Mahasiswa Jurusan Kedokteran salah satu PTN di Jawa setelah lulus kuliah justru enggak jadi apa-apa. Jangankan jadi dokter, cari kerja saja susah karena akreditasi jurusannya C.
***
Kalau mau menyebut satu jurusan paling mahal di Indonesia saat ini, kedokteran adalah jawabannya. Bagaimana tidak, biaya kuliah jurusan kedokteran baik di PTN maupun PTS rata-rata puluhan hingga ratusan juta tiap rupiah semester. Itupun belum termasuk biaya praktikum, harga buku yang mahal, hingga kebutuhan membeli alat medis sendiri.
Kendati mahal, jurusan ini tak pernah sepi peminat. Pasalnya, jurusan kedokteran dianggap punya jaminan masa depan cerah bagi lulusannya karena punya prospek kerja yang luas dan jelas. Selain bidang klinis dan membuka praktik, lulusan kedokteran juga berkesempatan buat berkarier di instansi pemerintah seperti Kementrian Kesehatan, BPOM, SAR, hingga BNN.
Sayangnya, hal tersebut tak Roni* (28) rasakan. Enam tahun kuliah di jurusan kedokteran, menghabiskan banyak tenaga dan biaya, nyatanya pas lulus ia malah tak jadi apa-apa. Perkaranya satu hal, karena akreditasi jurusannya masih C.
“Jadi kata ‘dokter’ itu hanya berakhir jadi gelar kelulusan saya, Mas. Bukan jadi profesi,” sesal lelaki asal Surabaya ini, saat Mojok hubungi Selasa (2/4/2024).
Memilih jurusan ini karena paksaan orang tua
Alasan Roni memilih kedokteran sebenarnya terbilang unik. Kalau dilihat-lihat, anggota keluarganya tak ada yang jadi dokter. Ibunya adalah seorang dosen, sementara dua kakaknya bergerak di bidang pertambangan. Nah, alasan dia masuk kedokteran ini adalah karena almarhum ayahnya, yang dulu bercita-cita jadi dokter tapi tak kesampaian.
“Almarhum pernah bercerita kalau dulu ingin menjadi dokter, tapi selalu gagal karena masalah biaya. Kakak-kakakku juga enggak ada yang jadi dokter. Jadinya aku udah seperti martir aja ini, terpaksa daftar dokter buat wujudin cita-cita almarhum,” jelasnya.
Alhasil, pada 2014 lalu Roni mendaftar SBMPTN (sekarang SNBT) untuk jurusan kedokteran di salah satu PTN di Pulau Jawa. Sayangnya, Roni tak tahu kalau fakultas tersebut baru berdiri. Peminat untuk jurusan yang ia pilih, yakni Kedokteran Umum, juga masih terbilang sedikit.
“Jadi aku lolos di PTN itu. Cuma ya enggak tahu kalau akreditasinya masih C,” ungkapnya.
Karena merasa itu “amanah” dari almarhum ayahnya, kehidupan perkuliahan Roni jalani dengan semestinya. Waktu 3,5 tahun ia butuhkan buat lulus, ditambah 1 tahun lebih masa koas dan setahun lagi buat magang.
“Total ada 6 tahun aku habisin sampai akhirnya dapat izin praktik.”
Baca halaman selanjutnya…
Mau daftar PPDS langsung kena tolak mentah-mentah karena akreditasi jurusan C
Daftar PPDS langsung ditolak mentah-mentah karena akreditasi jurusan C
Pengalaman tak mengenakan baru Roni alami pada 2021 lalu. Harusnya, saat itu Roni bisa saja membuka praktik karena saat itu ia baru selesai internship selama masing-masing enam bulan di Puskesmas dan rumah sakit. “Internship kan jadi syarat buat buka praktik, kayak SIP-nya, jadi harusnya aku buka praktik,” jelas Roni.
Namun, kondisi saat itu amat tidak memungkinkan. Apalagi pemerintah baru saja mengeluarkan imbauan kepada dokter-dokter untuk tak membuka praktik rutin selama pandemi.
Akhirnya, berniatlah Roni untuk mendaftarkan diri ke Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Ia sudah memutuskan ke kampus mana dan ke jurusan spesialisasi apa akan mendaftar. Sayangnya, ketika melihat syarat pendaftaran, Roni cukup tercengang.
“Jadi di syaratnya itu, kalau sarjana kedokteran minimal harus IPK 2,75 buat FK yang akreditasi A dan IPK 3,00 buat FK yang akreditasinya masih B,” jelasnya. “Aku sempat bingung sebentar, ‘lantas, bagaimana dengan yang akreditasinya masih C?’, jangan-jangan enggak diperhitungkan,” sambungnya.
Meskipun agak ragu, pada akhirnya Roni nekat buat mendaftar. Dan benar saja, dia tak diterima.
“Aku tanya ke kampus yang bersangkutan, mereka menjelaskan kalau 80 persen pendaftar yang diterima itu dari FK yang akreditasinya A. Sisanya B. Ya emang benar, C enggak diperhitungan mereka alias aku udah ditolak sejak awal.”
Kini, Roni menjalani kehidupannya sebagai lelaki bergelar “dr” tapi tak bekerja di bidang kesehatan. Sekarang ia fokus berbisnis di bidang lain. Kepada saya, Roni bercerita tengah merintis usaha jual dan cuci sepatu di Kota Surabaya yang baru 5 bulan dirintis. Katanya, sih, usaha itu terinspirasi dari Dokter Tirta.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News