Supri ingat, petugas sempat mengoreksi skor yang ia mau lantaran ada angka-angka tertentu yang tidak masuk hitungan skort es TOEFL. Akhirnya, mereka sepakat untuk memberikan skor 490.
“Berapa saja, pokoknya lolos dari standar yang kampus tentukan,” kelakar Supri.
Tidak sampai 10 menit, mesin print sudah berbunyi penanda sertifikat sedang dicetak. Sertifikat berhologram dengan cap resmi lembaga dengan label “pendidikan” ini langsung ia dapat.
“Sertifikatnya meyakinkan banget menurutku. Cukup bayar Rp75 ribu saja,” katanya.
Supri mengaku sempat mengecek buku tamu di lembaga tersebut. Di sana tampak banyak mahasiswa dari kampus kecil hingga kampus ternama di Jogja yang menggunakan sertifikat palsu.
Awalnya lega tapi menyesal
Baik Jimi maupun Supri mengaku awalnya terdesak dengan tenggat pendaftaran sidang skripsi yang mepet. Terlebih, mereka tidak yakin dengan kemampuannya sendiri sehingga memilih jalan pintas.
“Untungnya kampus tidak ada mekanisme pengecekan yang detail,” kata Supri.
Kendati lega akhirnya bisa lulus sidang skripsi hingga wisuda, baik Supri maupun Jimi mengaku ada rasa penyesalan di hati. Jimi misalnya, mengaku kadang terpikir tes secara benar dapat membuatnya lebih mengetahui kemampuan aslinya.
Sementara Supri, mengaku menyesal, karena upayanya mengerjakan skripsi dengan maksimal tanpa plagiasi dan kecurangan, ternodai di akhir prosesnya. “Kadang kepikiran menyesal karena skripsinya sebenarnya aku garap sungguh-sungguh. Tapi saat itu memang banyak teman yang menempuh cara serupa,” tuturnya.
Sebagian besar kampus mensyaratkan sertifikat tes TOEFL sebagai salah satu persyaratan sidang skripsi. Namun, tidak banyak yang melakukan verifikasi kepada keaslian sertifikat tersebut. Kendati begitu, ada beberapa kampus yang mewajibkan tes melalui lembaga internal, untuk menghindari kecurangan serupa.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Nestapa Para Musafir hingga Wisatawan Kelaparan di Jogja, Berharap Sebungkus Nasi dan Tempat Singgah
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News