Kuliah di Surabaya Memberikan Hal-hal yang Tak Bisa Jogja Tawarkan, Ironi Pudarnya Predikat Kota Pelajar

Orang yang pernah studi di Surabaya dan Jogja cerita soal apa yang membuat kedua kota ini nyaman untuk belajar. Ternyata, dalam berbagai aspek, Surabaya punya banyak sisi menarik ketimbang Jogja yang berpredikat Kota Pelajar.

***

Hampir tujuh tahun Mabrur (26) menempuh studi di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS). Kota Surabaya, sudah jadi bagian tak terpisahkan dalam hidupnya.

Surabaya bahkan sebenarnya bukan jadi tempat yang tuju. Kesilapan dalam menginput jurusan kuliah saat mendaftar beasiswa membawanya terdampar di kota tersebut. Konyol memang, tapi begitulah nasib sial yang mendorongnya merantau ke Jawa Timur.

“Dulu awalnya mau ke IPB tapi kesalahan membuatku jadi masuk ITS,” kenangnya.

Selanjutnya, nasib malang karena telat kuliah membuatnya menyelami lebih banyak seluk-beluk kota tempatnya menempuh studi. Nongkrong atau cangkruk dari satu warung kopi (warkop) ke warkop lain di Kota Pahlawan.

Kultur ngopi di warkop, buat Mabrur adalah hal menarik dari Surabaya yang tak ia dapati di kota lain. Warkop menjamur di berbagai sudut jalan seperti warmindo di Jogja. Dulu, ia pernah enam tahun sekolah di Jogja. Sehingga cukup paham tentang Kota Pendidikan itu.

“Ya bedanya kalau di sini warkop itu ya adanya kopi dan camilan, di Jogja kan agak beda, ada banyak pilihan makan juga,” tuturnya.

Tak bisa dimungkiri, keberadaan warkop atau coffeeshop banyak beririsan dengan kehidupan mahasiswa. Di tempat itu, mereka banyak menghabiskan waktu untuk berbagi nasib dengan teman hingga menyendiri mengerjakan tugas kuliah.

kuliah di surabaya.MOJOK.CO
Ilustrasi kuliah (Pang Yuhao/Unsplash)

Namun, satu hal yang membuatnya selalu merindukan Jogja adalah kultur komunitas dan pergerakan. Mabrur, sempat aktif di beberapa organisasi pergerakan mahasiswa di ITS. Beberapa kali bersama rekan-rekan kampusnya ia berkunjung ke Jogja.

“Karena aku sempat tertarik di dunia pergerakan, soal itu, rasanya Jogja lebih unggul. Lebih enak buat berkegiatan dan berkomunitas,” jelasnya.

Anggapan Jogja yang tidak aman ternyata begitu terasa

Selain itu, meski Surabaya yang orang-orangnya terkesan “keras” dalam tutur kata, ternyata Mabrur merasa nyaman dan aman. Beda dengan Jogja yang baginya sudah terlalu melekat dengan kesan bahaya.

“Klitih-nya Jogja itu memang jadi momok. Hampir setiap libur panjang kan aku balik ke Jogja. Berminggu-minggu nginap di kontrakan teman. Keluar malam sendiri itu khawatir, pasti perlu bareng teman. Kalau di Surabaya, rasanya lebih aman,” terangnya.

Sejak masih SMA di Jogja, Mabrur sudah kenal dengan istilah klitih. Bahkan, ada teman sekolahnya yang jadi korban pembacokan tanpa motif yang jelas.

“Tapi jujur ya, dengan segala hal itu bagiku Jogja masih lebih nyaman. Mungkin karena rumahku lebih dekat sama kota itu. Makanan lebih cocok,” terang lelaki asal Temanggung, Jawa Tengah ini.

Agak mirip, narasumber Mojok lain, Nuha (25), juga mengaku soal makanan lidahnya lebih cocok Jogja ketimbang di kota tempatnya berkuliah. Nuha pernah berkuliah di Universitas Airlangga (Unair) pada 2017-2021.

“Di Jogja rasanya makanan apa aja tuh ada,” kata Nuha kepada Mojok, Minggu (18/2/2024).

Sambil tertawa, Nuha cerita hampir tiap malam santapannya di Surabaya adalah penyetan. Selain itu, ia juga mengaku nggak cocok sama konsep nasi goreng di sana yang menggunakan saus. Selama kuliah ia memang sering bergadang sehingga butuh kuliner malam yang cocok di lidah.

Baca halaman selanjutnyaa…

Surabaya menghadirkan kesempatan yang tidak bisa Jogja tawarkan

Surabaya menghadirkan kesempatan yang tidak bisa Jogja tawarkan

Lelaki asal Boyolali ini sebelumnya pernah tinggal di Jogja saat SMA. Pascalulus sarjana, ia juga sempat mengambil studi S2 di UGM. Sehingga, ia kenal betul dua kota tempatnya lama belajar itu.

Meski Jogja terkenal murah, menurutnya Surabaya juga tak semahal yang orang bicarakan. Utamanya, soal makanan, baginya standar kedua kota ini relatif sama.

“Bedanya memang soal biaya sewa tempat tinggal. Surabaya lebih mahal, mungkin karena harga tanah di sini juga lebih mahal ya,” terang lelaki yang lama tinggal di Dharmahusada, Gubeng ini.

Namun, ia mengaku merasa beruntung bisa kuliah di Surabaya. Baginya, sebagai kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya menawarkan lebih banyak hal ketimbang Jogja. Misalnya, upah bagi fresh graduate yang lebih tinggi jika menetap setelah lulus.

Selain itu, secara tata kota meski tergolong kota terbesar, bagi Nuha Surabaya tidak sesemrawut Jakarta. “Jadi kita kayak merasakan hidup di kota besar tanpa merasakan masalah kota besar. Ya macetnya ada tapi nggak kaya Jakarta, banjir juga jarang,” tuturnya.

Baginya, musim liburan di Jogja adalah momen yang menyusahkan bagi para mahasiswa. Ruas jalan yang sempit dibanjiri bus-bus pariwisata dari luar kota. Sementara Surabaya, menurut pengamatannya saat musim libur justru agak lebih lengang.

Kota Pelajar perlu berbenah

Menurut sejumlah survei, Jogja memang masih menjadi tujuan studi utama bagi para mahasiswa. Namun, kota-kota lain juga mulai berbenah untuk menjadi tempat belajar yang nyaman.

Hal itu pernah jadi sorotan Penasihat Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah V DIY, Prof Dr Edy Suandi Hamid. Kondisi minat studi ke Jogja, menurutnya saat ini jadi sorotan sejumlah perguruan tinggi. Terutama di kalangan perguruan tinggi swasta (PTS) Jogja yang jumlahnya lebih dari 100.

“Relatif tidak ada desain untuk menjadikan Kota Pelajar tetap bertahan. Sehingga pemerintah dan masyarakat relatif biasa saja karena dulu tidak ada pesaing,” jelasnya Edy kepada Mojok.

Lebih lanjut, saat ini ia melihat kota-kota lain seperti Jakarta, Bandung, Surabaya punya perguruan tinggi yang mutunya semakin baik. Perguruan tinggi di daerah tersebut perlahan menjadikannya destinasi studi yang menarik bagi calon mahasiswa selain ke Jogja.

Sebagai informasi, saat ini ada 126 PTN dan PTS di DIY. Sebarannya, 51 ada di Kota Yogyakarta, 41 di Sleman, 31 di Bantul, 2 di Gunungkidul, dan 1 di Kulonprogo.

Menurut Edy, ada sejumlah hal yang perlu ditingkatkan demi menjaga minat calon mahasiswa ke Jogja. “Keamanan harus lebih baik, mutu sekolah dan kampus dijaga, terakhir, sisi kemurahan Jogja harus kita jaga,” lanjutnya.

Sebelumnya, Edy juga menyampaikan perhatian agar Jogja tetap menjadi Kota Pelajar pada agenda Musyawarah Aptisi Wilayah V pada Senin (8/1/2023). Agenda itu mengusung tema “Perguruan Tinggi Swasta Daerah Istimewa Maju Bersama”.

Penulis: Hammam Izzuddin

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Mendengar Kesaksian Mahasiswa Jogja yang Nekat Gagal Bayar di 10 Pinjol Ilegal, Tak Gentar Dikejar Debt Collector!

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version