Salma (23) berhasil membuktikan bahwa sarjana dari kampus yang kurang mentereng bisa berkarya, bahkan bisa sampai “bekerja” di luar negeri. Meski selama kuliah di Politeknik Negeri Malang (Polinema), ia merasa salah jurusan tapi ia tekun mengikuti lomba untuk mengasah minatnya.
***
Dibanding kampus-kampus yang ada di Malang, Polinema memang kurang mentereng. Bandingkan saja dengan Universitas Brawijaya yang berada di posisi 780 di dunia menurut lembaga pemeringkatan Webometrics pada 2025. Sedangkan, Polinema menempati posisi ke 7.117 di dunia berdasarkan survei yang sama.
Selain itu, Salma juga mengaku tidak srek dengan jurusan pilihannya yakni Teknik Elektro. Tapi apa mau dikata. Mau pindah jurusan ke bidang ekonomi yang sesuai dengan minatnya pun bakal susah. Sebagai mahasiswa yang mendapat bantuan biaya pendidikan (bidikmisi), ia merasa tak boleh macam-macam.
Jika bidikmisinya tak mau dicopot, maka nilainya pun harus bagus. Alih-alih, merengek karena merasa salah jurusan, ia ingin berusaha semaksimal mungkin untuk lulus dan meraih gelar pendidikan tinggi. Mimpinya sederhana, yakni membantu sesama perempuan agar lebih berdaya.
Ditolak kampus ternama hingga berakhir di Polinema
Salma lahir di desa kecil, Pasuruan, Jawa Timur. Keinginannya kuliah berangkat dari pengalamannya melihat realitas sosial yang ada. Salah satunya, budaya patriarki yang masih melekat di sana. Tak jarang Salma melihat fenomena pernikahan diri dan rendahnya pemberdayaan perempuan.
Sebuah manifestasi dari tugas perempuan yang hanya macak, masak, manak. Ia merasa perempuan jadi sulit bermimpi. Untungnya, keluarga Salma mendukung penuh pilihannya untuk meraih pendidikan tinggi, meskipun ‘hanya’ di Polinema.
Sebuah kampus yang kurang diminati dan sering kali bukan menjadi rujukan pertama bagi anak-anak lulusan SMA. Mulanya, ia sendiri berharap diterima di Universitas Brawijaya (UB) atau Institut Teknologi Bandung (ITB).

Namun, tak lolos di jalur undangan hingga akhirnya diterima di Polinema Jurusan Teknik Elektro. Ia pun tak pernah membayangkan harus berkutat mempelajari listrik dan magnet, tapi Salma tetap bersyukur karena masih mendapatkan kesempatan untuk kuliah.
“Meskipun Teknik Elektro atau jurusan apapun, aku merasa nggak ada yang sia-sia karena ilmu itu pasti ada manfaatnya. Sejatinya, kuliah itu untuk membentuk pola pikir,” ucap Salma.
Polinema membantu mahasiswanya berkembang
Beruntung, Polinema tak membatasi minat Salma untuk berkembang. Ia juga tidak menyerah untuk mengeksplor diri. Maka, selama kuliah, ia aktif mengikuti lomba yang difasilitasi oleh kampus terutama di bidang entrepreneurship.
“Aku ikut kegiatan non akademik seperti program-program sosial, termasuk Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dan Program Mahasiswa Wirausaha (PWM) yang mendapatkan pendanaan internal dari Polinema,” ucap Salma kepada Mojok, Kamis (10/4/2025).
Di Polinema, mahasiswa baru sudah terlibat dalam kegiatan PKM untuk mendapatkan pengambilan sertifikat prastudi. Polinema memiliki PKM Center yang mendukung mahasiswanya untuk menyusun proposal, sosialisasi, bahkan pelatihan setiap tahun.
Salma dan ketiga orang temannya kemudian membentuk tim dan mengikuti ajang PKM di bidang Pengabdian kepada Masyarakat. Mereka punya ide wirausaha untuk membantu pengolahan tempe menjadi produk bermutu tinggi di sebuah kampung yang menjadi pusat produksi dan penjualan tempe.
Tepatnya di Kampung Sanan, Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing, Kota Malang. Di sana, mereka mengajak ibu-ibu rumah tangga menjadi mitra pertama. Setelah berdiskusi dan melakukan berbagai percobaan, mereka berhasil membuat produk tepung dari kulit ari kedelai.
Sayangnya, proposal dan produk tersebut tak lolos dalam ajang Pertamina Foundation 2020 maupun Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) tahun 2021.
Mewujudkan mimpi yang sempat tertunda
Mewujudkan mimpi yang sempat tertunda
Semangat Salma dan teman-temannya mengalami pasang surut setelah gagal berkali-kali. Mereka juga khawatir dengan kesibukan kuliah masing-masing dan akhirnya vakum di tahun 2022.
“Karena nggak semua orang bisa diajak berjuang berdarah-darah, apalagi masih tergolong start up,” kata Salma.
Ia sadar, berbisnis bukanlah hal yang mudah. Namun, sekalipun ia mengalami keterbatasan modal, diremehkan oleh orang-orang sekitar, bahkan harus berjuang sendirian di tengah perjalanan hingga menjadi founder tunggal yang tersisa, Salma tak menyerah.
Keinginan untuk mengembangkan keripik tempe warna-warni dengan bahan alam murni tanpa pewarna buatan, rupanya masih ada dalam hati kecil Salma. Satu tahun berikutnya, ia memutuskan mengirim proposal tersebut ke program Women Space Movement dari Paragon.
Ide itu ternyata lolos dan mendapatkan pendanaan puluhan juta. Uang tersebut yang kemudian menjadi modal bagi ibu-ibu rumah tangga membuat produk Rainbow Tempe Ketawa. Tak berhenti sampai di situ, Salma akhirnya mendapatkan hibah lagi dari Pertamina Foundation 2024, setelah tak lolos di tahun 2020 dan berhasil mengembangkan produknya.
Semakin banyak dana diperoleh, semakin banyak pula ibu-ibu yang tertarik bergabung. Dari yang mulanya 10 orang, bisa bertambah berkali-kali lipat. Mereka pun mendaftar sebagai anggota Soygoo, komunitas ibu-ibu di Kampung Sanan, Malang yang didirikan Salma.
“Di titik ini asli terharu banget. Mungkin niat awalnya kami hanya lomba PKM, tapi bisa beneran jadi akselerator hidup untuk ibu-ibu di Kampung Sanan, Kota Malang,” kata alumnus Polinema tersebut.
Membawa Rainbow Tempe Ketawa di kancah global
Tak sampai di situ, Salma juga berhasil membawa produknya sampai ke luar negeri. Ia berangkat ke Hong Kong untuk mengikuti acara One Earth Next Generation Hong Kong by Temasek Foundation pada akhir Maret 2025.
Hampir lima hari Salma berada di Hong Kong untuk mewakili tim pitching dari Indonesia. Satu timnya berisi lima orang. Empat orang temannya berasal dari Malaysia, China, Hong Kong, dan Vietnam.
“Sebagai sarjana pertama di keluarga, aku nggak menyangka bisa membawa Soygoo sampai ke luar negeri. Aku ingin banyak perempuan lebih berdaya,” ucapnya.
Di sesi ideathon tersebut, Salma dan timnya membahas topik berjudul The Power of Rhizopus and Soybean Waste: Transforming Indonesia National Food (Tempeh) into Zero-Waste Circular System. Di sana, Salma berhasil mengkolaborasikan Soygoo dengan ide-ide dari peserta luar negeri.
“Alhamdulillah kami terpilih menjadi outstanding team, kategori Nature based Solutions,” ujar Salma.
“Setiap pencapaian ini bukan sekadar penghargaan, tapi bukti bahwa mimpi yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh akan menemukan jalannya,” kata alumnus Polinema tersebut.
Sekalipun kamu gagal, kata Salma, jangan berhenti dan jangan takut untuk memulai. Bahkan lulus dari kampus yang menurut sebagian orang kurang prestisius, seharusnya tak menghambat mimpimu.
“Orang boleh meragukan bahkan meninggalkanmu, tapi jangan biarkan dirimu sendiri ikut ragu,” ujarnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Perjuangan Satpam Kampus Universitas Muhammadiyah Surabaya, Lulus Sarjana dengan Pujian atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.