banyak masyarakat rasakan, proker ini tak terlalu berguna.

“Aku paham, semangat awalnya kan pasti meningkatkan rasa gotong royong karena eventnya dikerjakan secara kolektif,” kata Ridho.

“Tapi ini penghinaan saja menurutku. Urusan administrasi hanya diatur mahasiswa, masyarakat nggak dilibatkan. Kami cuma disuruh ngerjain pekerjaan-pekerjaan kasar. Padahal, masyarakat kan juga butuh diajari, misalnya, pembuatan proposal sampai pengajuannya,” tegas pemuda Wonogiri ini.

Baca halaman selanjutnya…

Proker #3 yang paling bikin jengkel dan alasan banyak mahasiswa cenderung “menggurui” warga desa

#3 Proker KKN yang menggurui masyarakat

Mojok juga pernah mendapatkan keluhan dari salah satu warga di Jogja terkait pelaksanaan proker KKN mahasiswa. Alim (32), salah satu tokoh pemuda di desa tersebut, pernah mengeluh karena mahasiswa sangat “sok tahu” soal produksi pupuk kompos.

Alim bercerita, sudah lebih dari dua puluh tahun masyarakat desanya mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos. Pengetahuan soal ini juga diturunkan secara turun temurun. 

Tiap keluarga sudah menggunakan pupuk kompos untuk perkebunan skala kecil maupun skala menengah. “Jadi, kompos itu udah jadi pengetahuan umum di sini,” jelas Alim.

Ketika ada mahasiswa KKN datang, mereka merancang program pembuatan kompos dengan metode mereka sendiri. Ironisnya, metode yang dipakai masyarakat desa selama ini ternyata jauh lebih efektif.

Namun, yang bikin Alim sakit hati, di laman kampus PTN tersebut muncul pemberitaan kalau mahasiswa KKN “berhasil mengajari warga membuat pupuk kompos”.

“Ketika saya membaca berita tersebut, saya merasa dihina, masyarakat merasa digurui. Padahal tanpa adanya proker KKN itu pun, kami warga desa sudah paham bahkan memakai kompos selama bertahun-tahun,” jelas Alim.

‘Malahan, kalau boleh jujur, metode yang dipakai mahasiswa KKN kemarin buruk sekali. Nggak berguna bagi kami.”

Alasan proker KKN template dan cari gampangnya

Mojok juga mewawancarai Ahmad (37), akademisi PTS di Jogja sekaligus dosen yang beberapa kali menjadi dosen pembimbing KKN.

Menurut Ahmad, ada kecenderungan “messiah complex” dari para mahasiswa KKN dalam memandang masyarakat desa. Gampangnya, banyak mahasiswa yang menganggap diri mereka “penyelamat” saat tiba di desa lokasi KKN.

“Karena mereka hadir sebagai kelompok yang lebih superior secara pengetahuan, para mahasiswa KKN menempatkan masyarakat desa sebagai kelompok yang lebih inferior dan wajib ditolong,” jelasnya, Kamis (18/7/2024).

“Padahal KKN itu prinsipnya saling belajar. Warga belajar dari ilmu mahasiswa yang didapat di kampus, sementara mahasiswa belajar dari masyarakat melalui kehidupan mereka. Tak boleh ada proses saling menggurui.”

Ahmad juga menyoroti banyaknya proker KKN yang asal jadi dan mencari gampangnya saja. Ia sebenarnya tak terlalu mempermasalahkan hal ini. Sebab, dari pengalamannya mendampingi mahasiswa KKN, program kerja kerap terbentur dengan keterbatasan akomodasi dan logistik.

“Jadi memang tak bisa mengharapkan sesuatu yang besar dari KKN. Baik mahasiswa maupun masyarakat, ambil ilmunya saja. Kalau berharap perubahan besar, tagih ke pemerintah setempat,” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA Rasanya Satu Kelompok KKN dengan Anak Caleg, Semua Urusan Jadi Mudah Meski Suasana Bikin Tak Betah

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version