Mahasiswa PTN Surabaya Lulus Sarjana di Semester 14, Berhasil Melawan Depresi Meski Wisuda Sendirian Karena Teman Seangkatan Sudah Habis

Ilustrasi Mahasiswa PTN Surabaya Lulus Sarjana di Semester 14, Berhasil Melawan Depresi Meski Wisuda Sendirian Karena Teman Seangkatan Sudah Habis (Mojok.co/Ega Fansuri)

Menjelang batas waktu drop out (DO), mahasiswa PTN Surabaya ini berhasil lulus sarjana. Banyak hal ia lewati, termasuk berhasil melawan depresi. Namun, saat wisuda, semua malah berakhir melankolis. Ia merasa sangat kesepian karena teman seangkatannya sudah habis.

***

Biasanya, para mahasiswa merayakan prosesi wisuda dengan penuh sukacita. Sayangnya, hal tersebut tak dilakukan Toni* (25), salah seorang mahasiswa PTN di Surabaya.

Saat kampusnya mengadakan wisuda pada Sabtu (15/6/2024) lalu, ia malah merasa tak ada sesuatu yang bisa dirayakan.

“Tak ada perayaan apa-apa. Pokoknya acara selesai aku langsung pulang. Tak ada sesi foto di kampus, dan belum kepikiran juga mau foto di studio,” katanya saat Mojok hubungi Kamis (20/6/2024) malam.

Bagaimana mau merayakan, yang datang di acara wisudanya saja hanya empat orang, yakni orang tua dan dua anggota keluarga yang lain. 

Teman-teman dekatnya pun, yang sudah lulus duluan, telah menyebar ke luar kota untuk bekerja. Sehingga, ucapan selamat cuma dia dapatkan via pesan WA.

Adapun teman-teman satu angkatannya sudah habis. Boleh dibilang di angkatannya, yakni mahasiswa angkatan 2017, ia jadi yang terakhir. Tersisa beberapa orang saja, tapi hanya dia yang berhasil survive. Sisanya drop out.

“Memang ada mahasiswa di jurusanku yang menyambut para wisudawan. Tapi kan mereka udah nggak ada yang kenal aku, gap-nya jauh banget,” ujar mahasiswa asal Surabaya ini. “Makanya daripada melankolis mending aku pulang.”

Mahasiswa PTN Surabaya Lulus Sarjana di Semester 14, Nyaris Drop Out, Berhasil Melawan Depresi Meski Wisuda Sendirian Karena Teman Seangkatan Sudah Habis.MOJOK.CO
Mahasiswa Surabaya ini merayakan wisuda dengan penuh kesediahan karena lulus menjelang droup out (DO) –Ilustrasi wisuda sarjana (Photo by Cole Keister on Unsplash)

Meski akhirnya berhasil menuntaskan kewajibannya menjadi sarjana di detik akhir jelang DO, ada banyak penyesalan yang Toni rasakan. Terutama mengapa dia tak serius kuliah sehingga masa studinya molor sampai 14 semester.

Mahasiswa Surabaya yang sibuk berorganisasi dan menyepelekan dosen

Kalau bisa mengulang, keinginan Toni tak muluk. Ia cuma ingin kembali ke beberapa tahun ke belakang buat memperbaiki hal-hal yang dia sesali selama kuliah.

Fyi, Toni sendiri merupakan jebolan jalur SNBT (SBMPTN) di kampus Surabaya tersebut. Boleh dibilang, jurusannya (yang tak mau dia sebut) merupakan favorit karena passing grade yang cukup ketat. Biaya kuliahnya pun juga tak murah.  Toni mendapat UKT Rp5 jutaan per semester.

Sayangnya, meski lolos via jalur yang sulit, di jurusan yang elite, dan UKT tak sedikit, Toni malah tak serius dalam berkuliah. Sejak semester dua, ia bergabung dengan tiga ormawa sekaligus: satu di tingkat prodi, satu lagi di tingkat fakultas, dan komunitas pecinta alam–meski tak aktif-aktif amat.

“Ya namanya juga mahasiswa, dapat iming-iming pengalaman dan relasi pasti terpikat. Apalagi dulu aku jadi kader organisasi ekstra kampus juga, jadinya “dituntut” cari muka buat branding nama lembaga,” kenang Toni.

Sejak aktif di organisasi, kuliahnya jadi berantakan. Mahasiswa Surabaya ini jadi jarang masuk kelas. Alasannya beragam. Tapi yang menurutnya paling absurd, karena dia sering tidur di ruang sekretariat ormawa. 

“Awalnya niat tuh buat kuliah. Tapi begitu ke sekre malah ketiduran, bangun-bangun jam kuliah udah selesai. Jadinya skip,” ujar dia.

Sudah jarang masuk kelas, tugas kuliahnya pun juga bolong-bolong. Awalnya, dia menganggap remeh hal itu, sampai pernah menyepelekan dosen. Namun, ganjarannya pun setimpal: nilainya kerap tak keluar, dan mata kuliah pun harus mengulang tahun depan.

“Sempat menyepelekkan, ‘ah, masa sih dosennya berani ngasih nilai jelek’, eh ternyata beneran jelek. Sampai aku ngulang banyak mata kuliah.”

Depresi karena kepikiran orang tua dan masa depan

Setidaknya sampai semester lima, ada banyak mata kuliah yang kudu Toni ulang. Memasuki pandemi Covid-19, sebenarnya mahasiswa Surabaya ini punya kesempatan buat memperbaiki nilai karena perkuliahan lebih fleksibel.

Sayangnya kesempatan itu tak dia ambil. Kuliahnya malah semakin tak menentu. Orang tuanya pun juga sudah kerap menanyakan soal studinya, yang mau tak mau cuma bisa dia jawab “semua baik-baik saja”.

Toni ingat betul, pada awal 2021, ia mengalami depresi. Pikirannya mengawang antara ingin menyerah dan berakhir drop out atau lanjut kuliah. Kondisi itu juga yang bikin jam tidurnya terbalik hingga dia harus mengonsumsi obat tidur secara sembarangan buat mengatasinya.

“Kepikiran terus, kasian orang tua. Bapak kena PHK, ibu udah nggak sehat, tapi aku cuma bisa ngerepotin, minta duit UKT tapi kuliah saja nggak bener,” kenang mahasiswa Surabaya ini, pedih.

“Aku juga mikir, kalau begini-begini terus nanti mau jadi apa?,” sambung Toni.

Setelah berhari-hari tak mau keluar kamar, kakaknya membawa Toni ke psikiater. Ia pun harus rutin berkonsultasi dan minum beberapa resep obat. Perlahan, fase depresi itu bisa ia lewati.

Barulah, 2022 menjadi tahun di mana Toni “me-restart” kehidupannya. Ia menjadi pribadi yang baru. Kuliahnya dia kebut sampai akhirnya berhasil menyelesaikan tugas akhir pada semester 14–detik akhir menjelang masa drop out-nya.

“Pesanku, sih, penyesalan itu ada di belakang. Jadi sebelum menyesal, lebih baik orang-orang sepertiku segera introspeksi diri dan berbenah.”

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA Penyesalan Mahasiswa Surabaya yang Sombong Ambil Jurusan Susah di UNAIR, Kesulitan Jalani Perkuliahan Hingga Berujung Pindah ke PTS karena Nyaris DO

IKUTI artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version